Antropolog asal AS Clifford Geertz pernah meneliti soal tuyul di tengah masyarakat Jawa. Makhluk halus itu dipercaya bisa dipekerjakan untuk mencari uang dan memperkaya diri.
Kajian antropologi klasik yang dilakukan Clifford Geertz tentang gambaran masyarakat Jawa itu tertuang di buku 'Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa'.
Saat itu Clifford Geertz adalah satu dari 6 ilmuwan calon PhD dari Harvard University yang dikirim ke Indonesia untuk meneliti berbagai aspek kehidupan di awal 1950-an.
Geertz menangkap fenomena bahwa masyarakat Jawa percaya 3 jenis makhluk halus utama. Yakni memedi (secara harfiah berarti tukang menakut-nakuti), lelembut (makhluk halus), dan tuyul.
Antropolog AS itu mendefinisikan tuyul sebagai makhluk halus anak-anak (tentu saja bukan manusia) yang tidak mengganggu, menakuti orang, atau bikin orang sakit.
"Sebaliknya, mereka sangat disenangi manusia, karena membantu manusia menjadi kaya," kata Geertz seperti dikutip detikEdu.
Di buku itu Geertz mengungkapkan hasil wawancara yang dia lakukan dengan sejumlah narasumber di Mojokuto yang kini terkuak berada di Kediri, tepatnya di Kecamatan Pare.
Ada satu narasumber yang dia wawancara mengatakan kepadanya bahwa orang yang ingin berhubungan dengan tuyul harus berpuasa dan bersemadi.
Dia juga mendeskripsikan bagaimana saat itu banyak orang Mojokuto alias Pare yang beranggapan bahwa seseorang perlu membuat semacam perjanjian dengan setan.
Melalui perjanjian dengan setan itu, seseorang bisa melihat tuyul lalu mempekerjakan mereka demi memperkaya diri dengan cara mencuri uang bahkan padi di desa-desa.
"Kalau orang mau kaya, ia bisa menyuruh mereka mencuri uang. Mereka bisa menghilang dan bepergian jauh hanya dalam sekejap mata hingga tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari uang untuk tuannya," tulisnya.
Gugurnya tudingan pelihara tuyul di era YouTuber dan Programmer. Baca di halaman selanjutnya.
(dpe/dte)