Pemilu 2024 ini diprediksi semakin semarak. Yang cukup menarik perhatian, adalah hadirnya influencer, konten kreator, hingga crazy rich yang melamar menjadi caleg di parpol. Bahkan, Gen Y dan Z mulai berpartisipasi aktif dalam kontestasi 5 tahunan ini.
Pengamat politik asal Universitas Airlangga Surabaya Hari Fitrianto menyebut hal ini sebagai Kick Off Generasi Politik Era Baru Gen Y dan Z di 2024.
Hari mengatakan, fenomena 5 tahunan seperti ini sebenarnya hal yang lumrah terjadi menjelang pemilu di tengah hiruk-pikuk dinamika di tahun politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun, dari yang saya lihat ada fenomena menarik yang terjadi di tahun politik saat ini. Dampak bonus demografi dan daya tarik politik itu sendiri di kalangan generasi Y dan Z atau Zillenial. Menjadikan politik sesuatu yang bersifat hype," jelas Hari di Surabaya, Sabtu (11/3/2023).
Baca juga: Putra Khofifah Resmi Nonaktif dari Demokrat |
Menurut Hari, penting bagi parpol untuk bisa merekrut kader yang mampu menjadi representasi generasi ini. Ia sempat menyinggung soal Putra Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Ali Mannagalli Parawansa.
"Kasus Ali Parawansa Putra Gubernur Jatim Khofifah yang sempat viral beberapa waktu lalu karena mengumumkan keinginannya keluar dari partai Demokrat melalui media sosial, merupakan perilaku politik baru di era 5.0 society yang akan sering kita jumpai 5 hingga 10 tahun ke depan. Di mana parpol mau tidak mau harus mampu dan siap menghadapi keniscayaan dinamika ini," bebernya.
Menurutnya, generasi ini cenderung melihat politik adalah sebagai sebuah 'ekosistem' yang mampu mewadahi dan mengeksekusi gagasan kreatifnya dengan lebih efektif.
Jika kelompok ini merasa nyaman dengan ekosistem barunya, maka mereka akan membangun circle yang mampu menjadi magnet penarik bagi rekan satu generasinya.
"Circle politik yang mereka bangun akan mampu menembus pada kelompok demografi gen milenial dan gen Z," tambahnya.
Hari menambahkan, tantangannya adalah, apakah parpol mampu membangun ekosistem yang bisa menjadi support system bagi generasi baru ini untuk tumbuh dan berkembang.
"Karena bagi mereka kewarasan batin adalah yang utama, mereka akan cenderung menjauh jika ada lingkungan yang dianggap toksik sehingga memengaruhi mental health-nya," jelas Hari.
"Jika mereka merasa ekosistem dalam partai politik dimana mereka bergabung membuat dirinya insecure serta tidak membuat nyaman maka mereka dengan mudah untuk memutuskan keluar dan mencari partai baru lagi, bahkan bisa jadi memilih jalan politik lainnya," imbuhnya.
Namun, pergeseran afiliasi partai generasi ini tidak semata disandarkan pada alasan tersebut. Beberapa pertimbangan pemberat lainnya bisa menjadi alasan perpindahan tersebut.
"Misalkan tidak mendapatkan dukungan dari circle asal dia, dan circle-nya mengarahkan untuk bergabung pada partai lain yang dirasakan memiliki platform nilai dan spirit yang sama dengan circle-nya. Pendek kata generasi ini di dalam politik cenderung memiliki karakter avonturir," lanjut Dosen Ilmu Politik FISIP Unair ini.
Hari memaparkan, Gen Milenial dan Gen Z merupakan digital native, mereka tumbuh dengan menggenggam teknologi digital di tangannya.
"Ujung tombak senjata mereka adalah media sosial yang mereka gunakan sehari-hari, di sana mereka bisa menembus batas dan melampaui ide-ide anti mainstream. Menuangkan idenya dari sekadar meme hingga video berdurasi kurang dari 20 detik," tandas dosen yang saat mahasiswa aktif di GMNI ini.
(hil/dte)