Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mendukung penuh pengajuan sosok KH M Bisri Syansuri sebagai pahlawan nasional. Menurut Khofifah Kiai Bisri memiliki jasa besar dalam perjuangan bangsa terutama saat resolusi jihad serta dalam memajukan pendidikan pada kaum perempuan.
"Kepada zuriah Denanyar, saya secara khusus menyampaikan proses pengajuan KH M Bisri Syansuri menjadi pahlawan nasional agar dimaksimalkan pemenuhan persyaratannya," ujar Khofifah dalam keterangan rilisnya, Senin (23/1/2023).
Hal itu menurut Khofifah dia anggap penting mengingat perjuangan Kiai Bisri Syansuri saat menjadi komandan dan membantu mengkomunikasikan gerakan Hizbullah dan Sabilillah bersama para santri saat resolusi jihad merupakan sentral komando pergerakan pasukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selain itu, beliau juga memiliki peran yang luar biasa dalam proses perjuangan bagi bangsa dan negara saat pra dan pasca kemerdekaan," katanya.
Khofifah mengatakan pengajuan gelar pahlawan nasional untuk Kiai Bisri sama sekali bukan kepentingan keluarga atau zuriah. Melainkan menjadi bagian penting dari catatan perjalanan sebuah bangsa.
"Saya tadi komunikasikan dengan Staf Khusus Menkopolhukam karena Pak Menkopolhukam adalah ketua dewan gelar. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana proses pengajuan tersebut dilakukan. Karena jika ada kekurangan dokumen, kami akan lengkapi," tuturnya.
"Karena ini bukan untuk kepentingan keluarga KH M Bisri Syansuri, melainkan untuk menjadi rekaman komprehensif bahwa mereka yang pernah berkontribusi pada proses pengorbanan, perjuangan, dan perjalanan bangsa punya jejak sejarah yang bisa dijadikan teladan," katanya.
Menurutnya jika tidak diajukan sebagai pahlawan nasional, maka dokumen perjalanan perjuangan Kiai Bisri sekedar sebagai dokumen keluarga dan PP Mambaul Maarif.
Tetapi jika sebagai pahlawan nasional akan tercatat dalam jejak sejarah bangsa yang menjadi dokumen nasional sehingga dapat diteladani oleh seluruh warga bangsa.
"Bahkan seringkali tamu-tamu kepala negara lain jika melakukan kunjungan ke suatu negara mereka ke makam pahlawan sebagai bentuk penghormatan. Di sinilah harapannya catatan rekam jejak sejarah KH M Bisri Syansuri bisa terdokumentasikan. Dan ingatlah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya," tegasnya.
Biografi KH M Bisri Syansuri. Baca di halaman selanjutnya.
KH. M. Bisri Syansuri adalah seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada 18 September 1886 di Tayu, Pati, Jawa Tengah. Semasa kecil Bisri muda belajar pada KH Abd Salam, seorang ahli dan penghafal Al-Qur'an dan juga ahli dalam bidang fiqih.
Di sana, ia belajar ilmu nahwu, saraf, fiqih, tasawuf, tafsir, hadits. Gurunya dikenal sebagai tokoh yang disiplin dalam menjalankan aturan agama.
Di usia 15 tahun Kiai Bisri mulai belajar ilmu agama di luar tanah kelahirannya kepada kedua tokoh agama yang terkenal pada waktu itu yaitu KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu'aib Sarang Lasem.
Bisri muda juga berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Di pesantren inilah ia kemudian bertemu dengan KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang yang kemudian menjadi kawan dekatnya hingga akhir hayat di samping sebagai kakak iparnya.
Lalu Kiai Bisri berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari di Tebuireng. Di pesantren itu, beliau belajar selama 6 tahun. Beliau memperoleh ijazah dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama baik kitab fiqih Al-Zubad hingga kitab hadis seperti Bukhari dan Muslim.
Pada 1912 sampai 1913, beliau berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah bersama KH Abdul Wahab Chasbullah. Di kota suci itu, mereka belajar kepada Syekh Muhammad Bakir Syekh Muhammad Said Yamani Syekh Ibrahim Madani, dan Syekh Al-Maliki. Juga kepada guru-guru Kiai Haji Hasyim Asy'ari, yaitu Kiai Haji Ahmad Khatib Padang dan Syekh Mahfudz Tremas.
Saat di Makkah, Kyai Bisri meminang adik dari KH Wahab Chasbullah yakni Nur Khodijah. Pasca menikah keduanya tinggal dan menetap di Tambak Beras, Jombang.
Mereka dikaruniai sembilan orang anak yang salah satunya yakni Sholihah. Sholihah menikah dengan Kyai Wahid Hasyim yang juga merupakan ayah dari Mantan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Bersama sang istri, KH. M. Bisri Syansuri mulai merintis pendirian pesantren di atas tanah milik pribadi yang terletak di Desa Denanyar pada tahun 1917. Sebelum adanya Pesantren Mambaul Maarif, Desa Denanyar merupakan 'daerah hitam'.
Saat itu, warga di sana menjalani hidup tanpa mengindahkan kaidah moral dan ajaran Islam. Perjudian, perampokan, tindak kekerasan, perzinaan, dan perilaku maksiat lainnya menjadi pemandangan sehari-hari. Kondisi itu yang justru menyemangati pasangan Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Khodijah dalam berdakwah.
Seiring bertambahnya waktu, pendekatan dakwah Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Khodijah semakin diminati masyarakat, khususnya kaum wanita. Mereka mulai terbuka pandangannya.
Masyarakat mulai memahami bahwa dalam ajaran Islam kedudukan wanita dimuliakan. Sejak saat itu, Pesantren Mambaul Maarif bukan hanya tempat kaum pria mendalami agama Islam, tetapi juga bagi kaum wanita. Dari situlah cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Putri Mambaul Maarif.