IDI Jatim Beberkan Dampak RUU Omnibus Law Kesehatan, Pasal Akan Dipangkas

IDI Jatim Beberkan Dampak RUU Omnibus Law Kesehatan, Pasal Akan Dipangkas

Esti Widiyana - detikJatim
Senin, 14 Nov 2022 20:07 WIB
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim, Dr dr Sutrisno SpOG (K)
Ketua IDI Jatim, Dr dr Sutrisno SpOG (K) (Foto: Esti Widiyana/detikJatim)
Surabaya -

RUU Omnibus Law Kesehatan menjadi polemik bagi organisasi profesi (OP) kesehatan. RUU Omnibus Law Kesehatan banyak mendapat penolakan sejumlah kelompok profesi dokter, perawat, apoteker, bidan dan profesi kesehatan lainnya.

Di Jawa Timur, ada 6 OP kesehatan yang menolak RUU Omnibus Law Kesehatan. Yakni IDI Jatim, PDGI PengWil Jatim, DPW PPNI Jatim, Penda IBI Jatim, PD AIA Jatim dan DPW PATELKI Jatim.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim, Dr dr Sutrisno SpOG (K) mengatakan selama ini semua organisasi profesi tidak pernah melihat, bicara, diskusi dan dimintai masukan tentang RUU Omnibus Law Kesehatan, meski pemberitaannya sudah di mana-mana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika konsep draf omnibus law kesehatan sudah ada, tambah dia, bisa disebarkan kepada OP kesehatan. Kemudian mengajak berdiskusi, diminta pendapat dan masukan bagaimana yang terbaik.

"Kelanjutannya tetap, bahwa OP kesehatan harus dipelihara, diberi kemandirian dalam mengelola anggota di bidang masing-masing. Jangan sampai meniadakan peran OP yang ujungnya juga akan merugikan kepada semua pihak," kata Sutrisno kepada wartawan di Kantor IDI Jatim, Senin (14/11/2022).

ADVERTISEMENT

Menurutnya, yang beredar di masyarakat adalah draf yang tidak jelas siapa yang memiliki dokumen tersebut. Padahal seharusnya, OP Kesehatan-lah yang nantinya justru menjadi pelaksana.

Dia mencontohkan risiko yang didapat, yakni tentang surat tanda registrasi (STR) tidak lagi membutuhkan rekomendasi profesi. Menurutnya hal ini bisa berbahaya.

"Siapa yang mengawasi kemampuan mereka, siapa yang mengawasi etik mereka dengan jumlah jutaan tenaga kesehatan tidak mungkin satu sisi saja. Kemudian OP yang mungkin akan ditunjuk pemerintah yang bukan berdasarkan kemandirian kita, itu juga berbahaya. Karena OP itu mempunyai standart etik," jelasnya.

Baginya, akan menjadi bahaya, saat para OP tidak mengerti, tidak paham dan tidak mengetahui sanksi akan etiknya. Artinya, yang disentuh bidang kesehatan adalah manusia, sehingga etik menjadi sangat penting.

"Bahkan etik dinilai lebih tinggi dibanding ilmunya, karena menyentuh masalah kehidupan," ujarnya.

Sementara Ketua DPW PPNI Jatim, Prof Dr Nursalam MNurs (Hons) mengatakan jika RUU Omnibus Law Kesehatan diterapkan akan menjadi celah dan peluang bagi tenaga asing masuk ke bidang kesehatan Indonesia. Hal itulah yang menjadi pertimbangan dan penolakan.

"Misalnya, tenaga asing dengan seleksinya nanti pemerintah yang menentukan, termasuk kompetensi, etikanya itu sebenarnya wewenang profesi yang ada di UU. Kalau kita tidak punya wewenang sama sekali, maka ketika pemerintah berganti, itu akan berganti terus, karena levelnya peraturan pemerintah. Sehingga kita khawatir, nanti akan berdiri RS, SDM dari luar negeri termasuk semua alat kesehatan yang digunakan. Ini saya rasa harus menjadi pertimbangan menolak yang lebih besar," jelasnya.

Ketua PDGI Jatim, drg Sumartono mengatakan, disparitas atau kesenjangan jumlah dokter di daerah berkurang. Khususnya di daerah yang kecil di Jatim, sehingga berbeda dibandingkan dengan Surabaya.

"Pemerintah harus memfasilitasi jumlah dokter. Jika di Surabaya, dokter gigi yang praktik banyak, tapi di daerah terpencil kurang. Bagaimana pemerintah mengatur, agar masyarakat mendapat kesempatan sama, dan nakes dapat mensejahterakan hidupnya. Dengan adanya RUU tersebut akan semakin memberatkan," tegasnya.




(esw/fat)


Hide Ads