Nama Suharto sempat dielu-elukan saat berhasil menyabet emas di ajang balap sepeda SEA Games 1979. Namun, usai pensiun menjadi atlet, namanya mulai tenggelam. Suharto tak lagi mengayuh sepeda dengan penuh kompetitif, ia sempat beralih sebagai pengayuh becak.
Suharto mengaku sempat menyesal atas keputusannya menjadi atlet ketimbang memiliki pekerjaan lain yang menjanjikan. Dengan menangis, ia menyesal tak bisa membahagiakan istri dan anak bungsunya saat mereka masih hidup.
Berikut fakta-fakta pilunya kisah Suharto:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Prestasi Suharto Harumkan Nama Indonesia
Suharto pernah menyabet dua medali emas di ajang SEA Games. Belum lekang di ingatan Suharto saat-saat ia menjadi juara 1 dalam SEA Games Malaysia untuk nomor Team Time Trial jarak 100 kilometer.
Suara teriakan penonton pada tahun 1979 lalu, masih terngiang di telinga pria 70 tahun itu. Bersama ketiga rekannya saat itu, tim balap sepeda Indonesia sukses menumbangkan Malaysia dan Thailand.
Pencapaian manis Suharto tak hanya terjadi di SEA Games 1979. Dua tahun sebelumnya, pada SEA Games 1977 yang berlangsung di Thailand, Suharto melambungkan nama Indonesia dengan menyabet dua medali perak. Dia mendapatkannya dari nomor jalan raya kategori beregu dan perorangan.
2. Sempat Jadi Tukang Becak hingga Kerja Serabutan
Namun, apa yang sudah diraih Suharto tak membuat hidupnya mapan. Karir manisnya itu berakhir ketika ia memutuskan pensiun menjadi atlet pada 1981. Ia kini harus banting tulang mengayuh becak untuk menghidupi keluarga.
"Setelah berhenti dari atlet, untuk menyambung hidup, saya terpaksa harus menjadi tukang becak selama puluhan tahun," kata Suharto kepada detikJatim, Rabu (19/10/2022).
Suharto mengatakan, selain menjadi tukang becak, kadang ia juga menerima pekerjaan serabutan. Mulai jadi kernet angkutan kota hingga sopir truk minyak tanah.
"Sebelum LPG ada, saya juga pernah jadi sopir minyak tanah. Apa saja pernah saya lakukan, yang penting buat menyambung hidup untuk keluarga," tambah Suharto.
3. Tak Pernah Dapat Bantuan dan Kerap Peroleh Janji Manis
Meski mengalami kehidupan yang sulit, Suharto berusaha tegar dalam menjalani kehidupannya. Ia mengaku kerap menerima banyak janji manis pemerintah, namun hal ini tak pernah terpenuhi. Termasuk, pernah dijanjikan Mendagri kala itu untuk menjadi PNS.
"Padahal sudah dapat surat rekom dari mendagri saat itu siapa lupa namanya. Tapi jangankan jadi PNS, dipanggil saja tidak," kata Suharto.
Bahkan, hingga pada tahun 2021, ia tak pernah mendapat bantuan atau santunan dari pemerintah. Ia pun memutuskan untuk berpindah ke Gresik usai diajak keponakannya pindah.
"Selama 40 tahun saya menjadi tukang becak, saya tidak menerima bantuan apapun dari Pemkot Surabaya kala itu. Jangankan bantuan uang tunai, sembako saja saya nggak pernah menerima dari pemkot. Cuma ditanya-tanya saja, tapi praktiknya nggak ada. Karena keponakan saya kasihan, akhirnya disarankan pindah ke Gresik," tutup Suharto.
Suharto menemukan secercah harapan usai bertemu Gubernur Khofifah. Baca di halaman selanjutnya!
4. Tinggal di Gubuk Derita
Saat ditemui detikJatim, pria 70 tahun ini menunjukkan tempat tinggalnya di sebuah gubuk berukuran 1,5X3 meter yang terletak di belakang gudang barang bekas di Jalan Veteran 13 A no 15, Kebomas, Gresik. Gudang tersebut milik keponakannya.
Dari pantauan di lokasi, terdapat beberapa barang bekas dan sampah yang mengeluarkan bau. Kandang ayam dan burung menambah pengapnya bau di sekitar gubuk tersebut.
Belum lagi saat malam tiba, beberapa serangga akan mampir untuk mengisi kekosongan gubuk tersebut. Terlebih, gubuk tersebut tepat bersebelahan dengan makam umum.
Meski kondisi gubuk jauh dari kata tempat layak huni, Suharto mengaku lebih nyaman tinggal gubuk tersebut dari pada harus tinggal di kota asalnya Surabaya. Selama hampir lebih 40 tahun tinggal di Surabaya, ia tak pernah mendapat bantuan maupun perhatian dari pemerintah.
"Mending saya di sini, tinggal di gubuk tua, tapi di Gresik. Puluhan tahun saya tinggal di Surabaya, jangankan bantuan, didatangi lurah saja nggak pernah," kata Suharto.
5. Sempat Hidup Sebatang Kara
Semenjak istrinya meninggal, Suharto sempat tinggal sebatang kara di kamar kos. Lantaran menunggak selama 2 tahun, ia pun kebingungan mencari tempat tinggal.
"Saya itu bingung, anak saya tiga, yang njawani (menghormati) ke saya itu sudah meninggal. Sekarang tinggal 2, tapi mereka nggak mau urusin saya. Bahkan, saat ibu mereka meninggal saja tidak datang," tutur Suharto.
Beruntung, setelah lebaran lalu, keponakannya mengajak Suharto untuk tinggal di Gresik. Ia pun membawa becaknya dan menggunakan untuk mengumpulkan barang bekas.
"Saya tinggal di sini sejak lebaran lalu. Hingga sekarang saya masih tinggal di sini," ucapnya.
Selama beberapa bulan, lanjut Suharto, ia mencari dan mengumpulkan barang bekas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selama di Gresik, mengaku mendapat perhatian pemerintah.
"Meski saya KTP Surabaya, tapi pemerintah Gresik memberikan perhatian kepada saya. Mulai lurah, wakil bupati juga pernah ke sini untuk memberi bantuan," tambahnya.
6. Ketemu Gubernur Khofifah Lalu Diberi Pekerjaan
Kehidupan Suharto pun berubah ketika ia menerima bantuan langsung dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Saat itu, Gubernur Khofifah memberikan bantuan kepada para tukang becak di Gresik.
"Waktu ketemu itu, Bu Khofifah langsung mengenali saya. Loh pak Harto, gitu. Pas ditanya nomor HP, saya bilang nggak punya dan saat itu langsung dibelikan HP," kata Suharto.
Setelah kejadian tersebut, lanjut Suharto, ia mendapat tawaran bekerja sebagai pegawai di Bapenda UPT PPD Gresik sebagai pengawas keamanan. Ia pun menerima tawaran tersebut.
"Mendapat tawaran itu, saya sangat senang mas. Selama puluhan tahun saya mengalami kesulitan, baru kali ini mendapatkan bantuan dari pemerintah Jawa Timur," ujarnya.
"Saya juga mendapat tawaran untuk tinggal di salah satu ruangan Kantor UPT PPD Gresik. Tapi saya nggak mau. Sementara ini, saya ingin menyendiri di gubuk derita ini," sambung Suharto.
7. Menyesal Memilih Jadi Atlet
Sembari menangis, Suharto menjelaskan keinginannya tetap tinggal di gubuk tersebut. Ia ingin menghilangkan rasa penyesalannya yang memilih menjadi atlet ketimbang pekerjaan lainnya. Sebab, selama istri dan anak terakhirnya masih hidup, ia tidak pernah membahagiakan keduanya.
"Kalau pada akhirnya menjadi atlet seperti ini, saya menyesal dulu menjadi atlet. Perjuangan saya membawa harum nama Surabaya hingga mengibarkan bendera Indonesia di beberapa negara tidak dianggap. Yang paling saya sesalkan, meski saya menjadi atlet, saya tidak bisa memberikan kehidupan yang lebih layak kepada anak dan istri hingga mereka meninggal," tutup Suharto sembari menitikkan air mata.