Kisah pilu dialami Suharto, si peraih emas dalam ajang balap sepeda SEA Games. Sempat mengharumkan nama Indonesia, Suharto sempat narik becak karena hidupnya susah usai pensiun. Meski kini sudah diangkat Gubernur Khofifah jadi pegawai Bapenda di Gresik, Suharto tetap memilih tinggal di sebuah gubuk.
detikJatim berkesempatan menemui pria 70 tahun ini di kediaman yang disebutnya gubuk derita. Dengan ramah, ia menunjukkan tempat tinggalnya di sebuah gubuk berukuran 1,5X3 meter yang terletak di belakang gudang barang bekas di Jalan Veteran 13 A no 15, Kebomas, Gresik. Gudang tersebut milik keponakannya.
Di lokasi, terdapat beberapa barang bekas dan sampah yang mengeluarkan bau. Kandang ayam dan burung menambah pengapnya bau di sekitar gubuk tersebut.
Belum lagi saat malam tiba, beberapa serangga akan mampir untuk mengisi kekosongan gubuk tersebut. Terlebih, gubuk tersebut tepat bersebelahan dengan makam umum.
Suharto mengaku tak sungkan menyebut gubuknya sebagai gubuk derita. Namun, gubuk derita itu adalah tempat paling nyaman bagi Suharto untuk berkontemplasi. Di sini, ia kerap menyendiri dan mencoba menghilangkan penyesalannya saat lebih memilih menjadi atlet ketimbang pekerjaan lainnya.
Sembari menangis, ia mengaku masih menyesal. Sebab, selama istri dan anak terakhirnya masih hidup, ia tidak pernah membahagiakan keduanya.
"Kalau pada akhirnya menjadi atlet seperti ini, saya menyesal dulu menjadi atlet. Perjuangan saya membawa harum nama Surabaya hingga mengibarkan bendera Indonesia di beberapa negara tidak dianggap. Yang paling saya sesalkan, meski saya menjadi atlet, saya tidak bisa memberikan kehidupan yang lebih layak kepada anak dan istri hingga mereka meninggal," kata Suharto sembari menitikkan air mata.
Meski kondisi gubuk jauh dari kata tempat layak huni, Suharto mengaku lebih nyaman tinggal gubuk tersebut dari pada harus tinggal di kota asalnya di Surabaya. Karena, selama hampir lebih 40 tahun tinggal di Surabaya, ia tak pernah mendapat bantuan maupun perhatian dari pemerintah.
"Mending saya di sini, tinggal di gubuk tua, tapi di Gresik. Puluhan tahun saya tinggal di Surabaya, jangankan bantuan, didatangi lurah saja nggak pernah," imbuhnya.
Semenjak istrinya meninggal, Suharto sempat tinggal sebatang kara di kamar kos di Surabaya. Lantaran menunggak selama 2 tahun, ia pun kebingungan mencari tempat tinggal.
"Saya itu bingung, anak saya tiga, yang njawani (menghormati) ke saya itu sudah meninggal. Sekarang tinggal 2, tapi mereka nggak mau urusin saya. Bahkan, saat ibu mereka meninggal saja tidak datang," tutur Suharto.
Kepindahan Suharto ke Gresik mencipta secercah harapan. Baca di halaman selanjutnya!
            
            
            
            
            (hil/dte)