Hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan beberapa daerah di Jatim diterjang banjir. Walhi Jatim menyebut, tertutupnya daerah aliran sungai (DAS) memperparah luapan air banjir.
Banjir secara bersamaan menerjang wilayah Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang Selatan, dan Blitar Selatan. Di Blitar Selatan sendiri, banjir tahun ini terparah karena meluasnya lokasi terdampak yakni sebanyak 5 kecamatan.
"Dari kajian sementara kami, ada tutupan lahan atau kawasan DAS terutama kawasan lindung yang beralih fungsi. Sehingga wilayah tangkapan aliran air atau water reservoirnya hilang. Seperti untuk usaha perekonomian warga ataupun industri," kata Direktur Walhi Jatim Wahyu Eka Setyawan kepada detikJatim, Selasa (18/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walhi mencatat, sejak tahun 2021 bencana hidrometeorologi di Jatim ada peningkatan yang signifikan. Selain faktor cuaca, di mana ada peningkatan intensitas hujan 200-500mm/hari, ada beberapa faktor lain yang membuat bencana makin parah dampaknya.
Faktor itu, lanjut Wahyu, adanya alih fungsi kawasan, hilangnya tutupan hutan primer, dan alih fungsi beberapa kawasan. Kondisi ini mendorong meluncurnya air dari dataran yang lebih tinggi semakin cepat. Kemudian memicu timbulnya longsor.
"Kami menyoroti, kebijakan pemerintah pada peruntukan kawasan itu tidak pernah dilihat. Hanya didorong sebagai kawasan ekonomi saja," ungkapnya.
Hutan jati di Blitar Selatan beralih fungsi ditanami tebu. Baca halaman selanjutnya.
Hutan Jati di Blitar Selatan Ditebang Diganti Tebu
Sementara itu, soal banjir yang menerjang Blitar Selatan, salah satu faktornya disebabkan karena adanya pembabatan hutan jati. Banjir makin parah karena adanya ahli fungsi lahan tersebut. Hal itu dikatakan oleh Agus Budi Sulistyo, seorang pegiat lingkungan, warga asli Kecamatan Sutojayan.
Data yang dimiliki Agus, lebih dari 8.000 hektare hutan Jati di sepanjang perbukitan Blitar Selatan telah beralih fungsi. Pohon Jati, tanaman keras yang akarnya mampu menahan derasnya aliran air hujan itu, dibabat dan diganti dengan tanaman tebu.
"Perhutani melanggar Keputusan Direksi Perum Perhutani nomor : 934/ Kpts/ Dir/ 2016 tentang Pedoman Agroforestri Tebu untuk Mendukung Ketahanan Pangan Dalam Kawasan Hutan Produksi Perum Perhutani. Karena hal ini tidak dijalankan oleh management Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Blitar dengan baik berakibat banjir di Kecamatan Sutojayan," tegasnya dikonfirmasi terpisah.
Berdasarkan azas kelestarian Hutan, paparnya, agroforestri tebu didominasi jenis tanaman kehutanan dengan proporsi luas minimal 51% dan jenis tebu maksimal 49 % dalam satu unit manajemen petak. Jumlah tanaman kehutanan per hektare rata-rata dalam satu petak minimal 400 pohon.
"Tapi Perhutani tidak melaksanakannya dengan baik," jelasnya.
Pada Juli 2020 lalu, reporter detikJatim pernah mewawancarai Wakil Administratur Perhutani Blitar yang masih dijabat oleh Sarman. Sarman mengakui jika ada alih fungsi lahan jati di 8.000 hektare kawanan lahan Perhutani Blitar. Lahan seluas itu memang ditanami tebu, karena masuk kategori lahan kosong.
"Kawasan Perhutani Blitar itu seluas 57.000 hektare. Dari luasan itu, ada 8000 hektare lahan kosong yang kemudian kami kerja samakan dengan masyarakat untuk ditanami tebu," kata Sarman, 16 Juli 2020.
Sesuai ketentuan Permen LHK no 81 tahun 2016 disebutkan, ada 51 persen tanaman kehutanan dan 49 persen tanaman produktif bagi masyarakat sekitar lahan. Perhutani Blitar kemudian membuat kerja sama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Sementara Dirut Perhutani KPH Blitar Teguh Waluyo mengakui, tahun ini penebangan hutan jati dan diganti dengan tebu tetap berlanjut. Area yang beralih fungsi seluas 10,5 hektare. Namun, area tersebut tetap akan ditanam pohon jati lagi setelah musim panen tebu.
"10,5 hektare penebangan awal tahun. Nanti akan ditanam lagi sesuai jadwal tribulan terakhir saat musim tanam, akan ditanam pohon Jati sama kayu putih," kata Teguh.
Simak Video "Video: Makam di Blitar Porak-poranda Diterjang Banjir, Jenazah Turut Hanyut"
[Gambas:Video 20detik]
(hil/dte)