Polda Jawa Timur menggandeng Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Jawa Timur menggelar Forum Grup Discussion (FGD) di Hotel Bumi Surabaya. Acara bertema "Peran FKUB dalam menjaga kerukunan umat beragama di Jawa Timur", ini dihadiri seluruh pengurus FKUB se-Jatim. Selain itu kegiatan tersebut juga dihadiri Dirintelkam Polda Jatim
Ketua FKUB Provinsi Jatim Kiai A. Hamid Syarif, mengatakan tujuan kegiatan itu menyangkut persoalan agama.
Ada satu topik tunggal saat digelar FGD yakni meningkatkan kerukunan umat beragama di Jatim. Namun ada beberapa subtansi yang berbeda dari FKUB menerangkan tentang moderasi agama, sementara pihak Dirintelkam menyangkut persoalan agama, konflik maupun pendirian rumah ibadah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penyelesaian permasalahan agama di Jatim ini bertingkat, urusan permasalahan kerukunan beragama ini di level Kabupaten/Kota. Kita tidak mempunyai kewenangan otonomi, ituloh persoalannya jadi semua harus di selesaikan di kabupaten/kota," kata Ketua FKUB Provinsi Jatim Kiai A. Hamid Syarif, Kamis (29/9/2022).
"Misalnya pendirian rumah ibadah, itukan ada syaratnya di PBM. Secara normatif harus ada anggota 60 ada rekomendasi dari FKUB. Yang memberi rekomendasi di daerah itu adalah ketua FKUB Kab/kota setelah mengikuti prosedur di PBM, jika tidak ada FKUB tidak berani, kecuali masyarakat sekitar bersedia berdialog melakukan kesepakatan bersama untuk mendirikan rumah ibadah. Jadi FKUB Provinsi hanya menerima keluhan keputusan ada pada Bupati/ Walikota berdasarkan Kemenag dan FKUB daerah," ungkapnya.
Sementara di tahun Politik pada 2024 mendatang, pihaknya tidak mentolelir rumah atau tempat ibadah dijadikan kegiatan politik. Karena itu netral hanya khusus rumah ibadah dijadikan beribadah.
"Kalau dijadikan kegiatan politik itu tidak benar, bahkan saya mengimbau kepada pemilik rumah ibadah di daerah untuk melarang. Bisa bisa harus buat pelakat, bahwa rumah ibadah dilarang dijadikan kegiatan politik," ujarnya.
Seperti yang terjadi di Malang beberapa waktu lalu. Penyebaran tabloid itu ketidaktahuan pengurus masjid tiba tiba ada tabloid. Dan siapapun bisa meletakkan tabloid tapi tanpa sepengetahuan pengurus masjid.
"Misalnya ada yang meletakkan koran, masa ya harus pamit. Karena niatnya sudah berbeda dengan semula, tahu-tahu nanti dijadikan publikasi bahwa tempat ibadah adalah menyebarkan atau memperbanyak tabloid dari satu agama, jadi sasarannya bisa politik atau fitnah," jelasnya.
Mengantisipasi hal itu harus dilakukan pemberdayaan pengurus takmir yang harus berjaga. Kalau pengurus dari suatu rumah ibadah tidak ada, maka kecolongan.
"Orang pergi ke masjid orang menilai itu untuk beribadah untuk sholat tapi ini disalahgunakan, masa kita curiga orang pergi ke masjid," pungkasnya.
(fat/fat)