Efek domino naiknya harga BBM, mulai terjadi di harga bumbu masakan. Hal ini menimbulkan dilema pedagang masakan dan katering. Mereka berniat menaikkan harga, tapi takut berdampak kehilangan pelanggan.
Seperti Endang yang membuka warung nasi di selatan Pasar Legi Kota Blitar ini. Dia tidak menaikkan harga makanan yang dijualnya pasca kenaikan harga BBM. Karena lokasi usahanya dekat dengan pasar, sehingga belanja bahan mentah tidak membutuhkan posting anggaran untuk ongkos BBM.
Diakui Endang, keuntungannya menurun sampai 20 persen dampak adanya kenaikan harga BBM. Beberapa harga bahan mengalami kenaikan, seperti cabai merah, bawang putih dan bawang merah. Namun Endang masih mempunyai stok banyak sehingga masih mendapatkan harga lebih murah bulan kemarin. Selain itu, Endang biasanya mengambil stok bumbu tersebut langsung dari suplier atau pengepul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harga tetap, porsi juga saya layani tetap. Bagi saya, untung berkurang sampai 20 persen gak papa. Yang penting tetap bisa jualan walaupun untung sedikit. Asal pelanggan saya puas dan tidak berpindah tempat," kata Endang, Rabu (7/9/2022).
Berbeda dengan Dita yang membuka usaha katering rumahan sejak 4 tahun silam. Dita setiap hari berbelanja bahan mentah untuk menjamin kesegaran masakannya. Dan sejak harga BBM naik, harga bahan mentah dan bumbu yang dibelinya bergantian naik tiap hari.
"Kemarin lusa itu bawang merah yang semula Rp 23 ribu naik jadi Rp 28 ribu. Cabai besar, hari ini naik juga. Dari Rp 50 ribu jadi Rp 80 ribu. Beras juga naik, semula Rp 11 ribu jadi Rp 14 ribu. Sayuran, seperti kacang panjang, hari ini juga naik. Semula Rp 6000 seikat, jadi naik Rp 8000. Tambah susah menjalani usaha makanan," keluh ibu dengan dua anak ini.
Walaupun dihantui menghilangnya pelanggan, namun Dita memilih rasional berhitung daripada tekor berkepanjangan. Dia memang tidak menaikkan harga paket masakan. Namun memilih menaikkan ongkos kir ke rumah-rumah para pelanggannya.
"Dulu jarak kurang dari 5 KM, ongkirnya hanya Rp 8000. Sekarang terpaksa saya naikkan jadi Rp 10 ribu. Kalau yang jaraknya lebih dari 5 KM, dulu ongkir itu Rp 10 ribu, sekarang saya naikkan Rp 15 ribu. Tapi ada juga yang akhirnya mengambil sendiri kesini. Ya resikonya, pelanggan saya berkurang sampai separuh," ungkapnya.
Dilema serupa tak luput dialami penjual angkringan. Mau menaikkan harga, tapi takut pelanggan menghilang. Namun mereka tetap mengikuti harga pedagang yang menitipkan makanan dan camilan di angkringannya.
"Kalau makanan atau camilan , kami ngikut harga yang titip. Hampir semua naik Rp 1000/ buah. Kami hanya bertahan di harga minuman. Biar para pelanggan gak hilang. Soalnya lama menarik mereka kesini. Kompetitor makin menjamur. Terpaksa pasang harga bersaing lah. Untung tipis gak masalah," pungkas Agus, penjual angkringan di Jalan Anjasmoro.
(iwd/iwd)