Bupati Mojokerto Hadiri Prosesi Ruwat Agung Petirtaan Jolotundo

Kabupaten Mojokerto

Bupati Mojokerto Hadiri Prosesi Ruwat Agung Petirtaan Jolotundo

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Rabu, 03 Agu 2022 20:36 WIB
Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati menghadiri ruwat agung Petirtaan Jolotundo di Dusun Biting, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas.
Foto: detikcom/Enggran Eko Budianto
Mojokerto -

Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati menghadiri ruwat agung Petirtaan Jolotundo di Dusun Biting, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas. Prosesi di situs purbakala peninggalan Kerajaan Medang Kamulan sampai Majapahit ini dilakukan untuk melestarikan warisan para leluhur sekaligus mata air yang menjadi sumber kehidupan.

Ruwat agung Petirtaan Jolotundo diawali dengan kirab budaya nusantara dan pertunjukan tari mayang rontek. Lalu dilanjutkan dengan ritual hormat leluhur, ujub sesaji dan ritual manunggaling tirta.

Bersama Wabup Mojokerto Muhammad Al Barraa, Ikfina ikut menanam pohon dan melepaskan burung di area Petirtaan Jolotundo. Ruwat agung ditutup dengan doa lintas agama. Kesenian tradisional jaranan, bantengan dan singo barong kian memeriahkan acara ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ikfina mengatakan ruwat agung Petirtaan Jolotundo bukan sekadar kegiatan adat dan budaya yang rutin. Namun, juga sebagai upaya menghormati dan melestarikan warisan para leluhur.

"Mudah-mudahan semua yang sudah dilakukan oleh para leluhur kita merupakan suatu kebaikan. Kemudian kita bersama-sama bisa menikmatinya, kita bisa warisi dengan baik, dan kita jaga dengan baik," kata Ikfina di lokasi, Rabu (3/8/2022).

ADVERTISEMENT

Orang nomor satu di Pemkab Mojokerto ini mengajak seluruh masyarakat untuk melestarikan adat istiadat dan kebudayaan warisan para leluhur seusai tempat dan kewenangan masing-masing. Baik peninggalan fisik, maupun nonfisik.

Tak terkecuali Petirtaan Jolotundo yang terletak di kaki Gunung Penanggungan. Petirtaan ini sangat penting untuk dilestarikan karena mempunyai nilai yang tinggi, baik dari segi sejarah, kebudayaan, maupun kemurnian airnya.

"Untuk menjaga melestarikan semuanya, kegiatan yang dilaksanakan sebagai simbol bahwa kita ini berkomitmen secara bergotong-royong dan bersama-sama menjaga kelestarikan Pertitaan Jolotundo," jelas Ikfina.

Ia berharap ruwat agung Petirtaan Jolotundo menjadi event kebudayaan yang mampu menarik para wisatawan. "Sehingga bisa meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Mojokerto," tandasnya.

Struktur Petirtaan Jolotundo seluas 18x12,5 meter persegi. Air yang mengisi kolam berbentuk persegi di dalamnya mengalir keluar melalui dinding batu di atasnya. Terdapat sebuah pripih nawasanga atau peti berceruk sembilan di dasar kolam.

Terdapat pahatan angka tahun 899 saka atau 977 masehi pada dinding belakang sisi kanan Petirtaan Jolotundo. Pahatan Gempeng pada sisi kiri dinding yang sama. Sedangkan pada bilik utama terdapat pahatan Mregawati dan Udayana.

Merujuk pada angka tahun 977 masehi tersebut, petirtaan kuno ini dibangun pada masa Ratu Sri Isyana Tunggawijaya, Putri Raja Medang Kamulan, Mpu Sindok. Istri Sri Lokapala itu memimpin sejak tahun 947 masehi.

Selain itu, sejarah Petirtaan Jolotundo juga berkaitan dengan Prasasti Cunggrang di lereng timur laut Gunung Penanggungan, Desa Bulusari, Gempol, Pasuruan. Prasasti yang dibuat Mpu Sindok tahun 851 saka atau 929 masehi ini menyebut Pawitra. Yaitu tempat para resi melakukan ritual pemujaan.

Gunung Penanggungan yang puncaknya biasa disebut Pawitra diyakini menjadi tempat suci bagi para resi di masa lalu. Petirtaan Jolotundo menjadi bangunan suci yang terus digunakan dari zaman Kerajaan Medang Kamulan sampai Majapahit. Sedangkan kawasan Pawitra di Gunung Penanggungan diperkirakan sudah ada sebelum Mpu Sindok memindahkan kekuasaannya dari Jateng ke Jatim pada 929 masehi.

Pada zaman kerajaan, Petirtaan Jolotubdo menjadi bangunan suci tempat pemujaan terhadap Dewa Wisnu. Konsep yang biasa melekat yaitu pencarian air suci Samudra Mantana. Jika dikaitkan dengan Petirtaan Sumber Tetek dan kawasan Pawitra di Gunung Penanggungan, Jolotundo menjadi tempat menyucikan diri.

Hanya saja pada masa lalu, Petirtaan Jolotundo bukanlah tempat ritual masyarakat umum maupun kaum bangsawan. Menurut Wicaksono, petirtaan ini dibangun khusus untuk memfasilitasi para resi atau para petapa.

(ncm/ega)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads