Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kembali menerima permohonan pernikahan beda agama. Pengajuan ini adalah yang kali kedua diterima PN Surabaya.
Humas PN Surabaya Anak Agung Gede Agung Parnata mengonfirmasi pengajuan tersebut. Namun, ia tak menjelaskan secara detail perihal tersebut.
"Iya (benar), Mas," kata Agung saat dikonfirmasi detikJatim, Rabu (6/7/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agung mengaku belum ada hasil atau putusan dari permohonan itu. Mengingat, permohonan pernikahan beda agama itu baru masuk sidang babak pertama.
"Saya belum tahu juga (detailnya), nanti dicek. Kayaknya, baru sidang kemarin," ujarnya.
Berdasarkan data yang diperoleh detikJatim, permohonan itu telah teregister dalam SIPP dengan nomor perkara 1535/Pdt.P/2022/PN Sby. Permohonan itu didaftarkan kemarin Senin (4/7) lalu oleh SCG dan MYST.
Dalam petitum yang tersurat di SIPP sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;
2. Memberikan izin kepada para pemohon yang berbeda agama untuk melangsungkan pernikahan berbeda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya;
3. Memerintahkan kepada pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama para pemohon tersebut di atas ke dalam Register Pencatatan Perkawinan;
4. Membebankan biaya permohonan kepada para pemohon.
Pemerintah menolak melegalkan pernikahan beda agama saat sidang Judicial Review UU Perkawinan di MK. Baca di halaman selanjutnya
Sebelum ini, seperti dikutip dari detikNews, pemerintah telah menolak melegalkan pernikahan beda agama. Hal itu disampaikan saat sidang judicial review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege. Ramos Petege mengajukan uji materi UU Perkawinan ke MK lantaran tak bisa menikahi pujaan hatinya yang berbeda agama. Ramos beragama Katolik, sedangkan kekasihnya beragama Islam.
Pada sidang itu, pemerintah diwakili oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Pernyataan resmi pemerintah itu disampaikan oleh kuasa dari Kemenag, Kamaruddin Amin.
"Makna hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 UUD 1945 sebagai batu uji Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan oleh Pemohon telah ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama," kata Kamaruddin Amin.
Pemerintah menilai, hukum perkawinan masing‐masing agama dan kepercayaan di Indonesia berbeda‐beda. Sehingga, tak mungkin disamakan. Suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan untuk menentukan sahnya perkawinan adalah syarat‐syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‐masing pasangan calon mempelai.
"Dan terhadap perkawinan tersebut dilakukan pencatatan sebagai tindakan yang bersifat administratif yang dilaksanakan oleh negara guna memberikan jaminan perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara, serta sebagai bukti autentik perkawinan," urai pemerintah.
Lebih lanjut, pernikahan beda agama tidak diperbolehkan atas nama Hak Asasi Manusia dan Kebebasan. Sebab, saat menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang‐undang dengan maksud semata‐mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai‐nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
"Sehingga tidaklah mungkin di negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan setiap orang dapat sebebas‐bebasnya melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan karena bisa jadi pelaksanaan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan justru akan melanggar hak konstitusional orang lain yang seharusnya dihormati (respected), dilindungi (protected) oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945," beber pemerintah.