Ada cerita berkesan saat para mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) FK Unair berlayar dengan rombongan RS Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA). Salah satunya cerita dr Nanda Bagus Pratiktio yang pernah memeriksa pasien wanita tanpa rahim.
Nanda merupakan mahasiswa PPDS Obstetri dan Ginekologi (Obgyn) FK Unair. Dia mendapat pengalaman berkesan tersebut saat ikut rombongan RSTKA berlayar menuju Pulau Raas dan Gili Iyang, Madura sejak 13 Mei hingga 7 Juni 2022.
Nanda menceritakan bahwa pasien tanpa rahim tersebut awalnya datang untuk memeriksakan diri. Sebab, sang pasien tak kunjung dikaruniai buah hati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya dapat pasien wanita usia 30 tahun. Datang dengan harapan ingin memiliki momongan. Namun setelah diperiksa, rupanya ibu tersebut tidak memiliki rahim," cerita Nanda, Kamis (16/6/2022).
Setelah diberikan penjelasan, pasien tersebut pun memaklumi. Sebab, selama 30 tahun hidupnya, pasien tidak pernah menstruasi. Saat menikah, dia juga tak kunjung memeriksakan kondisinya. Baru kali ini sang pasien memeriksakan diri dan baru tahu jika dirinya tidak memiliki rahim. Kondisi tersebut juga disampaikan dr Nanda kepada suami pasien tersebut.
"Atas seizin istri, kenyataan tersebut tetap saya sampaikan kepada suami meskipun tidak nyaman untuk didengar," ujar dr Nanda.
Saat mendengar kondisi istrinya, sang suami merasa sangat terpukul. Bahkan sempat tidak menerima. Sebab, sang suami sangat ingin memiliki momongan.
Nanda menjelaskan, kasus perempuan tanpa rahim sebenarnya kerap ditemui pada pasien RSU dr Soetomo Surabaya. Sehingga, kasus ini bukan yang pertama kali.
"Yang bisa menjadi pelajaran, segera periksa jika ada kelainan dalam diri, misalnya tidak pernah menstruasi. Ini membantu agar terdeteksi sejak dini. Meskipun di Indonesia belum bisa transplantasi rahim, setidaknya pasangan tahu kondisi itu sebelum menikah. Sehingga tidak ada kekecewaan," jelas dr Nanda.
Dia pun menjelaskan bahwa kelainan tersebut harus ditangani dokter spesialis obgyn. Namun, dr Nanda pun memaklumi kondisi pasien yang tinggal di kepulauan yang jauh dan transportasinya sangat terbatas, sehingga sulit untuk menuju rumah sakit.
"Karenanya ada pelatihan yang saya berikan kepada bidan di puskesmas setempat agar terampil jika ada kasus berat. Bayi dan ibu pun selamat," urainya.
Selama mengabdi bersama RSTKA, dokter kelahiran tahun 1989 ini sudah melakukan pemeriksaan kehamilan lebih dari 100 kali, 4 tindakan operasi caesar dan berbagai pelayanan poliklinik. Selain itu, dia juga memberikan pelatihan kepada 28 bidan yang berfokus pada penanganan persalinan patologis seperti penanganan persalinan bayi sungsang.
Di akhir wawancara, dr Nanda juga menceritakan kesannya saat berlayar di kapal RSTKA selama 3 minggu. Dia pun mengaku belum terbiasa melakukan pelayanan di kapal. Sehingga Nanda harus menyesuaikan diri. Tak jarang dia harus mengkonsumsi pereda mabuk sebelum melakukan tindakan operasi agar tetap stabil meski mengalami goncangan ombak yang cukup kencang.
Mengabdi selama 2 pekan di Pulau Raas dan 1 pekan di pulau Gili Iyang juga membuatnya harus beradaptasi dengan kehidupan di kepulauan. Misalnya tinggal bersama warga, keterbatasan sinyal, hingga listrik yang hanya menyala selama setengah hari.
"Jadi saya kadang-kadang juga tidur di kapal kalau sudah tidak kuat panas (karena listrik mati). Saya nikmati saja semua pengalamannya," pungkas dr Nanda.
(hse/fat)