Angkutan kota (angkot) di Kota Malang kian meredup seiring perkembangan teknologi digital. Angkot yang dulu primadona kini kondisnya seperti hidup segan mati tak mau.
Sepinya penumpang, hingga sedikitnya pendapatan kerap dirasakan para sopir angkot. Mereka yang tak punya pilihan pun tetap menggantungkan nasib menjadi sopir angkot meski pendapatannya tak menentu.
Salah satunya Pak Brewok (65). Pria yang tinggal di kawasan Tanjung, Kota Malang itu sudah menyopiri angkot sejak 1993 silam. Saat ini Pak Brewok mengoperasikan angkot Arjosari-Mergosono-Gadang (AMG).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan miliknya sendiri, angkot yang dipakai berkeliling setiap hari adalah milik orang lain. Meski tidak harus menyetor uang kepada pemilik angkot, Pak Brewok mengakui kondisinya tidak seperti dulu.
Sekarang, dalam sekali perjalanan pulang pergi (PP) dari Terminal Arjosari-Terminal Gadang dapat sisa uang Rp 20 ribu, kata Pak Brewok, itu sudah sangat luar biasa. Sangat jarang terjadi.
"Saya ini kan, enggak bisa ngetem. Lebih memilih cari penumpang dari terminal. Biasanya dari sini (Terminal Arjosari) dapat penumpang dua, saya mulai jalan. Penumpang turun bayar Rp 5 ribu, ada yang simpati bayar Rp 10 ribu. Akhirnya kalau satu PP (pulang-pergi) dapat Rp 40 ribu saja, bensinnya Rp 20 ribu. Berarti untuk mobilnya Rp 20 ribu," ceritanya.
Dalam sehari-harinya, Pak Brewok hanya mampu menarik antara tiga hingga empat kali PP. Sementara kebutuhan BBM untuk sekali perjalanan pulang-pergi sebesar Rp 20 ribu.
Andai satu perjalanan itu hanya dapat Rp 30 ribu, maka hanya tersisa uang Rp 10 ribu.
"Saya maksimal tiga sampai empat PP setiap hari. Satu PP butuh BBM Rp 20 ribu. Kalau satu PP hanya dapat Rp 30 ribu, berarti hanya sisa Rp 10 ribu. Nanti jalan terus sampai empat PP, ya mungkin Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu masih dapat," tuturnya.
Pria yang akrab disapa Pak Brewok itu harus berjuang agar bisa mendapatkan sisa dari penghasilan menarik angkot. Jumlahnya pun tak banyak karena harus dibagi dengan setoran dan pembelian BBM.
![]() |
"Setelah kebutuhan bensin terpenuhi. Baru mikir untuk setoran dan itu relatif. Sisanya lagi baru kita bawa pulang. Jumlahnya gak banyak kadang hanya Rp 20 ribu," ujarnya.
Pak Brewok mengatakan mencari penumpang hingga angkot penuh di Kota Malang sekarang sangat sulit. Berbeda di era 1998 ketika angkot menjadi primadona. Mencari penumpang tidak lah sesulit hari ini.
"Dulu tahun 1998, ramai antrean angkot di sini (Terminal Arjosari), dari semua trayek. Dan penumpang juga banyak naik dari sini. Sekarang lihat, berapa angkot yang ada di sini? Mana ada penumpang jika kondisi terminalnya kayak begini," ujarnya.
Saat detikJatim mengunjungi Terminal Arjosari lokasi antrean angkot yang disediakan Dinas Perhubungan Kota Malang ada di sisi paling selatan. Tak banyak angkot yang ada di sana. Bahkan ada angkot yang dibiarkan mangkrak.
Di masa kejayaannya, jumlah armada angkot di Kota Malang cukup banyak. Sekarang menyusut dibawah 50 persen saja yang aktif beroperasi.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Malang, jumlah armada angkot saat ini tinggal 525 unit, mereka beroperasi untuk 16 trayek. Salah satunya AMG.
"Sekarang trayek yang masih aktif hanya 16 dari sebelumnya 25 trayek dengan jumlah armada sekitar 525 kendaraan," kata Kepala Seksi Angkutan Dalam Trayek Bidang Angkutan Dinas Perhubungan Kota Malang, Jose Manuel Belo.
Belo mengatakan, Terminal Arjosari terbagi menjadi dua bagian yakni terminal tipe A dan tipe C. Untuk tipe A diperuntukkan bagi armada bus dan tipe C untuk angkutan kota.
Pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dirjen Perhubungan Darat terkait Terminal Arjosari agar terjadi sinkronisasi dalam pengelolaan dan pembangunan terminal.
"Sehingga ketika penumpang turun dari bus, bisa diarahkan untuk ke lokasi terminal C. Supaya mereka bisa diangkut oleh angkutan kota. Jangan sampai turun lagi di jalan, atau sebelum masuk terminal. Ke depan akan kami perbaiki, saat ini sedang dilakukan kajian-kajian," katanya.
(dpe/fat)