Jejak Spiritual Soekarno-Mendalami Islam Hingga Memberangus Freemason

Jejak Spiritual Soekarno-Mendalami Islam Hingga Memberangus Freemason

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Rabu, 01 Jun 2022 08:47 WIB
Lukisan Bung Karno
Ilustrasi lukisan Soekarno. (Foto: Erliana Riady/detikJatim)
Surabaya -

Presiden pertama Republik Indonesia (RI) Soekarno dikenal sosok yang religius, bijak, dan 'membara'. Tapi tak banyak yang tahu bahwa Bung Karno baru mengenal lebih dalam Agama Islam ketika masa remaja di Surabaya.

Pengamat Sejarah di Surabaya Kuncarsono Prasetyo mengatakan, semasa kecil hingga remaja Bung Karno belum terlalu mengenal Islam. Orang tuanya Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai kurang mengajarkan pendidikan agama secara teratur.

Berdasarkan otobiografi dan catatan sejarah yang ada, kata Kuncar, Soekarno baru mengenal Islam ketika berusia belasan tahun. Yakni, saat ia remaja dan bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dituliskan pada catatannya bahwa 'Saya mengenal Islam ketika umur saya 15 tahun'," kata Kuncarsono kepada detikJatim, Selasa (31/5/2022).

Kuncar pun menyatakan bila kabar tentang Soekarno pernah mengaji dan bermain semasa kecil di Surabaya hanyalah kabar burung. Sebab, Bung Karno menghabiskan masa kecilnya di Jombang, Mojokerto, dan Tulungagung. Menurutnya, tak ada referensi atau bukti perihal masa kecil Soekarno di Surabaya.

ADVERTISEMENT

"Jadi, kalau kemudian ada isu pernah mengaji di langgar atau bertemu guru ngaji di Surabaya, itu tidak mungkin. Karena Bung Karno baru kembali ke Surabaya saat remaja. Itu rangkaian atau timeline. Yang pertama tidak ada catatan dan kedua tidak sesuai timeline," ujarnya.

Soekarno mengenal Islam lebih dalam dari HOS Cokroaminoto

Ketika bersekolah di HBS Surabaya, ia kembali dititipkan oleh ayahnya di Peneleh, di rumah Raden Hadji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto. Pada masa-masa remajanya itulah ia mempelajari Islam lebih dalam.

Soekarno pernah diajak pengajian dan dalam kegiatan itulah Bung Karno sedikit demi sedikit mulai mengenal sekaligus mencintai Islam.

"Dia mengenal agama Islam pertama kali dari pak Cokro (H.O.S Tjokroaminoto), karena setiap hari diajak pengajian di depan rumah Pak Cokro. Dalam catatannya, ia tulis 'saya mengenal pertama kali Islam serta organisasi Muhammadiyah saat itu'," ujar Kuncar.

Hingga kini, rumah H.O.S Tjokroaminoto di Peneleh Surabaya masih ada. Rumah itu menjadi saksi bisu bagaimana Soekarno menempuh perjalanan spiritual yang membentuk karakternya sebagai pemimpin bangsa.

"Jadi, ceritanya dia (Soekarno) baru mengenal Islam di umur 15 tahun dan itu di pengajiannya Muhammadiyah. Makanya di buku kemudian ditulis kalau meninggal ingin dikubur dan diselimuti bendera Muhammadiyah, sampai seperti itu. Itu ada dalam catatannya," kata Kuncar.

Tak terjebak dalam fanatisme agama

Kuncar mengatakan, meski Soekarno lebih condong pada organisasi Muhammadiyah, semasa hidupnya, apalagi ketika menjadi Presiden, Soekarno tak pernah mengeklaim bagian dari organisasi keagamaan apapun.

"Dia tidak pernah mengeklaim organisasi apapun, tapi memang pernah punya keinginan saat meninggal dibungkus dengan bendera Muhammadiyah, karena pertama kali dikenalkan Islam oleh Muhammadiyah," katanya.

Selain itu, meski patuh dan taat pada Syariat Islam, Presiden pertama RI itu tidak terjebak dalam pemikiran yang sempit. Dalam Surat Ende 1936, Soekarno dengan gamblang menyatakan bahwa Api Islam bukanlah Islam yang kuno dan 'ngotot' kembali ke Zaman Khalifah.

"Kemudian, dia tidak pernah menjadi bagian dari organisasi apapun dan berdasarkan catatannya, dia memang penganut agama yang rasional juga. Menjalankan salat 5 waktu. Tapi, dia (Soekarno) menolak Negara Islam," katanya.

Sekelumit Kisah Soekarno dengan Freemason

Pengamat Sejarah yang akrab disapa Mas Kuncar itu mengeklaim menemukan bukti bahwa Bung Karno dan ayahnya Soekemi pernah menjadi bagian dari Tarekat Mason Bebas atau Freemason.

Menurutnya, ketika bersekolah di HBS Surabaya, Soekarno muda memiliki kartu keanggotaan perpustakaan Tarekat Mason Bebas yang berlokasi di Jalan Tunjungan, tepatnya di Gedung yang kini menjadi Gedung BPN.

Pria yang juga meneliti sejarah Kota Pahlawan itu menjelaskan, akses Soekarno ke perpustakaan yang memang kaya akan buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi kala itu dipermudah oleh keanggotaan ayahnya.

Kuncar menyebutkan, hal itu diperkuat dengan adanya bukti kartu keanggotaan ayahnya yang aktif hingga Soekarno berusia 21 tahun.

"Di usia 15 sampai 21 tahun ia bisa mengakses perpus karena bapaknya. Apalagi perpustakaan itu paling lengkap soal ilmu pengetahuan dan teknologi. Itu dijelaskan sama dia sendiri (Soekarno)," katanya.

Sebaliknya, ketika Soekarno telah menjadi proklamator, ia sendiri yang melarang dan membubarkan organisasi itu dengan UU Komando Tinggi Militer yang ditandatangani pada 27 Februari 1961.

Tidak hanya itu, Bung Karno juga memperkuat larangan itu dengan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 264 Tahun 1962, hingga Perwakilan Pengurus Besar Provinsial Freemason sempat meminta audiensi.

Perwakilan Pengurus Besar Freemason, kata Kuncar, sempat melakukan audiensi dengan Soekarno pada 3 Maret 1950 untuk memberikan penjelasan tentang Freemason dan aktivitasnya. Tapi penjelasan itu tidak mempengaruhi keputusan Bung Karno. Presiden pertama RI itu tetap membubarkan organisasi tersebut di Tanah Air.

"Itu (Freemason) dibubarkan zaman Bung Karno, tahun 1955. Namanya kemudian diubah menjadi Yayasan Loka Paramita. Itu di setiap kota kan ada. Orang sering menganggap itu organisasi Yahudi, padahal orang Yahudi menganggap Freemason itu organisasi sesat," katanya.

Selain Freemason, organisasi lain yang dilarang oleh Soekarno pada saat itu adalah Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians (AMORC), dan Baha'i.

Dalam Kepres yang Soekarno tanda tangani, organisasi-organisasi itu dianggap tidak sesuai dengan kepribadian nasional. Namun, kata Kuncar, Kepres itu dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan disahkannya Kepres No. 69 tahun 2000 pada 23 Mei 2000.

"Memang, freemason itu mengganggu eksistensi agama-agama konvensional, karena lambangnya kan jangka dan penggaris. Maknanya rasionalitas dalam berpikir atau teologi yang rasional, karena waktu itu semua orang beragama itu mereka nilai mistis semua," ujar dia.




(dpe/dte)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads