Aneka Ria Srimulat sebagai grup lawak yang bisa dibilang terbesar di era 70-an hingga 90-an silam tak lepas dari pasang surut. Ketika pasang, pendapatan para pelawak termasuk Asmuni dan Gepeng pun melimpah.
Berdasarkan catatan Herry Gendut Janarto dalam bukunya Teguh Srimulat Berpacu dalam Komedi dan Melodi (1990), pendapatan pelawak Srimulat di masa lalu terbilang fantastis.
Pada 1977 silam, misalnya, setelah masuknya Toto Asmuni dan pelawak eks grup Lokaria sejak 1976, kehidupan para pelawak Aneka Ria Srimulat di THR Surabaya cukup makmur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu Srimulat sedang mencapai puncak dengan gabungan unsur dagelan Mataram, ludruk, ketoprak, dan sandiwara dengan bahasa di panggung yang gado-gado sehingga makin beragam nuansanya.
Keringnya unsur dagelan selepas kaburnya Johny Gudel dan kawan-kawannya dari Srimulat tak lagi terasa. Panggung Srimulat kembali menggelar dua kali pents setiap malam Minggu dan malam Jumat.
![]() |
Gedung Srimulat THR Surabaya berkapasitas 740 kursi selalu penuh kecuali pada hari Senin dan Selasa. Sehingga setiap malamnya penghasilan grup lawak itu tak kurang dari Rp250.000.
Pada tahun itu, ketika nominal rupiah belum seperti sekarang, pendapatan sekian termasuk besar dan deras. Mampu untuk menyejahterakan sekitar 80 awak Aneka Ria Srimulat.
"Penghasilan setiap anggota berkisar antara Rp 350 sampai Rp 1.750. Penghasilan paling kecil diterima karyawan dekor, yang terbesar diperoleh para pelawak," papar Herry Gendut Janarto dalam bukunya.
Penghasilan itu belum termasuk job luar panggung yang bisa jauh lebih besar dari pendapatan harian. Menurut Herry, Asmuni termasuk yang sering dapat job luar. Di tahun-tahun kemudian, ada nama Gepeng.
Kesuksesan Aneka Ria Srimulat, meski beberapa kali dilanda tragedi, terus menanjak ketika grup itu mulai menetap di Jakarta sejak 1981, dan terus bertambah banyaknya sejak menempatinya gedung baru pada 1984.
Di gedung senilai Rp 150 juta yang dibangun oleh Ir Ciputra melalui PT Pembangunan Jaya di Taman Ria Remaja Senayan itulah rezeki bagi para pelawak Aneka Ria Srimulat terus mengalir tak kunjung henti.
Setiap malam, di tahun yang jauh sebelum krisis moneter 1998 itu, uang yang masuk dari pertunjukan setiap hari rata-rata mencapai Rp 3 juta. Padahal, tarif karcis pertunjukan naik secara bertahap.
Kesejahteraan pelawak anggota Aneka Ria Srimulat di era itu benar-benar tak perlu diragukan lagi. Tidak hanya di Jakarta, Aneka Ria Srimulat di THR Surabaya, juga yang ada di Bale Kambang, Solo, tak kalah berjaya.
Antara tahun 1981-1985, penghasilan para pelawak di tiga unit tersebut dalam sekali main, sesuai peringkat prestasi masing-masing, berkisar antara Rp 3.000 hingga Rp 7.500. Pemusik dan penyanyi antara Rp 2.500 hingga Rp 5.000.
Untuk mengukur kesejahteraan para pelawak itu, mari kita bandingkan penghasilan bulanan para pelawak Srimulat dengan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditetapkan pemerintah di masa-masa itu.
![]() |
Dengan honor antara Rp 3.000 hingga Rp 7.500 sekali manggung, dengan estimasi libur empat hari dalam sebulan, maka pendapatan bulanan para pelawak Srimulat di era 1981-1985 antara Rp 78.000-Rp 195.000.
Sementara, berdasarkan sejumlah peraturan pemerintah yang berlaku, gaji PNS pada periode 1980-1985 antara Rp 12.000-Rp 120.000. Maka kata sejahtera bagi para pelawak Srimulat di era itu layak mereka sandang.
Bahkan, khusus untuk para pelawak Srimulat, di era itu mereka juga masih mendapat tambahan penghasilan dari tanggapan main di luar. Pada 1984 misalnya, job keluar baik di Jakarta, luar jakarta atau hingga ke luar pulau bisa mencapai 40 kali dalam sebulan.
Setiap kali manggung, pendapatan kotor yang bisa dibawa pulang seluruh awak Srimulat yang berangkat mencapai antara Rp 1 hingga Rp 4 juta untuk kemudian dibagi rata.
Biasanya, apakah itu berempat atau berlima, untuk sekali main di luar Jawa, masing-masing akan menerima honor bersih antara Rp 50.000 hingga Rp 150.000 atau sekitar 40 persen dari hasil keseluruhan.
Misalnya untuk job di Padang senilai Rp 1,5 juta. Jatah untuk pemain adalah 40 persen dari jumlah itu, yakni sekitar Rp 600.000. Kalau yang main 5 orang, berarti masing-masing menerima Rp 120.000. Sisanya, Rp 900.000, masuk kas perusahaan.
Sedangkan untuk main di Jakarta dan sekitarnya masih di sekitar Pulau Jawa, para pelawak yang turut serta masing-masing akan mendapat honor bersih antara Rp 25.000 sampai Rp 75.000.
Nah, bagaimana dengan pelawak yang kebetulan tidak ikut job? Masing-masing ternyata juga berhak memperoleh uang todongan sebesar honor rutin mereka sehari-hari yang diambilkan dari kas perusahaan.
Dengan begitu, semakin banyak job, semakin berlimpah pula jadinya. Belum lagi, mereka masih mendapat uang tambahan dari rekaman kaset, video, pembuatan iklan, juga film.
Ya, film. Di era itu ada sejumlah pelawak Srimulat yang sering muncul membintangi sejumlah film. Sebut saja Gepeng, Asmuni, Subur, Paul, Triman, Budi SR, Basuki, Timbul, Bambang Usmanto, Bambang Siswanto, Slamet "Martini" Haryono, Sofia, dan lainnya.
![]() |
"Untuk pendapatan di luar 'manggung' seperti itu, pembagian honornya menggunakan sitem fifty-fifty antara perusahaan (Srimulat) dan anggota bersangkutan," papar Herry di dalam bukunya.
Manajer pembagian honor itu tentu saja diatur sepenuhnya oleh Teguh Slamet Rahardjo, Sang Maestro pendiri Aneka Ria Srimulat. Dalam praktiknya, Teguh sendiri mengakui bagaimana sulitnya untuk berlaku adil.
"Saya berusaha memberi kesempatan kepada semua pelawak yang ada untuk menerima job dengan cara menggilir mereka. Ini semua untuk pemerataan. Sebab, yang sering terjadi, pihak pemanggil selalu minta pelawak yang itu-itu saja. Repot memang.... Akan halnya pembagian honor, saya memang harus bersikap realistis," demikian pernyataan teguh kepada Herry Gendut Janarto.
Di era kejayaan itulah, sejumlah tokoh pelawak seperti Gepeng, Asmuni, dan juga Tarzan mampu mewujudkan mimpi mereka di masa susah. Mulai dari memiliki kendaraan sepeda motor dan mobil baru, membuka usaha, hingga menunaikan ibadah wajib untuk berangkat ke tanah suci.
"Gepeng, misalnya, mulai mengontrak rumah sendiri dan bermobil pribadi. Soal papan, Asmuni telah juga mampu mandiri dan terus meningkatkan diri dengan membuka warung makan yang sangat laris. Tarzan tidak saja bisa menikmati sepeda motornya yang baru, tapi juga mensyukuri diri bisa naik haji ke Tanah Suci," demikian pemaparan Herry Gendut Janarto di bukunya.
(dpe/dte)