Hari Kartini jatuh tepat pada hari ini, Kamis (21/4/2022). Momen ini harusnya tidak sekadar menjadi seremoni semata. Namun, menjadi refleksi bagi perempuan agar selalu berdaya, haus ilmu, dan selalu memperjuangkan hak-hak sesama perempuan.
Salah satu inspirasi semangat Hari Kartini kali ini adalah perjuangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Savy Amira Women's Crisis Center Surabaya. LSM ini bergerak untuk pemberdayaan perempuan, serta pencegahan dan pendampingan perempuan korban Kekerasan Seksual (KS).
Di balik LSM ini, ada sosok Direktur Savy Amira, Siti Mazdafiah. Dia lantas menceritakan sejumlah pengalamannnya selama menerima laporan dan mendampingi korban kekerasan seksual. Siti mengaku langsung lemah saat mendengar kasus kekerasan seksual.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ini lemah mbak. Setiap kali ada perempuan muda yang mengalami kekerasan seksual, patah hati banget. Biasanya saya langsung keinget anak saya yang perempuan, yang ada di luar Surabaya, langsung telepon," kata Siti saat dihubungi detikJatim, Kamis (21/4/2022).
Selain itu, Siti menyayangkan kondisi sebagian orang yang belum memahami kekerasan seksual. Hal itu menjadi dilema bagi korban kekerasan seksual yang tak bisa leluasa menceritakan masalahnya atau speak up. Dia pun mengalami sendiri di lingkungan sekitarnya.
"Sampai-sampai kalau anak saya telepon sambil nangis dan pengen curhat atau keponakan saya telepon 'Tante, jangan kasih tahu ibu ku ya'. Langsung pikiran saya, aduh jangan-jangan kekerasan seksual nih." tutur Siti.
Siti mengatakan bahwa kondisi perempuan yang tidak bisa leluasa speak up memang masih kerap terjadi. Itu karena sebagian orang masih menganggap korban kekerasan seksual adalah orang yang tidak bisa menjaga diri.
"Padahal, situasinya tidak sesederhana itu dan mereka para penyintas ini butuh dukungan keluarga," imbuh dia.
Beberapa kali, Siti dengan relawan Savy Amira juga mendampingi kasus kekerasan seksual yang masih anak-anak. Situasi tersebut dianggap sulit karena harus melibatkan orang tua korban.
"Lebih sulit lagi kalau yang kami dampingi masih anak-anak, kan harus melibatkan ortu ya, sementara anaknya tidak ingin ortunya tahu dan secara peraturan perundangan, kami tidak bisa ambil keputusan tanpa persetujuan ortu," papar Siti.
Selain itu, Siti bersama Savy Amira dan Forum Pengada Layanan (FPL) juga turut menyusun hingga membahas draft UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) saat masih menjadi RUU. Draft tersebut disusun berdasar pengalaman mereka mendampingi korban kekerasan seksual. Kini, undang-undang tersebut telah disahkan. Namun, Siti merasa bahwa perjuangan mereka belum tuntas.
"Masih banyak lagi yang mesti dikerjakan. Kita perlu menyiapkan sumber daya agar UU TPKS dapat membantu korban mendapatkan keadilan dan hak-haknya yang lain. Aparat penegak hukum juga perlu paham benar tugas-tugasnya dan menjalankannya sesuai amanat undang-undang. Jangan sampai undang-undangnya sudah progresif tapi praktiknya sama saja," tandas Siti.
Tidak hanya itu, Siti juga masih menyangkan beberapa bentuk kekerasan seksual yang diusulkan di draft awal UU TPKS tidak jadi dimasukkan. Seperti pemaksaan aborsi.
"Padahal pemaksaan aborsi itu sangat sering terjadi. Tidak hanya penjeraan pada pelaku, tapi juga pemenuhan hak-hak korban sangat perlu diupayakan," jelas Siti.
Pada akhir wawancara, dia juga memberi refleksi terhadap momen Hari Kartini. Menurut dia, Kartini telah banyak berjasa bagi perempuan. Serta memberi sumbangsi bagi pemberdayaan perempuan, khususnya agar perempuan juga berpikir kritis.
"Kartini itu seorang feminis yang sudah membuka jalan bagi perempuan dengan menunjukkan pemikiran kritis terhadap budaya yang membatasi potensi dan menindas perempuan. Sebagian budaya itu masih belum berubah dari masa Kartini hingga sekarang, termasuk budaya yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, yang dapat menghambat perempuan dalam mengembangkan potensi untuk mandiri. Itu menjadi PR untuk kita semua," pungkas Siti.
(hse/dte)