Menag Atur Pedoman Penggunaan Toa Masjid, PWNU Jatim: Terlalu Teknis

Menag Atur Pedoman Penggunaan Toa Masjid, PWNU Jatim: Terlalu Teknis

Tim detikJatim - detikJatim
Selasa, 22 Feb 2022 14:34 WIB
Toa masjid (Andhika/detikcom)
Ilustrasi toa masjid. (Foto :Andhika/detikcom)
Surabaya -

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara atau toa di masjid dan musala. PWNU Jawa Timur menanggapi penerbitan aturan ini.

Sebelumnya, aturan ini diterbitkan untuk meningkatkan ketentraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Wakil Ketua PWNU Jatim KH Abdussalam Shohib menyebut pedoman seperti ini terlalu teknis. Menurut Gus Salam, sapaan akrabnya, setiap daerah berbeda dengan daerah lain. Karena ada wilayah yang penduduknya mayoritas muslim, begitu pula sebaliknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau memang itu diperlukan ya monggo, tapi aturannya terlalu teknis. Karena tidak sama antara daerah satu dan lain. Alangkah baiknya diserahkan ke pemerintah daerah, karena di setiap daerah berbeda-beda, ada yang mayoritas muslim ada yang mayoritas non muslim," papar Gus Salam saat dihubungi detikJatim, Selasa (22/2/2022).

Pengasuh Ponpes Mamba'ul Ma'arif Jombang ini mengatakan aturan tersebut memang baik. Namun dirinyaa khawatir aturan ini justru akan memicu kontroversi dan salah paham di masyarakat.

ADVERTISEMENT

"Menurut saya baik untuk mencapai toleransi, menjaga ketentraman di antara umat beragama dalam melaksanakan ritualnya, yang beribadah bisa khusyuk juga tidak mengganggu orang sekitarnya dan tidak menganggu masyarakat di sampingnya jika ada yang berbeda keyakinan," jelasnya.

"Tapi mungkin caranya perlu ditelaah, menurut saya lebih efektif dan tepat diserahkan ke kepala daerah, bahkan tidak harus bupati, bisa kepala desa ataupun camat karena di Indonesia tidak sama situasinya," tambahnya.

Menurut Gus Salam, jika tujuannya untuk membangun toleransi, sebaiknya negara tidak perlu terlalu banyak melakukan intervensi. Terlebih mengeluarkan peraturan yang teknis.

"Lebih baik menjadi fasilitator untuk membangun terjadinya komunikasi yang baik antarumat beragama, untuk teknis biarkan antarumat beragama yang menyepakati," sarannya.

Dia mencontohkan, di lingkungannya jika ada tetangga yang berbeda keyakinan, maka ada sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk membangun empati. Karena sikap toleransi muncul dari masyarakat.

"Toleransi muncul dari masyarakat, bukan rekayasa. Jadi muncul dari segala kesadaran. Toleransi yang tumbuh dengan rekayasa, umurnya tidak panjang," ungkap Gus Salam.

"Sering disampaikan Gus Dur, tanpa sebuah aturan kita sudah menyadari Bhinneka Tunggal Ika. Padahal itu tanpa aturan, tanpa doktrin, itu timbulnya kesadaran dari masyarakat. Nah, cara berinteraksi itu saja yang dirawat, itu oleh negara bisa difasilitasi. Negara, atau Kemenag juga, kalau dalam urusan toleransi jangan intervensi terlalu dalam, fasilitasi saja bagaimana keberagaman di masyarakat. Untuk masalah teknis biar disepakati mereka, itu lebih langgeng," paparnya.




(hil/fat)


Hide Ads