Menelusuri Sekayu, Kampung Tua di Tengah Himpitan Gedung Tinggi Semarang

Menelusuri Sekayu, Kampung Tua di Tengah Himpitan Gedung Tinggi Semarang

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Minggu, 01 Jun 2025 17:33 WIB
Suasana Kampung Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Minggu (1/6/2025).
Suasana Kampung Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Minggu (1/6/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng.
Semarang -

Di balik deretan mal megah dan hotel tinggi di pusat Kota Semarang, terselip kampung tua yang masih bertahan dengan sejarah dan budayanya. Adalah Sekayu, kampung yang hingga kini masih berusaha mempertahankan keasliannya.

Lokasi Kampung Sekayu di Kecamatan Semarang Tengah cukup strategis, diapit mal-mal besar di Kota Semarang, hingga kawasan Balai Kota. Namun, suasana di kampung itu tampak lebih tenang dengan masyarakatnya yang ramah.

Ketua RW 1 Kelurahan Sekayu, Mahatma Leo Purba (56), menyebut Sekayu sebagai 'kampung yang masih hidup' di tengah modernisasi yang menggerus banyak permukiman lama di Semarang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekayu itu termasuk kampung di tengah himpitan gedung yang masih bertahan sampai saat ini. Ada mal-mal besar, di bawah himpitan itu Sekayu masih eksis," kata Leo di Kampung Sekayu, Minggu (1/6/2025).

"Karena Sekayu itu mengandung cerita sejarah, termasuk salah satunya Masjid Taqwa, yang berdiri 1413 M, jadi kalau bicara Sekayu ceritanya panjang, dan jadi barometer kampung di Kota Semarang," lanjutnya.

ADVERTISEMENT
Suasana Kampung Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Minggu (1/6/2025).Suasana Kampung Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Minggu (1/6/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

Dalam merawat sejarah Kampung Sekayu, Festival Bubak pun diselenggarakan oleh komunitas Gambang Semarang sebagai bagian dari upaya melestarikan kebudayaan. Pameran seni dan sejarah itu bahkan diadakan di tengah gang kampung.

"Dulu di sini adalah basecamp-nya, tempat berkumpul anak-anak Sekayu. Dulu ada semacam sumur bor peninggalan Belanda, segala macam kegiatan di sini. Tapi berjalannya waktu, semua berubah," tuturnya.

Leo menjelaskan, Sekayu bukan sekadar kampung biasa. Dahulu, wilayah ini merupakan titik transit penting, bahkan menjadi salah satu pusat aktivitas pemerintahan pada era kolonial.

Terdapat pusat hiburan kaum Eropa bernama Societeit de Harmonie yang didirikan pada 1906. Pascakemerdekaan, kemudian gedung itu berganti nama menjadi Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS) dan digunakan sebagai tempat pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandowo.

"Kampung Sekayu sebagai kota tua itu mempunyai makna tersendiri, seperti ada Sekayu Tumenggungan, Sekayu Kepatihan, Sekayu Kramat Jati," ungkapnya.

"Ada beberapa gedung yang sudah terkikis, seperti gedung GRIS yang sudah jadi mal Paragon, ada Wayang Orang Ngesti Pandowo, Semarang Theatre, itu sudah nggak ada sejak 1990-an," lanjutnya.

Selain menyimpan sejarah Masjid Taqwa yang diyakini lebih tua dari Masjid Agung Demak, di Kampung Sekayu juga terdapat makam Kiai Kamal yang kerap disebut sebagai murid Sunan Gunung Jati sekaligus tokoh penting sejarah Sekayu, serta makam Mbah Salim dan Mbah Mergo.

Rumah-rumah warga yang mempertahankan arsitektur lawasnya pun masih bisa dilihat di Kampung Sekayu. Rumah sastrawan NH Dini juga masih berdiri di tengah perkampungan rersebut.

"Kampung tua kan ciri khasnya rumah tua, ada rumah yang rata-rata pintunya enam, model kupu tarung, pintunya banyak. Saya hitung masih ada 3-7 rumah yang masih tradisional, rumah-rumah lama," ungkapnya.

Ia terus mempertahankan agar rumah-rumah lawas itu masih terus berdiri di tengah perkampungan dan tak hilang seluruhnya. Sebab, sudah ada beberapa kampung lawas di Kota Semarang yang lenyap.

"Sekarang kita galakkan lagi nguri-uri budaya, karena jangan sampai semuanya terkikis habis. Kalau sudah terkikis habis, kita tidak bisa menceritakan sejarahnya, tidak bisa menunjukkan bukti sejarahnya," ujarnya.

"Banyak kampung yang sudah hilang, seperti Kampung Jayenggaten, itu kampung sejarah yang juga hilang tergerus modernisasi, satu wilayah hilang. Kampung Pandansari juga hilang, tergantikan mal," lanjutnya.

Suasana Kampung Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Minggu (1/6/2025).Suasana Kampung Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Minggu (1/6/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

Modernisasi itu disebut sebagai tantangan besar. Banyak rumah di Sekayu kini beralih fungsi menjadi rumah kos. Investor juga mulai melirik lahan-lahan di kawasan segitiga emas ini. Namun Leo yakin, selama warga masih memiliki kesadaran sejarah, Kampung Sekayu bisa bertahan.

"Kami terus edukasi warga, terutama generasi muda. Sekayu ini bukan cuma tempat tinggal, tapi warisan," ucapnya.

Ia berharap, pemerintah kota juga ikut menjaga kawasan tersebut. Ke depan, ia mengaku ada rencana menjadikan Sekayu sebagai kampung wisata berbasis sejarah dan religi. Upaya ini sudah mulai digagas, terutama lewat revitalisasi makam dan masjid tua.

"Pemerintah juga sudah turun tangan, ada kontribusi ikut mempertahankan Sekayu," katanya.

Menurutnya, dengan mengadakan Festival Bubak yang berlangsung tiga hari, ia ingin nilai yang dibawanya bisa bertahan lebih lama dan bisa menjadi pemantik semangat baru bagi warga.

"Kegiatan seperti ini penting. Karena bisa menunjukkan bahwa Sekayu masih hidup. Di tengah gedung-gedung tinggi, masih ada kampung yang menjaga akar sejarahnya," tutup Leo.




(apl/apl)


Hide Ads