Umbul atau mata air Nilo di Desa Daleman, Kecamatan Tulung, Klaten kini terus bersolek menjadi salah satu destinasi wisata air di Klaten. Selain kini berubah menjadi wahana wisata air modern, mata air itu memiliki jejak pemandian kuno di masa Hindu-Budha (abad 8-10), apa buktinya ?
Jejak kekunoan itu bisa dilihat dari sebuah batu Yoni tanpa lingga yang ada di depan pintu masuk utama. Batu Yoni berukuran 60x80 centimeter yang terbuat dari batu andesit itu masih terawat keasliannya.
Di sekitar mata air utama sisi timur, pohon randu alas, beringin dan trembesi berukuran besar menjulang kokoh. Pohon dengan diameter sekitar 80 centimeter-1 meter itu memiliki usia ratusan tahun sampai akar tunggangnya bermunculan ke permukaan tanah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, detikJateng yang mencoba menjelajahi kawasan umbul Nilo juga menemukan satu batu yoni lainnya di bawah pohon randu alas dan trembesi. Batu Yoni tanpa lingga itu terlilit akar pohon berukuran besar bersama tumpukan batu lain.
Di sekitar batu yoni di bawah akar, ditemukan pecahan batu bata kuno dengan lebar 10 centimeter. Satu batu bertakik terguling dililit akar - akan pohon raksasa tersebut.
"Ini dulu katanya pemandian para raja. Disini ada yoni, satu di sebelah barat dan satu di bawah pohon sebelah timur," ungkap petugas umbul Nilo, Syaiful Anwar (29) kepada detikJateng, Sabtu (3/6/2023) siang.
![]() |
Menurut Syaiful, sebelum dijadikan objek wisata, Umbul Nilo sudah ada sejak turun - temurun. Dulunya merupakan pemandian umum dengan bebatuan besar di sekelilingnya.
"Ini dulu tempat pemandu umum. Batu dan pohonnya sudah berusia mungkin ratusan tahun, dari dulu ya begitu," ucap Syaiful.
Sesepuh di sekitar Umbul, Juhari Wiro Sumarto (80) menuturkan, dulunya umbul Nilo seperti hutan karena di tengah sawah dan banyak pohon besar. Di sekitar umbul ada beberapa yoni dan arca.
''Selain yoni, dulu beberapa arca di sekitar mbul tapi tidak tahu kemana sekarang. Seingat saya lebih dari lima tapi sebagian sudah rusak," ungkap Juhari menggunakan bahasa Jawa.
Arca itu, seingat Juhari, ada yang berbentuk seperti gajah duduk bersila. Dulunya umbul belum dibangun dan masih alami dari tanah bahkan seperti rawa.
"Dulunya tidak ada bangunan, airnya mengalir seperti rawa, sebagian untuk pabrik gula di Cokro. Terus dibangun Belanda, dibangun lagi tahun 1950-1952, tahun 1978- 1979 dibangun lagi dengan tembok," tutur Juhari.
Pohon - pohon besar itu, jelas Juhari, masih asli meskipun ada yang tumbang. Usianya sudah tua karena sejak sesepuh desa juga sudah besar pohonnya.
"Pohonnya asli, Randu alas itu sudah ratusan tahun mungkin usianya. Saat simbah - simbah dulu juga sudah begitu kondisinya," imbuh Juhari.
(ahr/ahr)