Di sepanjang jalan ini banyak penjual yang menjajakan minuman khas tersebut. Puluhan pedagang yang berjualan memanfaatkan bedeng bambu untuk tempat berteduh.
Pemandangan yang disajikan juga cukup menyegarkan mata karena dikelilingi hamparan sawah disertai angin sepoi-sepoi.
Jhony Pranata (35), pedagang yang sudah berjualan lima tahun ini mengatakan bahan baku yang digunakan untuk membuat dawet ireng higienis dan tanpa bahan kimia.
"Bahan bakunya pakai tepung gelang (sagu aren) dimasak seperti jenang. Dicampuri tepung oman untuk campuran warna hitam," kata Jhony kepada detikJateng, Kamis (20/4/2023).
![]() |
Setelah itu, lanjut Jhony, dawet ireng ini disajikan dengan gula Jawa cair dan santen. Tak lupa dibalut es agar lebih segar.
Menurutnya, di sepanjang jalan ini terdapat 80 pedagang. Dari jumlah tersebut hanya ada 30 yang pedagang tetap.
"Yang asli itu 30 pedagang. Tapi kalau musim mudik seperti ini bisa 80. Karena memang jalurnya ramai," terangnya.
Ia buka dari pukul 08.00 WIB hingga 17.00 WIB. Jika dirasa akan ramai ia lanjutkan hingga pukul 22.00 WIB agar omzet yang dihasilkan bisa maksimal.
"Penjualan hari biasa omzetnya paling Rp 150 ribu per hari. Tapi kalau lagi musim mudik bisa sampai Rp 450 ribu bahkan di atas Rp 500 ribu kalau buka sampai malam," jelasnya.
Harga minuman yang disajikan pun cukup terjangkau. Tak sampai Rp 10 ribu, pemudik sudah bisa merasakan kesegaran sekaligus pelepas penat setelah berjam-jam mengemudi.
"Harga dawet ireng kalau lagi musim mudik seperti ini Rp 7.000. Sedangkan hari normal Rp 5.000. Maklum, harga bahan bakunya juga naik kalau jelang Lebaran kaya gini," ungkapnya.
Sementara itu, Arif (32) pemudik dari Bekasi asal Kutoarjo mengaku sejenak berhenti untuk melepas lelah setelah berkendara sekitar delapan jam. Minuman dawet ireng yang dijajakan cukup untuk sekadar menambah kesegaran.
"Berhenti sebentar sambil minum dawet ireng. Rasanya segar terus juga anginnya sepoi-sepoi. Lumayan agar bisa konsentrasi lagi setelah ini. Sudah setengah perjalanan lebih," pungkasnya.
(apl/apl)