Karena Solo Terbuat dari Wedangan, Rindu dan Kenangan

Bayu Ardi Isnanto - detikJateng
Senin, 17 Jan 2022 18:36 WIB
Salah satu angkringan di Kota Solo. (Foto: Bayu Ardi Isnanto)
Solo -

Menyitir ungkapan penyair Joko Pinurbo 'Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan', bolehlah kalau kita menyebut Solo terbuat dari wedangan, rindu dan kenangan.

Solo dan Yogyakarta memang memiliki banyak kesamaan. Dilihat dari sejarahnya, Solo dan Yogyakarta adalah pecahan dari Kerajaan Mataram. Wajar bahwa keduanya kini memiliki warna yang serupa.

Seperti Yogyakarta, Solo juga sudah menjadi 'rumah' bagi banyak orang karena kenangan yang diperoleh selama berkunjung di kota asal Presiden Joko Widodo ini. Salah satu yang dirindukan ialah angkringan atau yang lebih akrab disebut hik dan wedangan oleh wong Solo.

Ada ungkapan bahwa orang tak akan kelaparan di Solo, karena wedangan bisa ditemui di mana-mana. Sebagian buka pagi hingga sore hari, namun lebih banyak lagi yang buka sore hingga lewat tengah malam.

Ada wedangan berbentuk kaki lima yang menjual nasi bungkus seharga Rp 1.500 hingga model kafe yang bisa menghabiskan uang ratusan ribu rupiah sekali datang.

Wedangan menjadi favorit banyak orang karena tidak mengenal sekat sosial. Pebisnis, dokter, hingga buruh dan tukang becak pun terlihat biasa berbaur di sebuah wedangan.

Obrolannya pun macam-macam. Mulai bersenda gurau, curhat, ngerasani, ngomong politik hingga bisnis. Meskipun pembicaraannya serius, suasana akan tetap terasa lebih cair sambil menyeruput teh legi panas kenthel atau ginasthel.

Makanan yang dijual sebetulnya itu-itu saja, seperti nasi kucing (potongan bandeng), nasi oseng, nasi sambel, tempe mendoan, bakwan dan berbagai gorengan. Selain makanan yang relatif murah, suasana santai menjadi alasan orang datang ke wedangan.

Wedangan ada sejak awal 1900

Wedangan sebetulnya merujuk aktivitas minum teh, kopi dan minuman lainnya. Namun kini kata wedangan juga dipakai untuk menunjuk sebuah tempat untuk minum wedang.

Awal mula wedangan diperkirakan ada sejak tahun 1900-an awal. Kemunculan wedangan tidak lepas dari berdirinya pabrik listrik pertama di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM) pada 1901.

Dalam buku Jejak Listrik di Tanah Raja (2021) karya Eko Sulistyo, digambarkan situasi kota dengan masuknya listrik. Misalnya Pasar Gede dengan tiang-tiang listrik di sekitarnya, pernikahan bangsawan di istana yang penuh dengan lampu hias, gapura Pura Mangkunegaran yang dihiasi ornamen lampu berbentuk pasukan legiun.

Adanya penerangan di pusat kota kemudian menggairahkan perekonomian masyarakat hingga muncul budaya baru, seperti nglembur atau kerja lembur bagi pekerja atau perajin batik. Muncul pula tempat-tempat hiburan seperti bioskop layar tancep di Pasar Pon yang menghadirkan film Charlie Chaplin dan lain-lain.

Selain itu, muncul pula pasar malem hingga hiburan kesenian di Sriwedari. Hal ini pun menarik kedatangan warga masyarakat dari pinggiran ibu kota Surakarta untuk turut menikmati gemerlapnya malam di Solo.

Baca halaman selanjutnya




(ahr/mbr)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork