Silsilah Raja Keraton Jogja dan Biografi Singkatnya

Silsilah Raja Keraton Jogja dan Biografi Singkatnya

Agustin Tri Wardani - detikJateng
Minggu, 16 Jul 2023 15:50 WIB
Keraton Yogyakarta. 
dikhy sasra/ilustrasi/detikfoto
Silsilah Raja Keraton Jogja dan Biografi Singkatnya. dikhy sasra/ilustrasi/detikfoto
Solo -

Raja-raja Keraton Jogja bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono. Hingga saat ini Keraton Jogja sudah dipimpin oleh raja kesepuluh, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X. Lalu, seperti apa silsilah raja-raja keraton Jogja? Berikut penjelasannya.

Sejarah berdirinya Keraton Jogja bersangkutan dengan peristiwa terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi 2 bagian oleh pihak Belanda dengan dilakukannya Perjanjian Giyanti Tahun 1755. Perjanjian tersebut menghasilkan sebuah keputusan yang mengatur kedua kekuasaan, yang pertama ada Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Raja Sri Sultan Hamengku Buwono I dan kerajaan kedua ini berada di Keraton Surakarta dengan pimpinan Pakubuwono II.

Dikutip dari jurnal 'Kraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini: Dinamika Suksesi Raja-Raja Jawa dan Politik Wacana "Raja Perempuan" di Kraton Yogyakarta' karya Ilmiawati Safitri dari Universitas Gadjah Mada, dan laman resmi Keraton Jogja, berikut ini silsilah raja-raja Keraton Jogja beserta biografi singkatnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792)

Raja pertama keraton Jogja adalah Sri Sultan Hamengku Buwono I atau dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi. Beliau merupakan pendiri dan pembangun Keraton Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi I lahir pada tanggal 5 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono.

Sri Sultan Hamengku Buwono I merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui garwa selir yang bernama Mas Ayu Tejawati. Sedari kecil, BRM Sujono dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan. Beliau mahir berkuda dan bermain senjata. Selain itu, beliau juga dikenal sangat taat beribadah sembari tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Budaya Jawa.

ADVERTISEMENT

Sifat beliau ini menghasilkan kesetiaan yang mendalam di antara para pengikutnya. Pada tahun 1746, ketika mengangkat senjata melawan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC),

Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki peran yang penting dalam memperjuangkan bumi Mataram, menyerang VOC, mengelola tata ruang dan arsitek keraton Jogja serta Keraton Surakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono I memimpin Keraton Jogja dari tahun 1755 hingga 1792.

2. Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1828)

Sultan Hamengku Buwono II adalah raja di Kesultanan Jogja yang memerintah antara tahun 1792 dan 1828. Beliau lahir di Gunung Sindoro pada tanggal 7 maret 1750 dari permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono I. Saat kecil ia diberi nama Raden Mas Sundoro. Terdapat dua fenomena menarik dari pribadi sultan pada saat berkuasa.

Pertama adalah masa pemerintahannya yang ditandai dengan pergolakan politik. Hingga terjadinya perubahan empat kali rezim kolonial dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, yaitu dari VOC, Prancis, Inggris dan Belanda. Kondisi ini meningkatkan eskalasi konflik yang cukup tajam antara penguasa kolonial dan penguasa Jawa.

Fenomena kedua adalah pribadi Sultan Hamengku Buwono II yang cukup kontroversial. Sultan HB II digambarkan sebagai seorang raja yang keras kepala, tidak mengenal kompromi, kejam termasuk terhadap kerabatnya sendiri, dan tidak bisa dipercaya.

3. Sri Sultan Hamengku Buwono III (1810-1814)

Sri Sultan Hamengku Buwono III memiliki nama kecil Raden Mas (RM) Surojo, lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Beliau adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton. Dalam biografi Tan Jin Sing disebutkan bahwa beliau adalah orang yang pendiam dan cenderung mengalah.

RM. Surojo diangkat sebagai Hamengku Buwono III dengan pangkat regent atau wakil Raja. Sementara itu, Sri Sultan Hamengku Buwono II masih tetap diizinkan untuk tinggal di dalam keraton dengan sebutan Sultan Sepuh.

Pada awalnya Letnan Gubernur Jenderal Inggris mengakui Sri Sultan Hamengku Buwono II sebagai penguasa sah Kasultanan Jogja, dan mengangkat RM. Surojo sebagai Adipati Anom namun pada tanggal 21 Juni 1812, Adipati Anom disahkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono III untuk yang kedua kali.

Pada tanggal 3 November 1814, Sri Sultan Hamengku Buwono III wafat pada usia 45 tahun. Beliau dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan, Imogiri. Masa pemerintahannya tercatat hanya berlangsung selama 865 hari.

4. Sri Sultan Hamengku Buwono IV (1814-1822)

Sri Sultan Hamengku Buwono IV lahir pada tanggal 3 April 1804 dengan nama kecil Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, beliau ditunjuk menjadi putra mahkota saat penobatan ayahnya sebagai sultan pada tanggal 21 Juni 1812. Beliau naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada tanggal 9 November 1814 ketika usianya masih 10 tahun.

Karena usianya yang masih belia, maka pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV didampingi oleh wali raja. Salah satu wali raja yang ditunjuk saat itu adalah Pangeran Notokusumo yang telah bergelar Paku Alam I. Kedudukannya sebagai wali ditentukan hingga sultan mencapai akil baligh di usia 16 tahun pada 1820.

Dari pernikahannya dengan sembilan orang istri, Sri Sultan Hamengku Buwono IV mendapat 18 orang anak. Namun hampir sepertiga dari anak-anaknya meninggal ketika masih kecil. Yang menjadi penerus kemudian adalah putranya dari permaisuri GKR Kencono, Gusti Raden Mas Gatot Menol, yang masih berusia 3 tahun.

5. Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855)

Sri Sultan Hamengku Buwono V lahir pada tanggal 20 Januari 1821, beliau adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono IV dengan Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Saat lahir beliau diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Gatot Menol. Pada tahun 1823, ketika ayahandanya wafat, beliau diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono V ketika baru menginjak usia 3 tahun.

Dikarenakan usianya yang masih sangat belia, maka terdapat dewan perwalian untuk mendampingi tugas-tugas pemerintahan. Sri Sultan Hamengku Buwono V memegang kendali pemerintahan secara penuh pada tahun 1836 ketika usianya menginjak 16 tahun.

Sejarah banyak hal yang terjadi pada masa kepemimpinan beliau seperti banyak tanah-tanah keraton yang disewakan kepada orang Eropa, tingginya pajak yang ditarik dari masyarakat, munculnya wabah kolera, kondisi gagal panen dan adanya Perang Diponegoro.

Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat pada tanggal 5 Juni 1855 dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Ketika beliau meninggal, permaisuri pertamanya GKR Kencono tidak berputra. Sementara itu, permaisuri kedua GKR Sekar Kedhaton yang sedang hamil belum menunjukkan tanda-tanda kelahiran. Maka dari itu tahta kerajaan kemudian dipegang oleh adik Sri Sultan Hamengkubuwono V, Raden Mas Mustojo, bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

6. Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877)

Sri Sultan Hamengku Buwono VI lahir dengan nama Raden Mas Mustojo pada tanggal 10 Agustus 1821, beliau adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono.

Pada tahun 1839 Sri Sultan Hamengku Buwono VI berganti nama menjadi Pangeran Adipati Mangkubumi, beliau mendapat pangkat Letnan Kolonel dari pemerintah Belanda. Pola pemerintahan yang dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada dasarnya melanjutkan model yang dijalankan oleh kakaknya yaitu perang pasif.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, terjadi bencana alam yang memilukan. Gempa dengan kekuatan dahsyat mengguncang Jogja pada tanggal 10 Juni 1867.

Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat dalam kondisi tidak meninggalkan putera. Selang 13 hari kemudian, baru sang permaisuri, Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, melahirkan seorang putra yang diberi nama GRM Timur Muhammad yang bergelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Suryaning Ngalaga ketika sudah dewasa.

7. Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921)

Sultan Hamengku Buwono VII lahir pada tanggal 4 Februari 1839 dengan nama GRM Murtedjo. Pasca wafatnya sang ayah, Sultan Hamengku Buwono VII semakin ditekan oleh pihak kolonial agar menandatangani berbagai perjanjian yang telah dipersiapkan oleh penguasa Hindia Belanda.

Kenaikan tahta Sultan Hamengku Buwono VII pada tahun 1877 berlangsung hampir bersamaan dengan kenaikan tahta KGPA Paku Alam V yang berlangsung setahun kemudian. Sultan HB VII beristrikan 21, memiliki 78 putra-putri, yaitu 31 putra dan 47 putri.

Pada Desember 1920, kondisi fisik Sultan Hamengku Buwono VII semakin menurun. Beberapa pejabat Belanda di Batavia telah menyiapkan rancangan verklaring dan akta van verband yang akan ditandatangani oleh pewaris tahta dan calon raja baru di Jogja. Sebelum wafat Sultan HB VII secara resmi digantikan oleh putranya RM Puruboyo. Peristiwa penurunan Sultan ini hampir serupa dengan yang terjadi dengan Sultan Hamengku Buwono II, yaitu lengser keprabon.

8. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939)

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII adalah raja kedelapan Keraton Jogja. Beliau lahir pada tanggal 3 Maret 1880 dari rahim Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas yang diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Sujadi.

Setelah dewasa GRM Sujadi bergelar Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo yang kelak dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Perjalanan GPH. Puruboyo sebagai penerus tahta Kasultanan Ngayogyakarta sesungguhnya melalui jalan yang panjang.

Puruboyo sedang menempuh studi di Belanda, ketika sang ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengungkapkan niat untuk lengser keprabon. Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Jogja mengusulkan kepada Gubernur Jenderal van Limburg Stirum agar upaya pergantian tahta dipercepat.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengirimkan telegram kepada Puruboyo agar Gusti Puruboyo jangan terlalu lama di Eropa karena para putera dan puteri, kerabat dan abdi dalem sudah menanti-nanti kepulangan beliau. Setelah GPH Puruboyo setuju untuk pulang ke Jogja dan dijadikan pengganti ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII memutuskan untuk lereh keprabon. Pada tanggal 8 Februari 1921, GPH Puruboyo kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII wafat pada tanggal 22 Oktober 1939 di Rumah Sakit Panti Rapih, Jogja. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dimakamkan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri.

9. Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988)

Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang beliau ketika kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.

Pada 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra Narendra Mataram dan dilanjutkan penobatan beliau sebagai Raja dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX

Selain berperan untuk republik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia dan menyandang medali Bronze Wolf dari organisasi resmi World Scout Committee (WSC) sebagai pengakuan atas sumbangsih seorang individu kepada kepanduan dunia.

Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung ke Amerika, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di George Washington University Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri

10. Sri Sultan Hamengku Buwono X (1989-Sekarang)

Sri Sultan Hamengku Buwono X lahir dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Herjuno Darpito pada tanggal 2 April 1946 di Jogja. Sri Sultan Hamengku Buwono X lahir dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan sang istri bernama KRAy Windyaningrum. Setelah dewasa beliau ditunjuk oleh ayahandanya sebagai Pangeran Lurah kemudian beliau diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Mangkubumi.

Sri Sultan Hamengku Buwono X naik takhta di Keraton Jogja pada 7 Maret 1989. Istrinya bernama Tatiek Drajad Supriastuti atau Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, mereka dikaruniai lima anak yang semuanya perempuan.

Nah, itulah informasi mengenai silsilah raja Keraton Jogja dan biografi singkatnya. Semoga bermanfaat, Lur!

Artikel ini ditulis oleh Agustin Tri Wardani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(dil/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads