Masjid Jogokariyan di Mantrijeron, Kota Jogja, memiliki sejarah panjang. Masjid yang tak pernah sepi dari jamaah itu dibangun pada 1966. Pada masa itu, lokasi masjid tersebut berada di tengah kampung basis Partai Komunis Indonesia (PKI). Berikut sejarahnya.
detikcom pernah mewawancarai salah seorang pengurus Masjid Jogokariyan mengenai sejarah tempat ibadah umat Islam di Jalan Jogokariyan 36, Kelurahan Mantrijeron, itu.
"Memang di sini (saat itu) sedikit anomali. Karena di wilayah selatan itu Krapyak Kulon dan Krapyak Wetan wilayahnya Nahdliyin. Kalau timur ada Karangkajen yang Muhammadiyah. Sedangkan di sini dulu basis PKI," kata salah seorang pengurus masjid di bidang kesekretariatan Masjid Jogokariyan, Enggar Haryo Panggalih (27), Kamis (23/6/2015), dikutip dari detikNews.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sampai tahun 1966-1967 masih sangat terasa sekali ke-PKI-annya," imbuh pria yang akrab disapa Galih itu saat ditemui detikcom di komplek Islamic Center Masjid Jogokariyan.
Sejarah Kampung Jogokariyan Jogja
Dikutip dari situs web masjidjogokariyan.com, sebelum tahun 1967, belum ada masjid di Kampung Jogokariyan. Kegiatan keagamaan saat itu dilakukan di sebuah langgar kecil di RT 42 RW 11. Namun Langgar seluas 3x4 meter persegi itu tak pernah terisi oleh jamaah.
Dalam situs itu disebutkan Kampung Jogokariyan mulai dibuka oleh Hamengku Buwono (HB) IV ketika memindahkan keluarga dan Abdi Dalem Prajurit Kesatuan 'Jogokariyo' ke selatan benteng. Sehingga lokasi tersebut diberi nama Kampung Jogokariyan.
Pada masa HB VII, terjadi pengurangan prajurit Jogokariyo yang semula 750 orang menjadi 75 orang. Para abdi dalem yang kehilangan pekerjaan itu kemudian diberi sawah untuk digarap. Karena tak bisa mengelola, para abdi dalem itu akhirnya menjual sawahnya ke pengusaha batik dan tenun di Kampung Jogokariyan.
Singkat cerita, para pengusaha batik dan tenun itu mencapai kejayaan di Kampung Jogokariyan. Sementara generasi penerus dari eks abdi dalem keraton menjalani kehidupan yang sulit. Mereka bekerja sebagai buruh pabrik tenun dan batik.
"...Kesenjangan sosial ekonomi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan sentimen kelas buruh dan majikan," tulis artikel berjudul 'Sejarah Masjid Jogokariyan' di masjidjogokariyan.com, diakses detikJateng pada Rabu (8/3/2023).
Menurut artikel itu, gerakan PKI disambut antusias oleh warga Jogokariyan yang termarjinalisasi saat itu. Jogokariyan pun menjadi basis PKI yang didominasi warga miskin dan buruh.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah Meletus peristiwa G 30S pada tahun 1965, banyak aktivis PKI di Jogokariyan yang ditangkap dan dipenjara. Peristiwa itu menjadi awal mula perubahan sosial dan kultur masyarakat Jogokariyan menuju budaya Islam.
Awal Mula Pendirian Masjid Jogokariyan
Dilansir detikHikmah, Masjid Jogokriyan mulai dibangun pada 20 September 1966 dan diresmikan oleh ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Jogja pada Agustus 1967.
Masjid ini berdiri di atas lahan seluas 600 meter persegi. Tanah itu dibeli masyarakat atas bantuan pengusaha batik yang tergabung dalam Koperasi Batik Karang Tunggal dan Koperasi Tenun Tri Jaya.
Menurut detikHikmah, ide pembangunan Masjid Jogokariyan berawal dari pengusaha batik asal Karangkajen bernama H Jazuli yang memiliki rumah di kampung Jogokariyan. Kemudian niatnya disampaikan ke sejumlah tokoh masyarakat setempat.
Alasan Pemberian Nama Masjid Jogokariyan
Dalam artikel 'Sejarah Masjid Jogokariyan' dijelaskan banyak usulan nama untuk masjid ini sejak awal dibangun. Bahkan hingga saat ini masih ada sebagian orang yang mempertanyakan mengapa masjid ini diberi nama Masjid Jogokariyan.
Ternyata, pemberian nama masjid ini sudah disepakati oleh para pendiri dan perintis dakwah di Jogokariyan. Dikutip dari situs masjidjogokariyan.com, berikut tiga alasannya:
1. Berlandaskan Sunnah Rasulullah SAW ketika beliau mendirikan masjid di kampung Kuba Madina diberi nama Masjid Kuba, begitu juga dengan masjid lainnya yang beliau dirikan.
2. Dengan diberi nama Masjid Jogokariyan maka akan memberikan wilayah pembatasan dakwah yang jelas.
3. Diharapkan Masjid Jogokariyan mampu menjadi perekat masyarakat Jogokariyan yang telah terpolarisasi dari segi politik dan sosial di masa lalu.
Artikel ini ditulis oleh Noris Roby Setiyawan peserta Program Magang Besertifikat Kampus Merdeka di detikcom