Muhammad Wahid (8) asal Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merawat sang ibu yang lumpuh. Ia turut mencari uang guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang serba pas-pasan. Bagaimana kisahnya?
Wahid, begitu bocah laki-laki itu biasa disapa. Ia tinggal di sebuah rumah sederhana di wilayah RT 43, RW 15, Dusun Sambiroto, Kalurahan Banyuroto, Kapanewon Nanggulan, Kulon Progo, sekitar 30 km dari pusat Kota Jogja.
Bocah pendiam tapi murah senyum ini hidup bersama sang ibu, Wagini (40), dan kakeknya Kromo Wiyono alias Baiman (84). Wahid sebenarnya punya ayah, tetapi sudah lama pergi meninggalkan keluarganya tanpa alasan yang jelas sejak Wahid masih balita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wahid merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya, Iwan Nursalam (14), jarang di rumah karena tuntutan pekerjaan sebagai pencari kelapa hingga ke luar daerah. Iwan yang harusnya duduk di kelas 1 SMP itu telah putus sekolah. Sementara, Wahid sekarang baru kelas 2 di SD Negeri Sambiroto.
Tak seperti anak-anak sebayanya yang banyak menghabiskan waktu untuk sekolah dan bermain, Wahid justru lebih sering di rumah. Alasannya hanya satu, yakni agar bisa merawat sang ibu yang lumpuh.
Wagini menderita Myasthenia Gravis (MG), sebuah penyakit autoimun yang menyebabkan gangguan neuromuskuler, yaitu kondisi yang mengganggu sistem otot dan saraf.
Penyakit genetika atau diturunkan lintas generasi ini mendera Wagini sejak 2014. Kala itu, Wagini masih bisa beraktivitas seperti biasa. Berjalannya waktu, penyakitnya makin parah hingga pada 2021 tubuh Wagini melemah dan sukar menjalankan kegiatan sehari-hari.
"Puncaknya tahun 2021, tubuh saya sudah sangat lemah," ujar Wagini saat ditemui di rumahnya, Jumat (11/2/2022).
Sejak menderita kelumpuhan, Wahid lah yang selalu merawat Wagini. Hampir seluruh pekerjaan rumah dikerjakan oleh Wahid. Mulai dari mencari sayur, mencari kayu bakar, memasak, dan bersih-bersih.
"Memang selama ini yang bisa ibu andalkan untuk membantu ibu hanya Dik Wahid. Ya mulai dari masak, dari bersih-bersih rumah, cari sayur, ngambil kayu bakar, nyiapin air, gitu," ujar Wagini.
Wagini mengungkapkan, sesekali anaknya juga menjual kelapa yang dipetik langsung dari pohon di pekarangan kakeknya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga ini.
"Kadang suka manjat kelapa untuk bumbu, kadang juga Dik Wahid itu misalnya pengin jajan tapi tidak ada uang itu kadang suka manjat, satu-satu itu, tiap pohon lalu dikumpulin sampai nanti nunggu pembelinya datang," ucapnya.
"Kadang bisa dapat 10 (kelapa), ya nggak menentulah. Dijualnya harga Rp 2.000 sampai Rp 2.500, tergantung besar kecilnya (kelapa)," sambungnya.
![]() |
Rawat Ibu Sampai Emoh Sekolah
Tekadnya untuk terus merawat sang ibu membuat Wahid enggan bersekolah. Meski berstatus aktif sebagai pelajar, Wahid diketahui jarang masuk sekolah.
"Masih sekolah, hanya tidak mau masuk karena lihat keadaan ibu di rumah yang sekarang tidak memungkinkan. Jadi Wahid itu lebih berat bantu ibu daripada sekolah. Tapi dari sekolah masih memberikan tugas. Ada lewat WA juga bapak ibu gurunya kadang suka ke sini mengantarkan tugas-tugasnya Dik Wahid," ujar Wagini.
Wagini tidak pernah melarang Wahid bersekolah. Dia ingin Wahid bisa terus bersekolah tanpa harus khawatir dengan kondisinya sekarang.
"Kalau saya inginnya Dik Wahid sekolah terus. Apapun yang terjadi, istilahnya ibu seperti ini tidak pernah yang namanya menghambat atau melarang Wahid untuk sekolah. Keinginan ibu hanya satu, dia terus sekolah," ucapnya.
Sementara itu, guru kelas 2 SD Negeri Sambiroto, Ernis Meitanti, mengatakan pihak sekolah terus berupaya agar Wahid bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) yang digelar pihak sekolah tanpa mengganggu aktivitasnya membantu orang tua. Salah satu yang dilakukan pihak sekolah yakni menjadwalkan jam masuk untuk kelas Wahid pada siang hari.
"Wahid itu anaknya pendiam. Tapi kalau di rumah, saya itu mengapresiasi, karena rajin sekali anaknya. Jadi dari pagi sudah membantu orang tuanya karena kondisi ibu dan simbahnya. Jadi memang setiap pagi bantu ibunya dulu. Oleh karena itu pihak sekolah mengupayakan jamnya agak siang," ujar Ernis ditemui di SD Negeri Sambiroto, Jumat (11/2/2022).
"Khusus kelasnya Dik Wahid jamnya siang. Agar Wahid bisa berangkat sekolah, dan paginya masih bisa membantu orang tuanya," sambungnya.
Di samping itu, pihak sekolah juga terus memberikan dorongan motivasi agar Wahid tetap mau belajar. Sejauh ini kata Ernis, Wahid masih kesulitan mengikuti pelajaran.
"Karena kemarin masih BDR (belajar di rumah) ya, jadi masih sedikit kesulitan, tapi masih kami pantau, masih kami bantu, kami motivasi terus agar Dek Wahid tetap mau belajar," ucapnya.
Masuk Kategori Keluarga Miskin
Dukuh Sambiroto, Parno, mengungkapkan keluarga Wagini termasuk kategori kurang mampu. Karena itu keluarga tersebut sudah lama menerima bantuan dari pemerintah, baik tingkat dusun, kalurahan, kapanewon, maupun dari kabupaten.
"Keluarga ini sudah jadi penerima manfaat Program PKH sejak 2016. Lalu penerima BPNT dalam bentuk sembako, mulai beras, telur ikan, sayur dan tahu tempe, sejak 2020. Belum lagi bantuan sekolah dan pemegang JKN KIS PBI," ungkap Parno.
Bantuan lain yang pernah diterima keluarga Wagini yaitu bedah rumah pada 2020 silam. Rumah yang dulunya semi permanen telah dirombak hingga memiliki dinding batu pada bagian depan dan rumah lama dinding anyaman bambu di bangunan samping.
Untuk penghidupan, keluarga ini masih menerima hasil panen sawah yang digarap orang lain serta bantuan dari para donatur.
"Banyak donatur yang juga kasih bantuan ke sini," ucapnya.
(rih/dil)