Asa Nelayan Tambakrejo Semarang Bertahan di Laut yang Kian Sempit

Asa Nelayan Tambakrejo Semarang Bertahan di Laut yang Kian Sempit

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Selasa, 23 Des 2025 18:33 WIB
Asa Nelayan Tambakrejo Semarang Bertahan di Laut yang Kian Sempit
Solekhah dan kerupuk kerang hijau buatannya yang dijual di pasaran, di Kampung Tambakrejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Selasa (23/12/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng.
Semarang -

Teras rumah Yanti (29), istri nelayan di Tambakrejo, Semarang, tampak sibuk sejak pagi. Dua perempuan dengan tekun mengupas kerang hijau, memisahkan daging dari kulitnya.

Mereka rupanya sedang membuat kerang hijau krispi. Bukan untuk dimakan sendiri, melainkan dijual kepada masyarakat sekitar.

Yanti tiap hari memanen kerang hijau dari rumpon yang dibuat suaminya di pantai. Masakan kerang hijau krispi itu baru uji coba, masih belum cukup sempurna untuk diproduksi massal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini mau dibuat kerang hijau krispi, inginnya dijual jadi oleh-oleh, tapi belum. Jadi baru dimakan orang-orang sekitar. Masih coba-coba buat dijual," kata Yanti kepada detikJateng di Kampung Tambakrejo, Selasa (23/12/2025).

Dia menyadari hasil produksinya belum memuaskan. Makanan yang seharusnya krispi masih terkadang terasa lembek lantaran Yanti tidak mau menambahkan bahan pengawet ke masakannya. Standar perizinan pun belum terpenuhi, karena rumah produksi belum ada. Dapurnya masih menyatu dengan rumah.

ADVERTISEMENT

Kondisi itu membuat mimpi Yanti menjadikan kerang hijau krispi buatannya sebagai makanan yang layak dijadikan oleh-oleh masih harus ditunda.

"Kalau mau masuk pusat oleh-oleh itu susah. Harus ada izin, tempatnya juga harus sesuai," ujar Yanti.

Hal serupa dirasakan Solekhah (59), istri nelayan di Tambakrejo. Sisa-sisa cangkang kerang hijau terlihat di sekitar rumahnya yang kecil, tanda dapurnya baru berproduksi. Berbeda dengan Yanti yang memilih membuat kerang hijau krispi, Solekhah memilih memproduksi kerang hijau menjadi kerupuk yang renyah.

Sambil menggendong cucunya, perempuan pesisir Tambakrejo itu menunjukkan hasil olahan kerupuk kerang hijau berwarna cokelat yang sudah dikemas cantik dalam plastik bertuliskan 'Kerupuk Kerang Ijo Produksi Kampung Nelayan Tambakrejo'.

Ia bukan pengusaha besar. Produksi kerupuk kerang hijaunya pun masih terbatas. Sekali membuat, kata Solekhah, paling banyak hanya satu kilogram adonan yang kemudian dijual dalam kemasan kecil. Satu ons kerupuk kerang hijau dihargai Rp 6 ribu.

"Alhamdulillah buat sampingan, karena sudah tua, inginnya mencari uang untuk kita sendiri. Untuk keluarga juga bisa kalau lebih," ujarnya kepada detikJateng.

Bagi perempuan dengan delapan anak itu, usaha kerupuk kerang hijau bukan soal untung besar. Lebih dari itu, usaha itu dia lakukan demi menjaga dapur tetap mengepul. Ia dan suaminya sadar, mengandalkan hasil tangkapan ikan laut sepenuhnya kini tak lagi memungkinkan.

Laut yang Menyempit

Dulunya, ikan laut menjadi sumber penghidupan keluarganya. Suaminya juga memiliki rumpon yang menjadi sarang untuk kerang hijau. Namun, ikan laut semakin sulit diperoleh lantaran laut sebagai lahan tangkapan ikan semakin menyempit. Rumpon tempatnya memanen kerang laut kini juga sudah hilang tergusur pembangunan.

"Dulunya memang kita pernah jadi petani kerang hijau, jadi kita ambil, kita kupas, kita jual kembali. Tapi harganya anjlok. Terus sekarang Bapak sudah nggak punya rumpon karena kena jalan tol, kita beli kerang hijau dari tetangga atau dari rumpon," jelasnya.

"Jadi dulu kita di bedeng, kena gusur tahun 2019. Sebelum itu kita sudah punya rumah di pol laut. Semuanya belum punya, kita punya. Perahunya saja sudah terbengkalai. Dulu Bapak kita bikin kelompok penggerak, membuat penghijauan mangrove, tapi malah tergusur tol. Anggotanya sudah nggak mau aktif, akhirnya bubar, sekarang tinggal kenangan," lanjutnya.

Yanti dan ibu-ibu istri nelayan mengupas kerang hijau di Kampung Tambakrejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Selasa (23/12/2025).Yanti dan ibu-ibu istri nelayan mengupas kerang hijau di Kampung Tambakrejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Selasa (23/12/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng

Karena itu, kerupuk kerang hijaunya menjadi semacam napas cadangan. Ketika melaut sepi, dapurnya bergerak. Ketika pesanan datang, tangan-tangan tua Solekhah itu kembali sibuk membersihkan, mengolah, menjemur, lalu mengemas kerang olahan.

"Jadi kita nggak vakum, kita cari haluan lain. Kita terdampak tol nggak ada ganti ruginya, masa duduk diam saja? Kita mau makan apa? Ya kita ganti, jadi masih punya pemasukan. Nelayan tidak sebagus yang kita bayangkan. Banyak turunnya," ucapnya.

Harapan Solekhah tak muluk-muluk. Tak ada target besar, yang ada hanya upaya bertahan pelan-pelan, dari rumah sederhana di pesisir. Baginya, kerupuk kerang hijau bukan sekadar camilan, tetapi jadi alasannya tetap hidup di tengah laut yang kian tak pasti.

Membuat Rumah Untuk Kerang Hijau

Di balik usaha keras para istri untuk menghasilkan uang dari kerang hijau, ada usaha para suami yang terus bertahan mencari penghidupan dari laut. Para nelayan itu juga dipaksa beradaptasi dengan hasil tangkapan yang menurun, hingga akhirnya memutuskan membuat rumpon sebagai 'rumah' bagi kerang hijau, dari pendanaan koperasi nelayan.

Salah satu nelayan yang mencoba merubah nasib adalah Marzuki (36). Bersama kawan-kawannya dia mencoba merintis sebuah koperasi untuk menambah kesejahteraan nelayan. Atas kegigihannya, koperasinya memperoleh suntikan modal.

Cerita bermula saat Marzuki bertemu komunitas pesisir di penjuru Indonesia, lewat sebuah acara di Jakarta pada 2019. Mereka saling berbagi cerita tentang laut yang makin sempit, tentang kampung nelayan yang pelan-pelan tergerus adanya pembangunan. Dari pertemuan itulah jejaring terbentuk.

"Pas Desember itu teman Walhi menawarkan pendanaan untuk kolektif teman-teman nelayan, durung ono (belum ada) gambaran dananya Rp 100 juta. Tapi kan mengajak semua nelayan sekampung belum tentu bisa, akhirnya kita ambil perwakilan," kata Marzuki.

Marzuki sempat ragu. Mengumpulkan satu kampung bukan perkara mudah. Akhirnya, ia pun memilih perwakilan dari empat Kelompok Usaha Bersama (KUB), ditambah pemuda dan satu perwakilan ibu-ibu, sehingga total terkumpul 24 orang untuk mengurus dana tersebut. Belum ada koperasi waktu itu, hanya niat masyarakat agar bantuan benar-benar memberi manfaat bagi nelayan kecil.

"Masuk anggota, kita ngomongin masalah rumpon, kerang hijau, pemancingan, dan perahu. Kalau nggak salah ditotal Rp 90 juta, belum sampai Rp 100 juta," terangnya.

Januari 2024, dana Rp 100 juta yang sebelumnya hanya ia dengar dari cerita teman jejaringnya benar-benar masuk. Bukan ke rekening pribadi Marzuki, melainkan ke upaya kolektif warga yang rupanya mampu mengubah cara nelayan Tambakrejo bertahan hidup.

"Dana masuk Januari kalau nggak salah. Seolah nggak percaya. Wong ndisik (dulu) mulai nggawe (buat) KUB, cari bantuan susah. Alhamdulillah jadi rejekine teman-teman yang tadinya iseng-iseng berhadiah," kata dia.

Dana tersebut kemudian diwujudkan menjadi rumpon, perahu, hingga sarana sederhana seperti laptop dan printer. Ada pula pelatihan, diskusi, dan rapat-rapat panjang bagi para nelayan, hingga terbentuklah Koperasi Kampung Nelayan Tambakrejo Sejahtera. Perjalanan koperasi pun tidak langsung berjalan mulus.

"Kemarin tak (saya) hitung modal Rp 35 juta khusus rumpon, sudah bambunya dan tenaga untuk menancapkan bambu. Tapi akhirnya cuma balik ke koperasi Rp 20 juta. Rugi Rp 15 juta kan? Tapi kita sudah memberikan manfaat untuk yang ceblok itu bisa kerja, nelayan bisa panen kerang hijau, ada aset yang bisa dipakai bertahun-tahun," ujarnya.

Rumpon-rumpon itu perlahan mengubah wajah laut kecil di pesisir Semarang. Kerang hijau tumbuh menempel di bambu. Tanpa disangka, ikan-ikan yang tadinya hilang juga kembali bersarang. Nelayan yang semula hanya bisa panen satu-dua bulan, kini bisa bertahan hingga lima bulan, bahkan saat musim ombak.

"Rumpon selain buat pemancingan dan untuk kerang hijau, ternyata dibuat rumah ikan yang dahulu dikejar sama pukat. Juga akhirnya aku berpikir ternyata terumbu karang itu nggak bakal jadi kalau nggak ada lokasi yang nggak diganggu. Karena rumpon ini akhirnya memunculkan lokasi yang susah diganggu nelayan yang tinggal garuk," jelasnya.

"Saya sebagai nelayan jaring itu butuh rumah-rumah ikan, karena negara juga bahasanya nggak hadir untuk mengelola terumbu karang, saya pikir upaya membuat rumpon itu salah satu upaya kita melestarikan terumbu karang dan akhirnya membatasi aktivitas laut yang sifatnya eksploitatif," lanjutnya.

Dari situ, efek lain muncul, tambah Marzuki. Nelayan mulai berpikir kolektif, bukan lagi soal siapa dapat paling banyak tangkapan hari ini, tapi bagaimana laut tidak habis besok. Terlebih, wilayah tangkap nelayan jaring yang dulu hanya satu kilometer dari pantai kini banyak yang tertutup pembangunan.

"Regulasinya kan tangkapan ikan sampai 12 mil. Nelayan kecil disuruh ke tengah sampai 12 mil. Perahunya apa sanggup? Alatnya nggak sampai ke sana. Kita pakai perahu kecil, jaring ala kadarnya," tuturnya.

Ia menyebut, produksi tangkapan nelayan Tambakrejo turun hingga sekitar 80 persen. Reklamasi, kolam retensi, jalur pipa, hingga rencana proyek baru berupa tanggul laut terus menyempitkan ruang hidup nelayan.

"Pembangunan pastinya kan bermanfaat. Aku nggak mau ngomong tolak-tolak, kalau memang memberikan manfaat orang banyak. Tapi harus ada pemikiran dari dampak-dampak yang berkelanjutan. Nanti nelayannya gimana? Yang digembor-gemborkan di nasional bahwa nelayan tradisional dilindungi. Tapi lokasinya nggak ada, diusir," ungkapnya.

"Terus mereka pada berpindah sendiri-sendiri, tahu-tahu hilang, nggak ada. Terus dicatat sudah nggak ada nelayan tradisional. Menyakitkan. Kalau lautnya dibabat, nelayan mau kerja apa? Deforestasi itu nggak cuma di darat, tapi ini deforestasi di laut," lanjutnya.

Di tengah tekanan itu, koperasi menjadi ruang bertahan. Rumpon yang dibangun itulah yang terus mendukung adanya olahan kerang hijau ibu-ibu kampung.

Rumpon Pemulih Ekosistem

Walhi Jateng pun melihat hal-hal yang dialami para nelayan Tambakrejo sebagai cara bertahan hidup nelayan. Sebelumnya, para istri nelayan bisa mengasap ikan, kala hasil tangkapan ikan belum jadi persoalan di pesisir Tambakrejo.

"Sebelum 2020-an itu warga terutama Ibu-ibu masih menghasilkan uang melalui mengasap ikan. Tetapi lambat-laun ikan yang mau diasap nggak ada. Tangkapannya semakin sedikit, sampai akhirnya sehari nggak dapat apa-apa," kata Deputi Direktur Walhi Jateng, Nur Colis.

Ikan yang diasap hanya cukup disantap sendiri, sementara pemasukan harus tetap ada, membuat para istri nelayan harus beradaptasi dengan tangkapan yang menurun.

Rumpon didirikan, kerang hijau muncul, dan lagi-lagi istri nelayan mau tak mau dibuat beradaptasi dengan olahan kerang hijau demi bisa bertahan hidup.

"Saya melihat ini adalah adaptasi masyarakat nelayan tradisional yang terbatas aksesnya ke ikan. Ikan sudah nggak ada. Kalaupun ada, mereka harus melaut lebih ke tengah, yang membutuhkan bensin atau solar lebih banyak, yang hanya dimiliki kapal besar," ujarnya.

Ia menilai, banyak faktor yang membuat hasil tangkapan nelayan berkurang. Salah satunya laut yang jadi pembuangan limbah kawasan-kawasan industri sehingga biodiversitas ikan menurun.

"Dengan adanya rumpon, mereka beberapa kali menemukan ikan. Jadi selain menjadi pendapatan masyarakat, rumpon juga bisa memulihkan ekosistem di sana," tuturnya.

Ia pun meminta pemerintah agar mendukung cara bertahan nelayan kecil dengan mengakui rumpon sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Hal itu penting untuk menjamin nelayan bisa terus membangun rumpon.

"Karena nelayan di Tambakrejo beberapa kali itu mendapatkan protes dan berhadapan dengan nelayan-nelayan kapal besar. Karena rumpon dinilai mengganggu," jelasnya.

"Butuh hadirnya DKP ataupun KKP, yang memiliki kewenangan untuk merekonisi adanya rumpon sebagai alat tangkap ramah lingkungan. Karena belum ada kekuatan untuk mendukung dalam bentuk dokumen atau kebijakan," lanjutnya.

Ia menjelaskan, rumpon nelayan tak jarang hancur ditabrak kapal tongkang. Namun nelayan tak mendapat ganti rugi atas rumpon yang dirusak.

"Beberapa kali rumpon kena kapal tongkang, tol tanggul laut Semarang. Makanya butuh pengakuan untuk mempermudah ganti rugi atau kompensasi," ujarnya.

Respons DKP Jateng

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah (Jateng), Endi Faiz Effendi, membenarkan bahwa wilayah tangkap nelayan menurun. Menurutnya, hal itu dikarenakan cuaca yang buruk untuk melaut dan masih maraknya penangkapan ikan dengan cara destruktif.

"Memang musim seperti ini, musim baratan terutama, nelayan kecil itu sangat berpengaruh. Ada kondisi cuaca yang tidak bersahabat, banyak kapal-kapal kecil yang tidak melaut," kata Endi saat dihubungi detikJateng.

"Praktek-praktek penangkapan ikan dengan yang tidak ramah lingkungan, yang destruktif di sini itu masih banyak. Seperti garuk kerang, yang menangkap ikan tidak dengan ramah lingkungan sehingga memengaruhi ekosistem ikan," lanjutnya.

Endi pun mengakui bahwa rumpon merupakan cara yang ramah lingkungan untuk bisa menangkap ikan sekaligus menjadi 'rumah' bagi ikan. Namun, menurutnya pendirian rumpon harus berdasarkan izin pemerintah dan ada tanda untuk tiap rumpon, jika ingin direkognisi.

"Rekognisi rumpon kan berarti harus ada penanda rumpon supaya bisa direkognisi. Sebenarnya rumpon ada aturannya. Rumpon dikategorikan sebagai alat bantu penangkapan ikan, untuk berkumpulnya ikan," jelasnya.

"Aturan lama tidak mewajibkan izin, tapi aturan baru mengatakan setiap pemasangan rumpon harus memiliki izin penempatan dan harus ada titik koordinatnya," lanjutnya.

Ia menguraikan, penempatan rumpon di wilayah provinsi berada di perairan 0-12 mil dari laut. Kemudian, nelayan harus memasang rumpon minimal 12 mil dari garis pantai dan menjaga jarak antar rumpon sekitar 20 km, agar tidak terjadi konflik antarnelayan.

"Dan rumpon dilarang dipasang di alur pelayaran, di zona pemanfaatan laut. Intinya nelayan jangan sembarangan masang rumpon. Kalau dipasang di alur pelayaran ya akan rusak ditabrak," ujarnya.

Menurutnya, rumpon yang dirusak tetap menjadi tanggung jawab nelayan, sehingga tidak bisa diadakan jaminan untuk ganti rugi atau kompensasi bagi rumpon yang dirusak.

"Tapi rumpon itu harus ada tanda pengenalnya. Wajib dilengkapi tanda pengenal, ada surat izin pemasangan rumpon," ujarnya.




(apl/aku)


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads