Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) drh Yuda Heru Fibrianto (56) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus produksi dan terapi stem cell ilegal di Magelang. Begini suasana rumah sekaligus tempat praktik drh Yuda.
Pantauan detikJateng, sekitar pukul 14.54 WIB, rumah itu di Potrobangsan RT 10/RW 01, Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang. Tampak tulisan 'tutup' pada papan pengumuman yang dipasang dinding rumah.
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah tersebut berlantai 2. Dari luar terlihat bercat putih. Sedangkan dinding bagian depan bercat warna cokelat muda.
Di depan rumah ini ada lincak atau kursi dari bambu. Kemudian di dindingnya ada papan bertulis 'Praktek Dokter Hewan' yang terlihat kecil.
Teras rumah dipasang galvalum hingga menutupi akses jalan masuk gang tersebut.
![]() |
Terlihat rumah tersebut, pintu depannya tutup rapat. Sedangkan yang buka bagian samping kiri. Dari luar terlihat ada seorang perempuan yang juga asisten rumah tangga.
Pihaknya menyampaikan jika majikannya tidak berada di rumah. Demikian halnya dengan istrinya dan putera-puteranya kuliah di Jogja.
Setelah mengetahui yang datang sejumlah awak media, pihaknya irit bicara. Hal serupa juga disampaikan para tetangganya.
Mereka pun enggan memberikan informasi terkait keberadaan drh Yuda tersebut. Termasuk tadi ada juga orang yang datang dari Jogja ingin berobat, namun tutup.
Sementara itu, pihak Kelurahan Potrobangsan pun tidak mengetahui jika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI membongkar peredaran produk biologi ilegal berupa turunan sel punca atau stem cell.
"Sepengetahuan saya sejak menjadi Lurah di Kelurahan Potrobangsan ini itu memang ada rengeng-rengeng (bisik-bisik) dari warga itu ada praktik dokter Yuda. Dari warga pun pas praktik juga tidak ada keluhan apa pun, juga tidak mengganggu kanan kiri (tetangga) makanya kita (kelurahan) tidak ngaruhke ataupun bagaimana," kata Lurah Potrobangsan Yani Budi P kepada wartawan di ruang kerjanya, Rabu (27/8/2025).
"(Dokter apa) Spesialis apa, kita juga nggak tahu nggih. Karena plang praktik juga tidak ada. Dan juga dari RT/RW tidak ada laporan apa pun baik itu dari DKK (Dinas Kesehatan Kota), Puskesmas juga tidak ada (laporan)," sambungnya.
Perihal dilakukan penindakan pada bulan Juli, pihaknya mengatakan, secara tertulis tidak memberi tahu Kelurahan. Untuk itu, Kelurahan tidak mengetahui BPOM RI ke lokasi.
"Saya tidak tahu (aktivitas hariannya). Dalam artian, kita belum tahu beliaunya warga, KTP Potrobangsan atau hanya menumpang. Itu juga belum (tahu)," ujarnya.
"Informasi kemarin-kemarin sebelum tutup itu memang banyak. Dari kota-kota besar, mungkin dari Surabaya, Jakarta, kemungkinan luar Pulau Jawa juga ada. Iya (tahu dokter)," beber Yani.
Menyinggung soal sejak kapan tutupnya, pihaknya tidak mengetahui secara pastinya.
"Kalau tutupnya kurang pasti. Karena juga dari lingkungan tidak ada (laporan)," kata dia.
Pihaknya bakal melakukan koordinasi dengan Babinsa maupun Bhabinkamtibmas juga RT dan RW.
"Untuk ngaruhke lah. Ibaratnya ngaruhke ke lokasi. Kata-katanya seperti itu (dokter hewan)," beber Yani.
"Kalau dibilang kaget ya kita kaget. Kan, kita tidak dijawil ataupun apa sebelumnya jadi tidak mempersiapkan. Dalam artian mengamankan lingkungannya bekerja sama sinergitas dengan Babinsa, Bhabinkamtibmas juga RT, RW," tambahnya.
Ditindak BPOM
Sebelumnya, dilansir detikHealth, peredaran produk biologi ilegal berupa turunan sel punca atau stem cell di Magelang ditindak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Sarana itu merupakan praktik dokter hewan yang dijadikan tempat peredaran produk sekretom yang disuntikkan ke pasien manusia.
Penindakan pada 25 Juli 2025 itu dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM bersama Koordinator Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.
Kepala BPOM RI Prof Taruna Ikrar mengatakan, sarana praktik dokter hewan itu dijadikan tempat peredaran produk biologi ilegal berupa sekretom, yang disuntikkan kepada pasien manusia.
Praktik tersebut dilakukan tanpa izin edar dari BPOM, serta tidak memiliki perizinan resmi maupun surat izin praktik dokter hewan. Pemilik sarana juga tidak memiliki kewenangan untuk memberikan terapi atau pengobatan ke manusia.
Di tempat itu, PPNS BPOM menemukan produk sekretom dalam bentuk jadi yang dikemas dalam tabung emprentrof 1,5 mililiter berwarna merah muda dan oranye. Produk itu siap untuk disuntikkan ke tubuh pasien manusia.
"PPNS BPOM juga menemukan produk sekretom dari kemasan botol 5 liter sebanyak 23 botol yang disimpan di dalam kulkas, peralatan suntik, termasuk pendingin, yang sudah ditempel identitas dan alamat lengkap pasien serta produk kiriman ditambahkan produk sekretom tersebut untuk pengobatan luka. Nilai ekonomi ini mencapai Rp 230 miliar," kata Ikrar dalam konferensi pers, Rabu (27/8/2025).
Pemilik sarana berinisial YHF (56), yang juga staf pengajar di sebuah universitas di Yogyakarta itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Penyidikan dilakukan berdasarkan laporan masyarakat terkait dugaan praktik pengobatan ilegal. PPNS BPOM telah memeriksa 12 saksi.
BPOM menjelaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, produk terapi lanjut (advance therapy products) seperti sel punca atau turunannya, termasuk sekretom, wajib memiliki izin edar.
Aturan tersebut ditegaskan kembali melalui Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2025 tentang Pedoman Penilaian Produk Terapi Advance. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi hukum.
BPOM menyatakan akan terus meningkatkan pengawasan untuk melindungi masyarakat dari risiko kesehatan akibat peredaran produk biologi ilegal, sekaligus mencegah kerugian ekonomi serta menurunnya daya saing produk dalam negeri.
(rih/apu)