Tim pengacara eks Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita, dan suaminya, Alwin Basri menepis tuduhan jaksa penuntut umum (JPU) yang menilai pleidoi mereka disusun secara parsial dan hanya menguntungkan terdakwa. Mereka menegaskan, seluruh pembelaan disusun berdasarkan fakta persidangan, bukan asumsi.
Hal tersebut dikatakan pengacara Ita, Erna Ratnaningsih, dalam duplik yang dibacakannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Semarang, Kecamatan Semarang Barat. Duplik Ita dan Alwin dibacakan terpisah. Dalam duplik Alwin, ia menolak tuduhan pleidoi disusun hanya menguntungkan Alwin.
"Pendapat tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar. Karena pembelaan yang telah kami sampaikan berdasarkan seluruh fakta persidangan, yang bersumber dari keterangan saksi-saksi," kata Erna di Pengadilan Tipikor Semarang, Jumat (15/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Erna, banyak saksi yang memberikan keterangan tidak langsung alias berdasarkan cerita pihak lain, bukan pengalaman pribadi. Perbedaan pandangan antara jaksa dan tim pembela, kata dia, adalah hal lumrah dalam persidangan.
Erna juga menyoroti tuduhan terkait penerimaan uang Rp 2 miliar dari saksi Martono. Ia menegaskan hal itu hanya didukung keterangan satu saksi tanpa bukti lain, sehingga tidak cukup membuktikan kesalahan Alwin.
"Uang sebesar Rp 1 miliar dan Rp 1 miliar yang katanya telah diberikan Martono kepada terdakwa II sehingga menjadi Rp 2 miliar, ternyata oleh penuntut umum dalam persidangan hanyalah mendasarkannya dengan keterangan 1 orang saksi saja, yaitu saksi Martono tanpa didukung dengan bukti-bukti yang sah lainnya," paparnya.
Ia membeberkan, meskipun Martono mengaku memberi uang, perusahaan Martono tidak mendapat proyek di Pemkot Semarang pada 2023. Hal ini, menurut Erna, membuktikan tidak ada komitmen fee seperti yang dituduhkan.
Terkait proyek penunjukan langsung (PL) di 16 kecamatan, Erna menyebut jaksa tidak membantah poin pembelaan mereka. Bahkan, kata dia, temuan BPK atas proyek itu sudah dibayar Martono ke kas negara.
"Kami kaitkan lagi dengan berita pemberitaan di media massa telah bersesuaian dengan penjelasan Direktur Penyidikan KPK yang menyatakan bahwa dalam kasus ini tidak menyebabkan kerugian negara," ujarnya.
Di akhir duplik, tim pengacara meminta majelis hakim mengabulkan permohonan dalam pledoi sebelumnya dan memutus perkara dengan seadil-adilnya.
"Kami penasihat hukum terdakwa II, demikian juga terdakwa I, memohon putusan yang seadil-adilnya," pungkas Erna.
Sebelumnya diberitakan, Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi dengan total Rp 2,24 miliar, yang juga diterima Martono. Uang itu merupakan fee proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang yang dilakukan melalui penunjukan langsung.
"Jumlah keseluruhan Rp 2,24 miliar dengan rincian Terdakwa I dan Terdakwa II menerima Rp 2 miliar dan Martono menerima Rp 245 juta," kata JPU dari KPK, Rio Vernika Putra di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Senin (21/4/2025).
"(Uang Rp 2,24 miliar) dari Suwarno, Gatot Sunarto, Ade Bhakti, Hening Kirono, Siswoyo, Sapta Marnugroho, Eny Setyawati, Zulfigar, Ari Hidayat, dan Damsrin," imbuh dia.
Selain itu, Mbak Ita dan Alwin pun didakwa menerima suap dari proyek pengadaan barang dan jasa senilai Rp 3,75 serta didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri senilai Rp 3 miliar.
Total, Mbak Ita dan Alwin menerima uang suap dan gratifikasi dengan total kurang lebih Rp 9 miliar. Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
(rih/apu)