Saksi dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang mengaku merahasiakan soal setorannya ke eks Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita dan suaminya, Alwin Basri. Alasannya demi nama baik pasutri tersebut.
Hal itu terungkap dalam sidang pemeriksaan saksi dalam kasus dugaan korupsi Mbak Ita dan Alwin di Pengadilan Tipikor Semarang, kemarin.
Saksi yang dihadirkan dalam sidang itu ialah Kepala Bidang Pengawasan dan Pengembangan Bapenda Kota Semarang, Syarifah; Kepala Bidang Penagihan Pajak Daerah Bapenda Kota Semarang, Bambang Prihartono, dan Kepala Bidang Penyelenggaraan Layanan Perizinan II DPMPTSP Kota Semarang, Yulia Adityorini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Uang Dibungkus Kertas Kado
Dalam kesaksiannya, Syarifah menyebut dirinya bertugas membawa hasil uang iuran kebersamaan pegawai Bapenda Kota Semarang.
"Nominalnya Rp 300 juta, berbentuk uang tunai, dibungkus pakai kertas kado. Setiap menyerahkan, saya mendampingi Bu Iin (Kepala Bapenda, Indriyasari) untuk menyampaikan. (Diserahkan) Di triwulan akhir Desember 2022, triwulan 1, 2, 3 di 2023. Semua nominalnya 300," kata Syarifah di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (7/7/2025).
Dia bilang permintaan dana dari Mbak Ita disebut disampaikan dalam rapat tertutup para kepala bidang. Saat itu para pejabat disebut kaget karena tidak ada anggaran resmi.
"Saat itu kami kaget, bilang 'mau diambilkan uang dari mana, Bu?'. Kata Mbak Iin 'coba direng-reng, karena kita tidak punya uang dari APBD, coba dari iuran kebersamaan'," jelasnya.
Akhirnya, para pegawai sepakat memberikan uang Rp 300 juta kepada Ita dari iuran kebersamaan. Iuran para pegawai yang awalnya direncanakan untuk piknik ke Bali itu akhirnya dialihkan dengan piknik ke Jogja.
Penyerahan dana untuk Alwin Basri juga dilakukan secara berulang dan diam-diam. Nilainya bervariasi antara Rp 200 juta hingga Rp 300 juta tiap triwulan. Syarifah menyebut, semuanya berasal dari iuran kebersamaan pegawai Bapenda yang dikumpulkan setelah pencairan TPP.
"Kalau Pak Alwin Rp 200 juta, di triwulan kedua Juli Rp 200 juta, triwulan ketiga Rp 300 juta, Oktober Rp 300 juta, November Rp 300 juta, kurang lebih Rp 1 miliar," ujar dia.
Syarifah mengaku hal tersebut tak disampaikan kepada para pegawai yang juga berkontribusi dalam iuran kebersamaan. Hal itu hanya diketahui Kepala Bapenda dan para kabid, termasuk Syarifah.
"Tidak saya sampaikan, karena kita menjaga nama baik Bu Ita dan Pak Alwin," ujarnya.
Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi menanyakan kenapa para kabid tidak menyampaikan adanya penyerahan uang untuk Ita.
"Ada maksud apa, Saudara? Takut dipindah karena nanti tidak ada TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai)?" tanya hakim. Syarifah tidak menjawab.
Kesepakatan Pejabat Bapenda
Saksi lain, Kepala Bidang Penagihan Pajak Daerah, Bambang Prihartono juga menyampaikan hal yang serupa dengan kesaksian Syarifah.
"Informasi itu hanya sampai ke kepala bidang. Saya, Bu Syarifah, Pak Binawan, Bu Iin, sepakat nggak usah disampaikan. Itu kesepakatan kami berempat," kata dia.
Bambang mengakui dirinya sempat menolak permintaan uang untuk Mbak Ita saat pertama kali mendengar nominal Rp 300 juta. Namun akhirnya ikut menyetujui karena takut risiko.
"Karena bawahan, saya tidak bisa menolak itu, dan saya bisa dipindah. Sebetulnya saat itu kita sudah menyampaikan penolakan saat pertama kali saya mendengar angka Rp 300 juta untuk Bu Ita, tapi mau gimana lagi, itu sudah permintaan," ujarnya.
Catatan Iuran Kebersamaan Dibakar
Dalam sidang, Syarifah juga mengaku telah membakar catatan setoran iuran kebersamaan kepada Mbak Ita.
"Saya ditunjuk untuk memegang uang kebersamaan karena supaya tidak tumpang tindih," kata Syarifah di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (7/7/2025).
Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi, lantas bertanya apakah terdapat catatan terkait pengumpulan iuran kebersamaan pegawai tersebut. Syarifah mengaku, catatan tahun 2023 sudah dibakar.
"Catatannya untuk tahun 2023 sudah dibakar. Waktu itu Bu Iin menyampaikan, 'Mbak ada perintah dari Bu Ita, bahwa semua catatan harus dihilangkan'," ungkap Syarifah.
Perintah tersebut, kata Syarifah, disampaikan secara lisan. Saat ditanya hakim mengapa harus dimusnahkan, Syarifah mengaku tak tahu alasannya. Ia berdalih, dirinya hanya menerima perintah sehingga mau tak mau melaksanakannya.
"Saya mendengar dari Bu Iin yang menyampaikan, diperintahkan semua catatan harus dihilangkan atau dimusnahkan," ujar Syarifah.
Tanggapan Mbak Ita di halaman selanjutnya.
Mbak Ita Menampik Pernyataan Saksi
Eks Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Mbak Ita kemudian menanggapi pernyataan saksi yang menyebutkan dirinya pernah meminta saksi membakar catatan iuran kebersamaan. Ita mengaku tak mengetahui adanya catatan tersebut.
Saat dipersilakan hakim untuk menyampaikan pertanyaan dan tanggapan, Ita bertanya ke Syarifah apakah buku catatan itu pernah diperlihatkan kepada dirinya.
"Katanya saya minta buku Saudara Saksi dibakar, apakah Saksi pernah memperlihatkan buku itu ke saya?" kata Ita di Pengadilan Tipikor, Senin (7/7/2025).
"Kenapa saya memerintahkan membakar buku itu? Saya kan tidak pernah melihat," lanjut Ita.
Syarifah lantas berkata dirinya hanya mendapat perintah dari Kepala Bapenda Kota Semarang, Indriyarsari. Ita lantas menegaskan dirinya tak terlibat perintah pembakaran buku tersebut.
"Berarti kan tidak ada kaitan," ujar Ita.
Ita menyebut tidak tahu-menahu mengenai buku itu dan menyatakan tidak pernah memberikan perintah apa pun terkait penghilangan data.
"Saya juga tidak memerintahkan Syarifah bakar buku iuran kebersamaan karena saya tidak tahu ada iuran kebersamaan, saya baru tahu rinciannya saat sidang ini," ujar dia.
Ita juga menyinggung kesaksian para saksi yang menyebut mengetahui iuran kebersamaan diberikan kepada Ita sebagian, karena adanya tulisan tangan angka '300' pada selembar kertas yang diperlihatkan Indriyarsari.
"Saudara Bambang, Syarifah, dan Yulia itu kan tidak kenal baik dengan saya, apakah Saudara hafal tulisan saya?" tanya Ita.
Saksi Bambang lantas mengatakan, dirinya hanya diperlihatkan Indriyarsari terkait tulisan itu. Bambang tidak mengetahui secara langsung bahwa tulisan itu adalah tulisan Ita.
"Berarti kan tidak tahu kan? Saya kan perlu tanya, karena ini penuh drama ini," kata Ita menanggapi pernyataan Bambang.
Ita juga mengaku sudah tidak menerima dana sejak akhir 2023, tetapi dana iuran tetap terkumpul di triwulan-triwulan setelahnya.
"Triwulan 4 2023 itu saya sudah tidak mau menerima. Kalau iuran sampai Rp 1,4 miliar kan asumsi saya masih menerima. Padahal kan nggak," ucap dia.
Ita menambahkan bahwa pada Januari 2024 dirinya bahkan sempat memerintahkan agar tidak ada lagi potongan untuk iuran kebersamaan.
"Di awal Januari Saudara ingat kan saya datang ke Bapenda? Saya memerintahkan apa? Tidak ada potongan kan?" kata Ita.
Ita mengatakan, kesaksian yang menyebut dirinya sebagai penerima uang justru tidak konsisten. Terlebih, menurut Ita, keterangan iuran kebersamaan diberikan bukan karena SK tak kunjung ditandatangani.
"Apa yang disampaikan ini banyak yang tidak sesuai. Terkait saya minta uang karena SK tidak ditandatangan, tidak ada kaitannya," ujar Ita.
suami Ita, Alwin Basri, juga memberikan tanggapan. Ia menyoroti iuran kebersamaan yang terus dilaksanakan pada 2024 padahal Ita sudah menerbitkan surat edaran untuk Bapenda agar berhenti melakukan pemotongan untuk iuran kebersamaan.
"Kabag sama Kabid ikut serta melanggar aturan Wali Kota, mohon diproses. Menghilangkan barang bukti, tolong diproses," kata Alwin.
Iuran Kebersamaan Menurut Jaksa KPK
Sebelumnya diberitakan, JPU dari KPK, Rio Vernika mengungkap adanya uang 'iuran kebersamaan' dari pegawai Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang untuk Mbak Ita dan Alwin. Uang itu berasal dari insentif pemungutan pajak.
"Terdakwa sebagai Plt Walkot Semarang maupun Walkot Semarang, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara atau kepada kas umum yaitu menerima pembayaran 'iuran kebersamaan'," kata Rio dalam sidang di Tipikor Semarang, Senin (21/4/2025).
Ia menjelaskan, Mbak Ita dan suaminya didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri yang bersumber dari insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan bagi pegawai ASN Pemkot Semarang.
"Dengan total keseluruhan Rp 3 miliar dengan rincian Terdakwa I menerima Rp 1,8 miliar dan Terdakwa II menerima Rp 1,2 miliar atau setidaknya sekitar jumlah itu," ungkapnya.
Adapun, uang insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan itu sendiri merupakan penyisihan pendapatan para pegawai Bapenda Kota Semarang yang disebut sebagai 'iuran kebersamaan'. Awalnya, iuran itu akan digunakan untuk kebutuhan nonformal seperti kegiatan Dharma Wanita, rekreasi, bingkisan hari raya, hingga pembelian seragam batik.
Permintaan penyisihan uang iuran kebersamaan yang disampaikan Mbak Ita kemudian disepakati para kepala bidang di Bapenda dan direalisasikan. Uang sebesar Rp 300 juta diserahkan langsung ke ruang kerja Mbak Ita pada akhir Desember 2022.
Kejadian serupa kembali terjadi pada triwulan berikutnya. Pada Maret dan April 2023, Mbak Ita kembali menandatangani SK insentif dengan imbalan Rp 300 juta dari dana 'iuran kebersamaan'.
"Januari 2024, Indriyasari yang menghadap untuk menyerahkan uang, namun Terdakwa I menyampaikan kalimat 'ngko sik' (nanti dulu) yang maksudnya ditunda dulu penyerahan uang kepada Terdakwa I dan Terdakwa II karena ada informasi KPK sedang mengadakan penyelidikan di Kota Semarang," paparnya.
Simak Video "Video: Walkot Semarang Jadi Tersangka Suap Proyek Kursi SD-Sunat Tunjangan ASN"
[Gambas:Video 20detik]
(dil/dil)