Eks Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Mbak Ita menanggapi pernyataan saksi yang menyebutkan dirinya pernah meminta saksi membakar catatan iuran kebersamaan. Ita mengaku tak mengetahui adanya catatan tersebut.
Sidang dugaan korupsi Eks Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu dan suaminya, Alwin Basri digelar di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (1/7/2025). Sidang menghadirkan saksi Kepala Bidang Pengawasan dan Pengembangan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang Syarifah, Kepala Bidang Penagihan Pajak Daerah Bapenda Kota Semarang Bambang Prihartono, dan Kepala Bidang Penyelenggaraan Layanan Perizinan II, DPMPTSP Kota Semarang Yulia Adityorini.
Usai ketiganya memberikan keterangan, Ita dipersilakan oleh Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi untuk menyampaikan pertanyaan dan tanggapan. Ita bertanya apakah saksi Syarifah yang menyebut adanya perintah membakar buku itu pernah memperlihatkan catatannya kepada Ita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Katanya saya minta buku Saudara Saksi dibakar, apakah Saksi pernah memperlihatkan buku itu ke saya?" kata Ita di Pengadilan Tipikor, Senin (7/7/2025).
"Kenapa saya memerintahkan membakar buku itu? Saya kan tidak pernah melihat," lanjut Ita.
Syarifah lantas berkata dirinya hanya mendapat perintah dari Kepala Bapenda Kota Semarang, Indriyarsari. Ita lantas menegaskan dirinya tak terlibat perintah pembakaran buku tersebut.
"Berarti kan tidak ada kaitan," ujarnya.
Ita menyebut tidak tahu-menahu mengenai buku itu dan menyatakan tidak pernah memberikan perintah apa pun terkait penghilangan data.
"Saya juga tidak memerintahkan Syarifah bakar buku iuran kebersamaan karena saya tidak tahu ada iuran kebersamaan, saya baru tahu rinciannya saat sidang ini," ujar dia.
Ita juga menyinggung kesaksian para saksi yang menyebut mengetahui iuran kebersamaan diberikan kepada Ita sebagian, karena adanya tulisan tangan angka '300' pada selembar kertas yang diperlihatkan Indriyarsari.
"Saudara Bambang, Syarifah, dan Yulia itu kan tidak kenal baik dengan saya, apakah Saudara hafal tulisan saya?" tanya Ita.
Saksi Bambang lantas mengatakan, dirinya hanya diperlihatkan Indriyarsari terkait tulisan itu. Bambang tidak mengetahui secara langsung bahwa tulisan itu adalah tulisan Ita.
"Berarti kan tidak tahu kan? Saya kan perlu tanya, karena ini penuh drama ini," kata Ita menanggapi pernyataan Bambang.
Ita juga mengaku sudah tidak menerima dana sejak akhir 2023, tetapi dana iuran tetap terkumpul di triwulan-triwulan setelahnya.
"Triwulan 4 2023 itu saya sudah tidak mau menerima. Kalau iuran sampai Rp 1,4 miliar kan asumsi saya masih menerima. Padahal kan nggak," ucap dia.
Ita menambahkan bahwa pada Januari 2024 dirinya bahkan sempat memerintahkan agar tidak ada lagi potongan untuk iuran kebersamaan.
"Di awal Januari Saudara ingat kan saya datang ke Bapenda? Saya memerintahkan apa? Tidak ada potongan kan?" kata Ita.
Ita mengatakan, kesaksian yang menyebut dirinya sebagai penerima uang justru tidak konsisten. Terlebih, menurut Ita, keterangan iuran kebersamaan diberikan bukan karena SK tak kunjung ditandatangani.
"Apa yang disampaikan ini banyak yang tidak sesuai. Terkait saya minta uang karena SK tidak ditandatangan, tidak ada kaitannya," ujar Ita.
suami Ita, Alwin Basri, juga memberikan tanggapan. Ia menyoroti iuran kebersamaan yang terus dilaksanakan pada 2024 padahal Ita sudah menerbitkan surat edaran untuk Bapenda agar berhenti melakukan pemotongan untuk iuran kebersamaan.
"Kabag sama Kabid ikut serta melanggar aturan Wali Kota, mohon diproses. Menghilangkan barang bukti, tolong diproses," kata Alwin.
Pengakuan saksi tentang bakar catatan iuran kebersamaan di halaman selanjutnya.
Diberitakan sebelumnya, dalam sidang hari ini, saksi Kepala Bidang Pengawasan dan Pengembangan Bapenda, Syarifah mengaku telah membakar catatan setoran iuran kebersamaan kepada Mbak Ita.
Ia menyebut dirinya bertugas membawa hasil uang iuran kebersamaan pegawai Bapenda Kota Semarang.
"Saya ditunjuk untuk memegang uang kebersamaan karena supaya tidak tumpang tindih," kata Syarifah di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (7/7/2025).
Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi, lantas bertanya apakah terdapat catatan terkait pengumpulan iuran kebersamaan pegawai tersebut. Syarifah mengaku, catatan tahun 2023 sudah dibakar.
"Catatannya untuk tahun 2023 sudah dibakar. Waktu itu Bu Iin menyampaikan, 'Mbak ada perintah dari Bu Ita, bahwa semua catatan harus dihilangkan'," ungkap Syarifah.
Perintah tersebut, kata Syarifah, disampaikan secara lisan. Saat ditanya hakim mengapa harus dimusnahkan, Syarifah mengaku tak tahu alasannya. Ia berdalih dirinya hanya menerima perintah sehingga mau tak mau melaksanakannya.
"Saya mendengar dari Bu Iin yang menyampaikan, diperintahkan semua catatan harus dihilangkan atau dimusnahkan," ujar Syarifah.
Syarifah juga mengaku sempat menyetorkan sebagian uang iuran kebersamaan kepada Ita dan Alwin. Sebelumnya, Syarifah mendapat perintah dari Kepala Bapenda, Indriyasari, untuk menyerahkan uang sebesar Rp 300 juta kepada Ita.
"Nominalnya Rp 300 juta, berbentuk uang tunai, dibungkus pakai kertas kado. Setiap menyerahkan, saya mendampingi Bu Iin untuk menyampaikan. (Diserahkan) Di triwulan akhir Desember 2022, triwulan 1, 2, 3 di 2023. Semua nominalnya 300," kata Syarifah.
Permintaan dana dari Mbak Ita disebut disampaikan dalam rapat tertutup para kepala bidang. Saat itu para pejabat disebut sempat kaget terhadap permintaan itu karena tidak ada anggaran resmi.
"Saat itu kami kaget, bilang 'mau diambilkan uang dari mana, Bu?'. Kata Mbak Iin 'coba direng-reng, karena kita tidak punya uang dari APBD, coba dari iuran kebersamaan'," jelasnya.
Akhirnya, para pegawai sepakat untuk memberikan uang sebesar Rp 300 juta kepada Ita dari iuran kebersamaan. Anggaran yang awalnya direncanakan untuk piknik ke Bali pun akhirnya dialihkan ke Jogja.
Selain itu, penyerahan dana untuk Alwin Basri juga dilakukan secara berulang dan diam-diam. Nilainya bervariasi antara Rp 200 juta hingga Rp 300 juta tiap triwulan. Syarifah menyebut, semuanya berasal dari iuran kebersamaan pegawai Bapenda yang dikumpulkan setelah pencairan TPP.
"Kalau Pak Alwin Rp 200 juta, di triwulan kedua Juli Rp 200 juta, triwulan ketiga Rp 300 juta, Oktober Rp 300 juta, November Rp 300 juta, kurang lebih Rp 1 miliar," ungkapnya.
Namun, ia mengaku hal tersebut tak disampaikan kepada para pegawai yang juga berkontribusi dalam iuran kebersamaan. Hal itu hanya diketahui Kepala Bapenda dan para kabid, termasuk Syarifah.
"Tidak saya sampaikan, karena kita menjaga nama baik Bu Ita dan Pak Alwin," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, JPU dari KPK, Rio Vernika mengungkap adanya uang 'iuran kebersamaan' dari pegawai Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang untuk Mbak Ita dan Alwin. Uang itu berasal dari insentif pemungutan pajak.
"Terdakwa sebagai Plt Walkot Semarang maupun Walkot Semarang, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara atau kepada kas umum yaitu menerima pembayaran 'iuran kebersamaan'," kata Rio dalam sidang di Tipikor Semarang, Senin (21/4/2025).
Ia menjelaskan, Mbak Ita dan suaminya didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri yang bersumber dari insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan bagi pegawai ASN Pemkot Semarang.
"Dengan total keseluruhan Rp 3 miliar dengan rincian Terdakwa I menerima Rp 1,8 miliar dan Terdakwa II menerima Rp 1,2 miliar atau setidaknya sekitar jumlah itu," ungkapnya.
Adapun, uang insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan itu merupakan penyisihan pendapatan para pegawai Bapenda Kota Semarang yang disebut sebagai 'iuran kebersamaan'. Awalnya, iuran itu akan digunakan untuk kebutuhan nonformal seperti kegiatan Dharma Wanita, rekreasi, bingkisan hari raya, hingga pembelian seragam batik.
Permintaan penyisihan uang iuran kebersamaan yang disampaikan Mbak Ita kemudian disepakati para kepala bidang di Bapenda dan direalisasikan. Uang sebesar Rp 300 juta diserahkan langsung ke ruang kerja Mbak Ita pada akhir Desember 2022.
Kejadian serupa kembali terjadi pada triwulan berikutnya. Pada Maret dan April 2023, Mbak Ita kembali menandatangani SK insentif dengan imbalan Rp 300 juta dari dana 'iuran kebersamaan'.
"Januari 2024, Indriyasari yang menghadap untuk menyerahkan uang, namun Terdakwa I menyampaikan kalimat 'ngko sik' (nanti dulu) yang maksudnya ditunda dulu penyerahan uang kepada Terdakwa I dan Terdakwa II karena ada informasi KPK sedang mengadakan penyelidikan di Kota Semarang," paparnya.