Tiga pengusaha kontraktor yang tergabung dalam Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi Eks Wali Kota (Walkot) Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu dan suaminya, Alwin Basri. Para saksi mengaku diminta fee 13 persen untuk mendapat proyek penunjukan langsung (PL) di beberapa kecamatan.
Ketiga saksi yang hadir dalam sidang pemeriksaan saksi itu yakni Kabid Organisasi Gapensi Kota Semarang sekaligus pemilik PT Dwi Berkah Insan Mandiri, Gatot Sunarto; Bidang Pajak Gapensi Kota Semarang sekaligus Komisaris PT Hayuning Karya Bhagawadgita, Herning Kirono Sidi; serta Direktur PT Hayuning Karya Bhagawadgita, Agung Sugiyarto.
Kabid Organisasi Gapensi Kota Semarang, Gatot Sunarto mengakui adanya syarat fee 13 persen dari pengerjaan proyek penunjukan langsung di Pemkot Semarang, saat ia menjadi salah satu utusan dari Gapensi untuk mengerjakan proyek di beberapa kecamatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk mendapatkan paket proyek itu memang harus membayar fee 13 persen dari nilai kontrak," kata Gatot di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (5/5/2025).
Fee itu diminta oleh Martono yang merupakan Ketua Gapensi Semarang. Gatot menyebut, Martono hanya mengatakan imbalan 13 persen itu akan disetorkan ke atasannya.
Namun saat terus ditanyai majelis hakim, Gatot menyebut atasan Martono yang dimaksud yakni suami Mbak Ita alias Alwin Basri.
Gatot mengatakan, Alwin menyerahkan proyek penunjukan langsung di tingkat kecamatan kepada Martono, sehingga pembayaran 13 persen akan diserahkan kepada Alwin. Pengerjaan pun disampaikan telah selesai dan fee telah disetorkan.
"(Martono mengatakan) Yang berminat pengerjaan proyek harus ngasih fee untuk 'bos e'. Sepengetahuan saya bos (atasan) Martono, bapak Alwin Basri," ungkapnya.
Saksi lainnya, Herning Kirono Sidi, menambahkan, dirinya justru sempat menawar besaran fee dari 13 persen hingga 10 persen.
"Saya sempat nawar umumnya besaran fee sekitar 10 persen. Saya tidak meminta tapi ditawarin dan uang fee itu diserahkan ke stafnya Martono," terangnya.
Pengacara Mbak Ita, Agus Nurudin, menyangkal bahwa Alwin disebut sebagai bos dari Martono. Ia justru menyebut saksi mengarang.
"(Ada sebutan 'bos e' itu bagaimana?) Itu kan persepsi ngarang dekne (dia). Kalau persepsi, dalam pidana nggak ada unsur persepsi," jelasnya.
Ia juga menegaskan, berdasarkan keterangan para saksi, tak ada yang menyerahkan fee secara langsung kepada Alwin.
"Tiga-tiganya tidak pernah memberikan uang kepada Alwin, iya to? Apa yang dia lihat tadi, mengarahnya ke Gapensi semua," jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi dengan total Rp 2,24 miliar, yang juga diterima Martono. Uang itu merupakan pekerjaan proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang yang dilakukan melalui penunjukan langsung.
"Jumlah keseluruhan Rp 2,24 miliar dengan rincian Terdakwa I dan Terdakwa II menerima Rp 2 miliar dan Martono menerima Rp 245 juta," kata JPU dari KPK, Rio Vernika Putra di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Senin (21/4).
"(Uang Rp 2,24 miliar) dari Suwarno, Gatot Sunarto, Ade Bhakti, Hening Kirono, Siswoyo, Sapta Marnugroho, Eny Setyawati, Zulfigar, Ari Hidayat, dan Damsrin," imbuh dia.
Selain itu, Mbak Ita dan Alwin pun didakwa menerima suap dari proyek pengadaan barang dan jasa senilai Rp 3,75 serta didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri senilai Rp 3 miliar.
Total, Mbak Ita dan Alwin menerima uang suap dan gratifikasi dengan total kurang lebih Rp 9 miliar. Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
(afn/apl)