Eks Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita dan suaminya, Alwin Basri menjalani sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Mbak Ita keberatan karena saksi menyebut Alwin sebagai representasi dirinya.
Sidang pemeriksaan Mbak Ita dan Alwin digelar di Pengadilan Tipikor, Kecamatan Semarang Barat, hari ini. Tiga saksi yang merupakan camat dan mantan camat dihadirkan dalam sidang tersebut.
Salah satu saksi, mantan Camat Pedurungan sekaligus Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang, Eko Yuniarto, mengaku sempat bertemu dengan Alwin yang saat itu juga merupakan Ketua Komisi D DPRD Jateng, pada Oktober 2023.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Beliau (Alwin) meminta proyek pengadaan langsung di tingkat kecamatan," kata Eko di Pengadilan Tipikor, Senin (28/4/2025).
Proyek kecamatan itu, kata Eko, bukan merupakan proyek milik Kota Semarang dan bukan bantuan dari Provinsi Jateng. Namun, menurutnya apa yang disampaikan Alwin merupakan representasi Mbak Ita.
"(Kenapa harus Alwin?) Karena apa yang disampaikan oleh Pak Alwin adalah representasi dari wali kota. (Pemikiran saudara sendiri?) Siap," jelasnya.
"Beliau meminta kepada kami kegiatan proyek pengadaan langsung sebesar Rp 16 miliar totalnya," lanjutnya.
Salah satu JPU dari KPK, Wawan Yunarwanto, juga bertanya kepada Eko. Ia menanyakan apa yang dipahami Eko dan Suroto saat bertemu Alwin.
"Yang kami pahami itu tekanan kepada kami, karena itu perintah, kami harus melaksanakan. (Kenapa tidak menolak?) Karena langsung perintah Pak Alwin, (yang dianggap sebagai perintah Bu Ita?) Siap," jelasnya.
Begitu pula saksi yang hadir sebagai Camat Semarang Selatan pada periode Mbak Ita, Ronny Cahyo Nugroho. Saat ditanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, ia mengaku mendapat perintah tambahan dari Alwin untuk menyediakan tambahan hadiah lomba hingga pengadaan spanduk.
"(Tahun 2023 menyediakan tambahan hadiah lomba masak nasi goreng Mba Ita tingkat kecamatan Semarang Selatan sekitar Rp 5 juta, betul?) Betul. (Kemudian lomba voli antar kelurahan, Rp 10 juta?) Betul," jelasnya.
Kemudian sekitar bulan Juni, Ronny juga diminta membuat dan memasang sekitar 200 spanduk senilai Rp 10 juta yang bersumber dari iuran dirinya dan kepala dinas DPMPTSP.
Spanduk tersebut berisi gambar Bu Ita dengan tulisan, seperti 'Bersama Mbak Ita Kawal Pembangunan Kota Semarang', 'Mbak Ita Nyata dan Teruji', 'Mbak Ita Pemimpin Perempuan Pembela Rakyat'.
Saat ditanya JPU mengapa ia menyanggupi permintaan Alwin, Ronny mengaku menganggap perintah Alwin juga merupakan perintah istrinya, yakni Mbak Ita.
"Karena kalau yang diberikan oleh Bapak Alwin selaku suami Bu Ita tentunya, kami anggap sebagai representasi dari Wali Kota," ujarnya.
Dalam sidang tersebut, Mbak Ita berkesempatan menyampaikan pertanyaan dan tanggapan. Ia mengatakan, saksi terus mengira Alwin sebagai representasi dirinya.
"Saudara saksi selalu berpikiran saya ini representasi dari terdakwa dua (Alwin). Ada contoh tidak saya dikaitkan dengan terdakwa dua? Yang pertama itu," ujarnya.
"Yang kedua, saudara seharusnya tahu pada saat saya bicara di dalam dan rapat-rapat dengan camat, apa yang mesti saya sampaikan? Kalau seperti itu, apakah saudara yakin saya punya sebagai representasi?," lanjutnya.
Menanggapi dua pertanyaan dari Mbak Ita, Ronny tetap bersikukuh menganggap perintah Alwin sebagai perintah dari Mbak Ita, mengingat status Alwin yakni suami Mbak Ita.
"Mohon izin. Jadi, karena status Pak Alwin sebagai suami Ibu Ita, otomatis kami memandang beliau juga sebagai representasi atas Bu Ita. Sehingga apa yang disampaikan oleh beliau, tentunya bagi kami perintah yang harus kami laksanakan," ucapnya.
Menurut Mbak Ita, Ronny harus mengonfirmasi apa yang diperintahkan Alwin kepada dirinya. Selama ini, Ronny mengaku tak melakukan konfirmasi kepada Mbak Ita.
"Kalau tidak konfirmasi kenapa yakin? Karena suami istri itu kan semuanya bisa berbeda," ujar Mbak Ita.
Sebelumnya diberitakan, Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi dengan total Rp 2,24 miliar, yang juga diterima Martono. Uang itu merupakan pekerjaan proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang yang dilakukan melalui penunjukan langsung.
"Jumlah keseluruhan Rp 2,24 miliar dengan rincian Terdakwa I dan Terdakwa II menerima Rp 2 miliar dan Martono menerima Rp 245 juta," kata JPU dari KPK, Rio Vernika Putra di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Senin (21/4).
"(Uang Rp 2,24 miliar) dari Suwarno, Gatot Sunarto, Ade Bhakti, Hening Kirono, Siswoyo, Sapta Marnugroho, Eny Setyawati, Zulfigar, Ari Hidayat, dan Damsrin," imbuh JPU.
Selain itu, Mbak Ita dan Alwin pun didakwa menerima suap dari proyek pengadaan barang dan jasa senilai Rp 3,75 miliar serta didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri senilai Rp 3 miliar.
Mbak Ita dan Alwin menerima uang suap dan gratifikasi dengan total kurang lebih Rp 9 miliar. Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
(apl/dil)