Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita dan suaminya, Alwin Basri didakwa menerima suap Rp 3,75 miliar terkait proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Semarang. Uang itu diduga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk biaya pelantikan Mbak Ita sebagai Wali Kota.
Dalam sidang pembacaan dakwaan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rio Vernika Putra membeberkan bahwa penerimaan suap berasal dari Direktur PT Chimader777 sekaligus Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi (Gapensi) Kota Semarang, Martono dan Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa, Rachmat Utama Djangkar.
"Penerimaan uang sebesar Rp 2 miliar dari Martono," kata Rio dalam sidang, Senin (21/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikatakan, pada Desember 2022, Alwin bertemu Martono yang meminta untuk diberikan pekerjaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Semarang. Alwin sebagai representasi Mbak Ita pun meneruskan kepada masing-masing Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan kembali bertemu Martono beberapa hari kemudian di rumah Mbak Ita dan Alwin.
"Terdakwa II (Alwin) menyampaikan, total proyek pengadaan barang/jasa di Pemkot Semarang tahun anggaran 2024 yang dapat diikuti Martono sejumlah Rp 500 miliar dan meminta komitmen fee Rp 10-15 miliar atau sekitar 15 persen," jelas Rio.
Alwin kemudian juga meminta Rp 1 miliar dari Martono yang merupakan bagian dari komitmen fee. Uang itu digunakan Mbak Ita dan Alwin untuk membiayai persiapan pelantikan Walkot Semarang.
"Terdakwa II meminta uang yang menjadi bagian dari komitmen fee pengadaan barang/jasa kepada Martono sebesar Rp 1 miliar untuk persiapan pelantikan Terdakwa I (Mbak Ita) sebagai Wali Kota Semarang," ungkapnya.
Uang sebesar Rp 1 miliar itu kemudian diberikan Martono pada Desember 2022. Saat itu, Alwin kembali meminta uang tambahan Rp 1 miliar untuk pelantikan Mbak Ita dan diberikan Januari 2023.
"Sebagai realisasi penerimaan uang dari Martono, Januari 2023, di rumah Terdakwa I dan II, Terdakwa II bertemu Junaidi dan Martono. Terdakwa II meminta Junaidi agar memberi paket pekerjaan di Semarang kepada Martono," terangnya.
"Maret 2023, Terdakwa II kembaki bertemu Junaidi dan Martoni. Terdakwa II kembali meminta agar Junaidi memenangkan perusahaan yang terafiliasi dengan Martono untuk proyek yang nilainya di atas Rp 2 miliar," lanjut dia.
Proyek Mebel Dinas Pendidikan
Selain dari Martono, uang suap juga datang dari PT Deka Sari Perkasa. Perusahaan ini dimenangkan dalam proyek pengadaan meja dan kursi SD di Dinas Pendidikan Kota Semarang senilai Rp 20 miliar. Rio mengungkap, Alwin sempat meminta komitmen fee sebesar 10 persen dari nilai proyek kepada Rachmat.
"Terdakwa II meminta sejumlah uang sebagai komitmen fee kepada Rachmat. Atas permintaan Terdakwa II, Rachmat menyetujuinya dan akan menyiapkan fee sebesar 10 persen," jelasnya.
Permintaan fee itu dikomunikasikan sejak proses pengondisian anggaran, pengaturan spesifikasi teknis, hingga penunjukan langsung penyedia.
Rachmat akhirnya menyerahkan uang suap sebesar Rp 1,75 miliar secara bertahap kepada Alwin, yang disebut bertindak atas sepengetahuan dan seizin Mbak Ita. Jaksa menilai, pengadaan ini sarat dengan intervensi dari pucuk pimpinan Pemkot Semarang, tidak lagi berdasarkan pertimbangan teknis, melainkan karena adanya transaksi politik dan ekonomi.
"Setelah Terdakwa II mengetahui uang tersebut (Rp 1,75 miliar) sudah siap diserahkan, Terdakwa II meminta agar Rachmat menyimpan uang tersebut terlebih dahulu dan diambil sewaktu-waktu," jelasnya.
Dalam dakwaan, Mbak Ita dan Alwin menerima uang suap dan gratifikasi dari sumber lain dengan total kurang lebih Rp 8,7 miliar. Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
(rih/ahr)