Pria disabilitas tanpa dua tangan berinisial IWAS alias A, jadi tersangka kasus dugaan pemerkosaan mahasiswi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Bagaimana A yang tak memiliki tangan itu bisa melakukan pemerkosaan?
Kuasa hukum korban, Andre Safutra, mengungkapkan awal mula kasus dugaan pemerkosaan itu. Kasus bermula saat korban dan A bertemu secara tak sengaja di Taman Udayana, Mataram, Senin (7/10) pagi.
A kemudian mengajak korban berkenalan. Saat itu, keduanya sempat mengobrol hingga tiba-tiba korban menangis saat melihat sejoli berciuman di taman itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Korban ternyata memiliki trauma masa lalu dengan mantan kekasihnya. Saat itulah A kemudian mengorek pengakuan korban.
"Pelaku lalu menanyakan 'kamu menangis karena ada masa lalu dengan mantan kekasihmu'. Di sana pelaku lalu memojokkan korban dengan mengulik masa lalu korban dengan tebakan-tebakan pelaku," ujar Andre Minggu (1/12/2024) dilansir detikBali.
Bermodalkan pengakuan korban dan trauma masa lalunya, A mulai melancarkan muslihatnya. Dia mengancam dan memanipulasi korban hingga mau menuruti keinginannya.
"A berkata, 'Karena kamu sudah terikat dengan saya, kamu tidak bisa kemana-mana'. Dengan hal itu korban takut. 'Kamu harus mandi wajib, harus disucikan'," kata Andre melanjutkan.
Ancaman, intimidasi, dan manipulasi itu membuat korban terpojok. Menurut Andre, korban saat itu kalut karena terus diancam.
A lantas mengajak korban ke salah satu homestay dengan alasan ritual mandi suci bisa segera dilakukan. "Korban awalnya menolak. Setelah itu dia berupaya mengajak korban ikut dengan pelaku ke homestay. Pelaku terus mengancam di sana," tutur Andre.
A kemudian melancarkan aksinya di sana. Dia memaksa membuka celana menggunakan kaki.
"Korban lalu ditindih oleh pelaku lalu memerkosa korban. Korban sambil membaca Ayat Kursi dan pelaku membaca mantra-mantra dari bahasa Bali," ungkap Andre.
Korban kemudian melapor polisi hingga kasus ini bergulir. A ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti dan keterangan sejumlah saksi.
Keterangan Polisi
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Kombes Syarif Hidayat menjelaskan alasan polisi menetapkan A sebagai tersangka.
"Jadi berdasarkan fakta-fakta yang telah didapatkan dari proses penyidikan bahwa IWAS merupakan penyandang disabilitas secara fisik (tidak mempunyai kedua tangan). Tapi tidak ada hambatan untuk melakukan pelecehan seksual fisik terhadap korban," beber Syarif, Sabtu (30/11).
Syarif mengungkapkan modus tersangka melakukan pemerkosaan dengan dengan menggunakan kekuatan kedua kakinya.
Dia menegaskan berdasarkan alat bukti dan keterangan lima saksi dari teman korban, penjaga homestay, saksi korban, terungkap pelaku melakukan pemerkosaan dengan tipu daya.
"Kami juga ambil keterangan saksi yang hampir mengalami peristiwa pidana yang dilakukan oleh tersangka. Inti daripada keterangan saksi-saksi mendukung hasil laporan korban," ujar Syarif.
Menurut Syarif, hasil visum terhadap korban juga menunjukkan adanya tindak kekerasan seksual. Demikian pula dari hasil pemeriksaan psikologi korban.
"Korban mengalami syok atau ketakutan yang timbul, yang mengira adanya kerja sama antara pelaku dengan penjaga homestay sehingga terpaksa menuruti kemauan pelaku," ujarnya.
Bantahan Keluarga A
A melalui ibundanya, GAA, membantah semua tudingan itu. Dengan kondisi IWAS yang tanpa dua tangannya itu, menurut GAA, seharusnya anaknya yang jadi korban.
"Anak saya dibonceng oleh wanita itu ke homestay, dibuka bajunya dan celananya. Malah kebalik, harusnya dia (A) yang diperkosa, jadi korban," ujar GAA kepada detikBali, Minggu (1/12).
Menurut GAA, awalnya mahasiswi tersebut menjemput A dan meminta agar ditemani ke kampus. Namun A justru dibawa ke homestay di Mataram.
"Dari mana unsur pemerkosaannya? Anak saya tidak punya tangan," imbuhnya.
(aku/apu)