Pakar Sebut Ada 2 Peristiwa Main Hakim di Kasus Tewasnya Bos Rental di Pati

Pakar Sebut Ada 2 Peristiwa Main Hakim di Kasus Tewasnya Bos Rental di Pati

Dian Utoro Aji - detikJateng
Selasa, 11 Jun 2024 18:33 WIB
Ilustrasi pengeroyokan sejoli usai nobar
Ilustrasi bos rental mobil tewas dimassa di Pati (Foto: Dok.Detikcom)
Pati -

Polisi menetapkan empat tersangka kasus pengeroyokan rombongan bos rental asal Jakarta karena dikira maling di Desa Sumbersoko Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Pakar hukum melihat ada dua peristiwa main hakim sendiri dalam kasus tersebut.

Saat ini polisi telah menetapkan empat tersangka penganiayaan yakni EN (51), BC (37), AG (35), dan M (37). Akibat kejadian itu korban BH meninggal dunia, sedangkan tiga temannya babak belur dan dirawat di rumah sakit.

Korban BH dan temannya dihajar massa karena dikira maling. Musababnya, bos rental itu langsung mengambil mobil rental yang hilang dan terlacak di Sukolilo dengan kunci cadangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dekan Fakultas Hukum Universitas Safin Pati, Abu Mahmud, S.H., M.H. menjelaskan tindakan main hakim sendiri atau eigenrichting bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence.

"Jadi seseorang tidak boleh dihukumi bersalah atau tidaknya tanpa melalui suatu proses hukum, sebab ada kemungkinan seseorang tidak bersalah tetapi menjadi korban tindakan main hakim sendiri. Masyarakat tidak boleh terprovokasi pada situasi-situasi tertentu di mana eksistensi hukum diperlukan," jelas Abu dalam keterangan tertulis diterima detikJateng, Selasa (11/6/2024).

Abu lalu menyinggung soal hukum sebagai instrumen pengendali sosial. Menurutnya, tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan jangan sampai dianggap hal yang wajar.

"Indonesia adalah sebuah negara hukum. Tentu tindakan main hakim sendiri tidak memiliki satu pun alasan pembenar dari sisi normatif," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Tindakan main hakim kedua yakni saat rombongan bos rental yang langsung mengambil mobil tanpa mengajak aparat setempat. Menurutnya, hal ini juga salah.

"Ya seharusnya kalau mau eksekusi unit memang harus melibatkan kepolisian, karena yang berhak untuk hal semacam itu adalah TNI Polri yang memiliki kewenangan sebagai aparat negara. Jadi harus melibatkan TNI Polri untuk eksekusi unit, sehingga tidak terjadi persoalan," jelasnya.

Abu juga menyebutkan beberapa faktor pemicu main hakim sendiri. Mulai dari kesadaran hukum masyarakat yang dinilai kurang, resah karena kasus yang tidak pernah terungkap hingga lemahnya penegakan hukum.

"Ketidakpercayaan terhadap aparat hukum memicu tindakan warga untuk main hakim sendiri," ujarnya.

"Semua stakeholder harus dilibatkan dalam menjaga Kamtibmas di suatu wilayah. Bagaimana antara Babinkamtibmas dan Babinsa menjadi garda terdepan di masyarakat," sambung Abu.

Aksi Bakar Mobil Dinilai Bentuk Kekesalan Warga

Sementara itu, Abu menilai pembakaran mobil rombongan bos rental merupakan bentuk kekesalan warga. Terlebih ada kesalahpahaman yang tidak tersampaikan soal mobil yang diambil bos rental itu.

"Itu bahasa kekesalan warga terhadap hal semacam itu, setidaknya kembali lagi ke konsep kemasyarakatan, ketika hubungan antarmanusia kurang bagus, harapan berbuat seperti itu, kejadian itu (pembakaran mobil dibawa rombongan rental) dari sebuah kekesalan sehingga terjadi pembakaran mobil," terang dia.

Hal senada disampaikan, akademisi dari Universitas Safin Pati, Dr. Ahmad Rifai, S.H., M.H. Dia menyebut aksi main hakim sendiri di Sukolilo tidak bisa dibenarkan dan tidak mencerminkan keadilan yang beradab.

"Terkait pengeroyokan dan pembunuhan itu tindakan yang tidak dibenarkan secara hukum. Karena negara kita merupakan negara hukum, sehingga kita tidak dibenarkan main hakim sendiri," kata Rifai.

Rifai lalu bicara soal pasal 170 KUHP yang digunakan menjerat para tersangka. Menurutnya, ancaman pidana dari pasal ini hukuman bui paling lama 12 tahun.

"Kemudian, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasannya mengakibatkan luka-luka, pelakunya diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun. Lalu, jika mengakibatkan luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Namun, apabila kekerasan mengakibatkan kematian, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun," jelas Rifai.




(ams/apl)


Hide Ads