Salah satu orang tua korban, Sari Yuniarti mengatakan, sikap terdakwa yang memilih pikir-pikir itu terlambat. Dia mempertanyakan, mengapa terdakwa yang sudah dipercaya para orang tua tidak memikirkan terlebih dahulu sebelum melakukan perbuatan bejatnya.
"Kenapa dia tidak pikir-pikirnya dulu saat mau melakukan (pencabulan). Ini anak-anak lho, kita bayar lho, kita percaya dia lho. Waktu awal anak lapor ke kita, saya sempat nggak percaya, sampai anak saya sumpah-sumpah. Saat saya membuka kasus ini, dipikir (orangtua korban lain) saya fitnah," kata Sari saat ditemui di PN Solo, Rabu (13/9/2023).
Sari menambahkan vonis itu belum memenuhi rasa kepuasannya terhadap terdakwa. Sebab, trauma yang dialami korban dan keluarga korban tidak mudah hilang, sehingga dia belum bisa mengatakan vonis itu memenuhi hasrat keadilannya.
"Dia enak melakukan (pencabulan) itu, cuma 14 tahun. Ra keroso lah. Tapi saya harus mengawasi anak saya seumur hidup, karena saya takut anak saya yang gantian jadi pedofilia," ucapnya.
Sementara itu, kuasa hukum korban Sigit N Sudibyanto mengatakan, pihaknya pada prinsipnya mengapresiasi putusan majelis hakim. Putusan tingkat pertama ini akan dia teruskan ke pengurus Taekwondo, agar terdakwa tidak bisa melatih lagi.
Selain itu, dia berencana membuka opsi perbuatan pelaku yang dilakukan di kota lain. Sebab, dari kesaksian korban, dia hanya bisa melaporkan aksi pencabulan terdakwa di Kota Solo.
"Kami akan mensosialisasikan putusan ini. Setelah selesai menjalani hukuman akan kita pantau, apakah pelaku sudah sadar, atau akan ada babak baru," kata Sigit.
Untuk saat ini, pihaknya akan fokus untuk membantu pemulihan psikologi para korban. Saat ini, proses trauma healing itu didampingi oleh UPT PTPAS Kota Solo. Korban disediakan dokter psikiater anak, dan dilakukan tes rutin.
"Konsen kita memulihkan psikologis korban, kita akan melakukan recovery," pungkasnya.
sikap terdakwa yang memutuskan pikir-pikir saat dijatuhi vonis 14 tahun dan denda Rp 100 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Solo.
(apl/aku)