Kasus istri memotong kemaluan suami di Solo masih bergulir di persidangan. Pengajuan restitusi atau ganti rugi Rp 550 juta oleh korban IPN (20) terhadap terdakwa YC (34) dikembalikan oleh majelis hakim.
Sidang di Pengadilan Negeri (PN) Solo kali ini agenda mendengarkan keterangan saksi. Sidang dihadiri terdakwa YC dan korban IPN. Namun IPN tak masuk ke dalam ruang sidang.
Dalam persidangan itu, restitusi yang diajukan pihak korban perlu dikonsultasikan dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk diketahui, IPN menuntut istrinya YC agar membayar ganti rugi sebesar Rp 550 juta. Uang tersebut rencananya akan dipakai korban untuk berobat ke luar negeri.
Kuasa hukum korban, Aji Mastoto mengatakan dia baru menjadi kuasa hukum IPN setelah sidang pertama. Selanjutnya dia baru membuat restitusi karena korban mengalami cacat seumur hidup sehingga mengalami kerugian yang cukup banyak.
"Ketika putusan sudah selesai, nanti (surat untuk) LPSK akan saya kirim. Karena (batas) waktunya 6 bulan, tidak 3 bulan," kata Mastoto kepada awak media usai sidang, Senin (21/8/2023).
Pihaknya juga akan menempuh jalur perdata. "Langkah hukum perdata akan dilakukan," ujarnya.
Sementara itu terdakwa YC meminta keringanan dalam kasus ini. Kuasa hukum terdakwa, Asri Purwanti mengatakan ada sejumlah tekanan setelah terdakwa menikahi korban.
"Ada rasa kecewa dari klien kami, tapi tidak masalah, asal tidak dicerai. Yang penting bisa hidup bersama. Setelah bertemu orang tuanya (korban), harapannya itu bisa hidup bersama, usaha bareng. Dilalah pulang pertama (ke Bali) karena terdakwa ditelepon di-WA (ditagih), kembali ke sana menyelesaikan utang," kata Asri di PN Solo.
Setelah dari Bali, terdakwa kembali ke Solo untuk menemui suaminya. Namun terdakwa ditalak hingga terjadi kasus pemotongan alat kemaluan itu.
Asri berharap, JPU memberikan keringanan terhadap terdakwa karena menjadi tulang punggung, dan tekanan yang dihadapi.
"JPU saya harap ada welas asih, bahwa terdakwa seorang perempuan memiliki anak dua, sebagai tulang punggung. Memang salah, tapi perlu ada keringanan. Apalagi terdakwa mau merawat korban kalau dimaafkan, dan mau membuat kesepakatan damai kalau diringankan," ujarnya.
Sementara itu terkait utang usai menikah, kuasa hukum korban, Mastoto membenarkan hal itu. Total mereka masih memiliki utang sekira Rp 15 juta kepada sejumlah vendor pernikahan.
"Utang piutang itu yang ngeragati (biayai) keluarga korban semua. Namun demikian korban bertanggung jawab melunasi itu, tapi sampai sekarang memang belum terbayar. Menurut terdakwa membayari, itu nggak benar," ujar Mastoto.
(rih/apl)