Komnas HAM menyampaikan sederet laporan soal kasus mutilasi warga Papua yang melibatkan prajurit TNI di Kampung Pigapu, Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Papua. Sebanyak 10 pelaku terlibat dalam kasus mutilasi ini.
10 Pelaku: 6 Prajurit TNI dan 1 Warga Sipil Masih Buron
Dilansir detikNews, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, enam pelaku di antaranya merupakan prajurit TNI. Sementara itu empat orang lainnya warga sipil, satu di antaranya masih berstatus buron.
"Enam orang pelaku anggota TNI dan tiga orang pelaku sipil, jadi kan ada 10 ya. Enam anggota TNI dan tiga warga sipil. Satunya, Saudara Roy, masih DPO sampai saat ini," ujar Beka, saat jumpa pers, Selasa (20/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelaku Buron Bukan Pelaku Utama
Seorang yang masih buron bernama Roy Marthen Howai. Polisi diminta untuk segera menangkapnya. Menurut hasil rekonstruksi kasus mutilasi, Roy bukan aktor utama kasus tersebut.
"Jadi banyak pembicaraan yang masyarakat menangkapnya salah satu berbagai keterangan itu macet di Roy Marthen Howai, kok kesannya dia dijadikan pelaku utama. Jadi Roy bukan pelaku utama, dia pelaku saja. Dan penting polisi untuk segera menangkap Roy biar terangnya peristiwa ini semakin lama semakin terang," ucap Komisioner Komnas HAM Choirul Anam.
Korban Mutilasi Diduga Disiksa dan Martabat Direndahkan
Komnas HAM menduga ada tindakan penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan merendahkan martabat manusia dalam kasus pembunuhan itu.
"Ini yang penting menjadi highlight dari Komnas adalah informasi dugaan penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan merendahkan martabat manusia sampai hilangnya nyawa. Jadi ada dugaan penyiksaan, kekerasan, dan juga perlakuan lain yang merendahkan harkat dan martabat manusia," kata Beka.
Komnas HAM meminta keterangan para penyidik dari polisi, penyidik TNI, hingga keluarga korban. Sejumlah pelaku yang telah dibekuk juga dimintai keterangan.
"Terus kemudian enam orang pelaku anggota TNI dan tiga orang pelaku sipil, jadi kan ada 10 ya. Enam anggota TNI dan tiga warga sipil. Satunya, Saudara Roy, masih DPO sampai saat ini," ujar Beka.
Sisa Karung untuk Potongan Tubuh Korban
Komnas HAM Kantor Perwakilan Papua telah meninjau lokasi pembunuhan dan mutilasi di Mimika, Papua. Lokasi itu adalah tempat pembunuhan dan tempat potongan jenazah dibuang.
"Peninjauan lokasi, jadi kami langsung meninjau lokasi pembunuhan yang terletak di lahan kosong di Sp1 Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika, Papua. Malam hari memang lokasinya sepi dan tidak ada penerangan lampu. Kemudian juga meninjau langsung lokasi mutilasi," jelas Beka.
Lokasi mutilasi terletak di jalan yang sudah lama tidak digunakan warga. Di lokasi tersebut, Komnas HAM menemukan sisa potongan karung yang digunakan untuk memasukkan potongan tubuh korban sebelum dibuang.
"Proses mutilasi dilakukan di Jalan Lama Lopon yang sudah lama tidak digunakan oleh masyarakat. Lokasi masih ditemukan sisa potongan karung yang digunakan untuk memasukkan bagian tubuh jenazah korban, tetapi sudah tidak ada lagi ditemukan bekas darah di lokasi," tutur dia.
Simak lebih lengkapnya di bawah ini...
Pelaku Mutilasi di Papua Berekspresi Datar
Choirul Anam menyebut para pelaku menunjukkan ekspresi wajah datar. Anam mengatakan ekspresi wajah datar itu diperlihatkan oleh semua pelaku baik itu pelaku dari anggota TNI maupun pelaku dari warga sipil.
"Yang paling menakutkan adalah ketika kita memeriksa pelakunya, 'kenapa kalian melakukan mutilasi dan sebagainya?' Mimiknya itu lho, datar begitu," kata Anam.
Para pelaku dinilai tak langsung menyesali perbuatannya. Dia menuturkan penyidik harus bertanya berulang sebelum akhirnya para pelaku mengaku bersalah.
"Iya harus ditanya berkali-kali baru ngomong menyesal. Itu yang paling menakutkan," imbuhnya.
Diduga Ada Upaya Obstruction of Justice
Komnas HAM mengungkap adanya upaya penghilangan barang bukti atau merintangi penyidikan (obstruction of justice) oleh para terduga pelaku mutilasi di Mimika, Papua.
"Komunikasi antarpelaku setelah peristiwa dan juga adanya berbagai upaya obstruction of justice. Jadi ini ada upaya obstruction of justice untuk menghilangkan barang bukti," kata Beka.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyebut upaya obstruction of justice dilakukan para pelaku dengan menghapus jejak komunikasi di ponsel. Jejak komunikasi itu dihapus usai mutilasi terjadi.
"Kalau obstruction of justice itu kan biasanya terjadi setelah peristiwa ya kan, terus untuk menutupi peristiwa bukan bagian dari peristiwa itu sendiri. Nah, mutilasi itu bagian dari peristiwanya itu sendiri. Kalau menghapus komunikasi itu kan setelah peristiwa setelah ini naik terus ada penghapusan komunikasi itu," tutur Anam.
Simak Video "Video: Respons Menteri Pigai soal Usulan Lembaga HAM Jadi Satu Kamar"
[Gambas:Video 20detik]
(sip/sip)