Di Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Klaten terdapat peninggalan bersejarah peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta berupa Pesanggrahan Tegalgondo. Namun sayangnya, saat ini kondisi pesanggrahan itu semakin merana dimakan usia.
Kompleks Pesanggrahan Tegalgondo berada di tepi Jalan Jogja-Solo, persisnya di seberang jalan Pasar Tegalgondo. Dua bekas tembok gapuranya yang tinggi tanpa cat masih bisa dilihat pengguna jalan.
Dari gapura ke arah barat, ke arah tembok pesanggrahan dihubungkan jalan lurus selebar sekitar 7 meter yang di kanan kiri didirikan ruko dan permukiman. Halaman pesanggaran kini digunakan untuk SD, TK bahkan kantor desa.
Meskipun sudah dimanfaatkan untuk bangunan lain, sisa tembok benteng pesanggrahan masih berdiri. Tembok setinggi sekitar 3-4 meter ditemukan berkeliling di selatan, Utara dan barat kantor desa.
Tembok pesanggrahan di bagian selatan terhubung dengan kantor desa dan di utara dengan gedung TK. Plesteran benteng yang menghadap ke timur itu di beberapa bagian sudah mengelupas.
Bentuk benteng pesanggrahan sama persis dengan bangunan tembok keraton Surakarta saat ini. Hanya saja ketinggian dan ketebalan lebih kecil ukurannya.
Gerbang selatan dan utara masih berdiri meskipun tinggal tembok terbuka tanpa daun pintu dan tembok di atasnya sudah hilang. Kayu kusen pintunya ada yang masih utuh menempel tapi ada yang sudah copot.
Di sisi utara benteng, temboknya jebol sepanjang sekitar 6 meter konon pernah digunakan untuk pintu masuk truk pengangkut gabah. Di sisi barat, pintu gerbangnya relatif masih utuh.
Gerbang barat meskipun sudah tidak ada kusen dan daun pintunya, tembok di bagian atas masih kokoh. Pada tembok masih terlihat hiasan berelief tumbuhan dan fabel berbagai jenis binatang.
Di dalam benteng pesanggrahan itu tidak ada lagi bangunan berdiri. Pada lahan seluas sekitar 4.000 meter persegi itu sudah berubah menjadi kebun warga dengan berbagai tanaman sayur dan buah.
Sisa pondasi pesanggrahan dengan batu bata besar masih ada di sisi timur di belakang kantor desa. Secuil tembok bangunan pokok pesanggrahan setinggi sekitar 4 meter masih berdiri.
Di tengah lahan perkebunan, terdapat dua patung binatang sejenis harimau atau lion masih utuh. Hanya plesterannya yang terlihat kusam.
"Ya namanya bangunan tua, ini pesanggrahan keraton. Dibangun sekitar tạhun 1834-1838 di masa Sinuhun Paku Buwana VII,'' ungkap Ngbehi Triyono (65) seorang abdi dalem keraton yang sedang membersihkan lokasi kepada detikJateng, Sabtu (1/11/2025) siang.
Triyono menceritakan dari penuturan sesepuh turun temurun, bentuk pesanggrahan sama dengan keraton Surakarta. Di bagian depan ada beringin kembar, alun - alun kecil dan lainnya.
"Ya kayak Keraton Solo, ada pohon beringin, gapura, alun-alun, rumah-rumah dan lainnya. Ya miniatur Keraton Solo, kolam, taman disana (barat) tapi sudah rusak," tutur Triyono.
Menurut Triyono, rusaknya bangunan-bangunan pesanggrahan konon karena pernah digunakan markas pasukan Belanda sehingga tidak terawat. Sejak itu tidak digunakan.
"Setelah itu tidak digunakan lagi, pernah untuk tobong kesenian, pernah digunakan untuk penggilingan padi juga. Tembok itu (Utara) dijebol untuk penggilingan padi," terang Triyono.
Dalam perkembangannya, sambung Triyono, digunakan untuk kantor desa dan sekolah. Lahan dalam benteng pesanggrahan dikelola pemerintah desa untuk dimanfaatkan masyarakat.
"Dimanfaatkan masyarakat, ditanami buah, sayuran pokoknya untuk masyarakat. Ini (lahan) sudah diserahkan ke desa," jelas Triyono.
"Dulu sebelum Covid (pandemi) mau direhab temboknya tapi tidak jadi. Sampai sekarang begini," imbuhnya.
Menjamu Tamu
Pegiat sejarah Klaten, Hari Wahyudi menjelaskan pesanggrahan itu salah satu dari 4 pesanggrahan yang dibangun keraton. Lainnya ada di Boyolali, Karanganyar dan Wonogiri.
"Ada di laporan Belanda tahun 1938, di Jawa Tengah ada 42 pesanggrahan, di Surakarta ada 4 pesanggrahan. Di Klaten, Wonogiri, Boyolali dan Karanganyar," terang Hari.
Menurut Hari, fungsi pesanggrahan tidak hanya untuk persinggahan petinggi kerajaan tapi juga semacam hotel untuk menampung tamu kerajaan. Termasuk tamu dari orang Belanda.
"Jadi sebagai pengganti hotel, fungsinya untuk menampung tamu orang Eropa. Biasanya di situ ada penjaga diangkat dan digaji keraton," katanya.
"Sampai tahun 1938 pesanggrahan Tegalgondo masih digunakan," sebut Hari.
Baca juga: Raja Solo PB XIII Dimakamkan Rabu |
Terpisah, Analis Cagar Budaya dan Koleksi Museum Dinas Kebudayaan Pemuda Olahraga dan Pariwisata Pemkab Klaten, Wiyan Ari Tanjung menyatakan eks pesanggrahan keraton Surakarta itu sudah masuk data cagar budaya. Hanya belum pernah ada rencana rehab.
"Sudah masuk di data bangunan cagar budaya tapi rencana rehab belum ada," jelasnya kepada detikJateng.
Simak Video "Video: Memanasnya Konflik di Keraton Solo, Kini Gara-gara Kunci Museum"
(ahr/ahr)