Masjid Baiturohman atau dikenal Masjid Tiban di Desa Jambu Kidul, Kecamatan Ceper, merupakan salah satu masjid tua yang tersisa di Klaten. Masjid itu menyimpan kisah Watu Toleh dan pohon asam raksasa di dekatnya.
Siang menjelang zuhur, detikJateng mendatangi masjid di tengah permukiman padat itu. Sinar terik matahari yang tegak lurus di atas kepala tak terasa karena hembusan angin dingin dari arah pohon asam Jawa ukuran besar di seberang jalan selatan masjid.
Ukuran pohon asam Jawa tersebut tak biasa karena diameter batang bawahnya saja lebih dari 1 meter dengan ketinggian sekitar 15 meter. Kulit pohon yang menyerupai keriput, membungkus sedikit kayu batang yang tersisa karena dimakan usia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saking tuanya pohon, batang tengahnya berlubang, sehingga membentuk ruangan yang bisa untuk bersembunyi tiga orang dewasa. Meski begitu, pohon itu tampak subur dan berdaun lebat dengan buahnya yang menjuntai kecokelatan.
Selain pohon asam Jawa, di samping mihrab masjid terdapat satu ruangan ukuran sekitar 1x1 meter dengan teralis besi. Di dalamnya terdapat dua lempeng batu andesit yang diletakkan di lantainya.
Batu yang besar ukurannya sekitar 50x80 sentimeter dan yang kecil 20x80 sentimeter. Pada batu tersebut tidak ditemukan ornamen atau guratan takik sebagaimana batuan luar bangunan candi.
Batu tersebut lebih menyerupai altar atau meja dengan ketebalan sekitar 8- 10 sentimeter. Batu tersebut disebut warga secara turun-temurun dengan sebutan Watu Toleh atau Watu Soleh.
Bangunan Masjid Baiturohman ini sudah dirombak dengan bangunan model baru. Di bagian dindingnya ada papan bertulisan masjid dibangun pada tahun 1811.
"Tahun 1811 itu hanya perkiraan sesepuh, kemungkinan lebih tua lagi, masjid dibangun seusia berdirinya desa. Ya mungkin di masa para wali, para sunan-sunan," ungkap warga setempat, Marsudi (85) kepada detikJateng dengan bahasa Jawa campuran, Kamis (31/7/2025).
Diceritakan Marsudi, tidak ada yang tahu pasti masjid dan umur pohon asam itu. Namun usia pohon asam dan masjid itu diyakini warga sudah ratusan tahun.
"Ya ratusan tahun usianya jelas. Dulu itu pohon asam untuk tambatan kuda. Kalau batu itu (di samping masjid) namanya Mbah Toleh, itu dulu di tengah jalan jumlahnya 5 tapi dibawa orang 3 buah," kata Marsudi yang tinggal di sisi selatan masjid ini.
Terpisah, warga lainnya, Kanti (90), mengatakan sejak dia kecil pohon asam itu sudah besar. Bahkan tengah pohon yang bolong bisa digunakan sembunyi orang.
"Dulu untuk main sembunyi anak-anak kecil zaman saya. Sekarang pun bisa kalau mau masuk," kata Kanti kepada detikJateng.
Hal yang sama disampaikan Mardilan (65). Dia menyebut sejak dulu pohon asam itu sudah sebesar saat ini dan saat dirinya kecil rongganya untuk bersembunyi.
"Masjid dulu tidak begini, pintunya pendek, ini bangunan baru, sudah direhab. Kalau batu itu disebut Mbah Toleh atau Mbah Soleh, batunya tinggal dua, dulu ada yang dibawa petugas purbakala," Mardilan.
Pegiat sejarah Klaten, Hari Wahyudi, menyatakan masjid di Jrebeng itu sudah tergambar di peta topografi Belanda tahun 1930. Sedangkan, batunya diduga batu sisa candi entah dari mana asalnya.
"Masyarakat sekitar bagus masih mau merawat meskipun cuma batu, batu andesit. Ditaruh di ruang sehingga tidak kena panas dan hujan," katanya kepada detikJateng.
(ams/apu)