Acara Grebeg Getuk dalam rangkaian Hari Jadi ke-1119 Kota Magelang berlangsung seru. Warga antusias berebut gunungan getuk dan 17 gunungan palawija. Acara kali ini juga dimeriahkan sendratari kolosal yang melibatkan 260 penari.
Grebeg Getuk merupakan acara tahunan sejak 2006. Acara ini untuk memperingati Hari Jadi Kota Magelang. Prosesi Grebeg Getuk diawali dari tanah perdikan Mantyasih menuju PDAM Kota Magelang.
Selanjutnya dari PDAM dilangsungkan arak-arakan menuju Alun-Alun Kota Magelang. Dalam arak-arakan ini ada pasukan bergada dari 17 kelurahan yang membawa 17 gunungan palawija.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Acara di Alun-alun Kota Magelang ini dihadiri Wali Kota Magelang Damar Prasetyono dan wakilnya, Bupati Magelang, Bupati Temanggung, dan sejumlah tamu undangan lainnya.
![]() |
Sebelum dilangsungkan Grebeg Getuk, Wali Kota Magelang Damar Prasetyono memberi aba-aba untuk perebutan gunungan. Warga yang telah menunggu pun segera menyerbu 2 gunungan getuk besar dan 17 gunungan palawija.
"Terima kasih kepada segenap pihak, masyarakat, panitia, peserta, luar biasa. Ini dari keamanan, cuaca juga sangat mendukung. Artinya Tuhan meridhai, alam mendukung. Acara pagi dan siang ini berjalan dengan sukses," kata Damar kepada wartawan seusai acara, Minggu (13/4/2025).
Soal Hari Jadi ke-1119 Kota Magelang, Damar mengatakan usia 1.119 adalah usia yang sudah sangat tua.
"Artinya Kota Magelang memiliki peradaban yang tinggi. Di tanah Jawa, kita paling tua secara usia. Di Nusantara mungkin kita nomor 2, artinya apa, usia yang begitu matang ini saya yakin dan optimis peradaban Kota Magelang akan betul-betul istimewa ke depannya," ujarnya.
![]() |
Sendratari Babad Mahardika
Koreografer Grebeg Getuk, Gepeng Nugroho mengatakan acara Grebeg Getuk kali ini dimeriahkan dengan sendratari kolosal berjudul Babad Mahardika. Sendratari kolosal itu melibatkan 260 penari dan didukung 50 tenaga artistik, koreografer, dan pengrawit.
"Ini bercerita soal sejarah Kota Magelang, di mana Kota Magelang abad ke 9 waktu itu, tempat ini bernama Mantyasih. Di sini tempatnya subur, gemah ripah loh jinawi dan inilah tempat transitnya para pelaku spiritual atau orang-orang yang melakukan laku spiritual di Dieng," kata Gepeng.
"Di era Hindu, tempat ini menjadi tempat transit orang-orang berbagai wilayah, membuat perekonomian meningkat, perdagangan juga meningkat, pertanian juga mendukung. Nah, akhirnya tempat ini makin sejahtera," sambung dia.
Dalam sendratari tersebut juga digambarkan saat terjadinya gangguan keamanan yang membuat Mantyasih saat itu tidak kondusif.
"Akhirnya ada bantuan dari Keraton Mataram Kuno di bawah Raja Dyah Balitung untuk membantu mengusir dan menghalau (para bromocorah atau pengganggu keamanan). Melihat potensi wilayah ini (Mantyasih), Raja Dyah Balitung memberikan tanah perdikan yaitu dibebaskan dari pembayaran upeti atau pajak keraton," tuturnya.
(dil/afn)