Hadirnya malam satu Suro tidak terlepas dari berbagai mitos maupun larangan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah seperti apa pandangan Islam mengenai malam satu Suro? Berikut penjelasannya.
Pergantian Tahun Baru Islam yang jatuh pada tanggal 1 Muharram berkaitan erat dengan hadirnya malam satu Suro. Melalui peringatan ini, biasanya diisi oleh sebagian masyarakat Jawa dengan menggelar berbagai macam tradisi. Bukan hanya itu saja, malam satu Suro juga kerap dikaitkan dengan berbagai mitos hingga larangan yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat hingga saat ini.
Berdasarkan informasi yang dibagikan dalam buku 'Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa' karya Muhammad Sholikhin, bahwa istilah Suro merupakan sebuah sebutan bagi masyarakat Jawa untuk menggambarkan kehadiran bulan Muharram. Hal ini dikarenakan Suro berasal dari kata Asyura yang merupakan salah satu hari di dalam bulan Muharram. Hari Asyura bertepatan dengan tanggal 10 Muharram yang dikenal sebagai salah satu momen penting di dalam Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas bagaimana pandangan Islam terkait dengan malam satu Suro yang selama ini erat kaitannya dengan berbagai mitos dan larangan? Berikut penjelasannya.
Larangan Malam Satu Suro
Selama ini sebagian masyarakat Jawa masih ada yang memegang kepercayaan terkait dengan larangan malam satu Suro. Senada dengan apa yang disampaikan dalam buku 'Dialektika Islam Dan Budaya Nusantara: Dari Negosiasi, Adaptasi Hingga Komodifikasi' karya Prof Dr Suprapto, M Ag, bahwa Suro merupakan bulan yang dianggap sebagai bulan keramat oleh sebagian masyarakat Jawa.
Hal ini dikarenakan Suro kerap disebut galengane taun atau pematangnya tahun. Tak heran, apabila kehadiran bulan tersebut diwarnai dengan berbagai tradisi hingga hal-hal yang dipercayai berkaitan dengan magis. Seperti halnya sejumlah mitos dan larangan malam satu Suro yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Mengutip dari jurnal bertajuk 'Tradisi Upacara Satu Suro dalam Perspektif Islam (Study di Desa Keroy Kecamatan Sukabumi Bandar Lampung' karya Isdiana dan 'Makna Komunikasi Ritual Masyarakat Jawa (Studi Kasus pada Tradisi Perayaan Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran Solo)' karya Galuh Kusuma Hapsari, berikut lima larangan yang berkaitan erat dengan hadirnya malam satu Suro.
1. Dilarang Keluar Rumah
Mitos yang berkembang di sebagian masyarakat Jawa terkait malam satu Suro adalah larangan untuk keluar rumah. Hal ini membuat terkadang ada sebagian orang yang memilih untuk berdiam diri di dalam rumah dengan mengerjakan berbagai aktivitas. Bahkan tidak sedikit yang mempercayai larangan ini dihadirkan agar setiap orang fokus untuk melakukan ibadah maupun berdoa.
2. Dilarang Berbicara dengan Berisik
Kemudian ada juga larangan untuk berbicara dengan berisik di malam satu Suro. Terkait dengan larangan ini ternyata berkaitan erat dengan sebuah tradisi yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Jogja saat hadirnya malam satu Suro. Tradisi tersebut bernama Tapa Bisu Mubeng Beteng yang diwujudkan dalam suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan berjalan mengelilingi beteng Keraton Jogja tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.
3. Dilarang Berpesta
Selanjutnya ada mitos malam satu Suro yang melarang masyarakat untuk menyelenggarakan pesta. Baik itu pesta yang bertepatan dengan pernikahan maupun berbagai hajatan lain. Meskipun begitu, dikatakan bahwa dalam Islam tidak ada larangan khusus di waktu-waktu tertentu bagi kaum muslim untuk menikah.
4. Dilarang Berkata Hal-hal Buruk
Tidak hanya berbicara dengan berisik, selama malam satu Suro juga ada larangan untuk berkata hal-hal buruk maupun kasar. Dipercaya siapa saja yang mengatakan hal buruk, dikhawatirkan akan menjadi kenyataan. Tak heran apabila ada sebuah istilah "eling lan waspada" yang dapat diartikan sebagai ingat dan waspada yang kerap dipegang oleh sebagian besar masyarakat Jawa.
5. Dilarang Membangun Rumah
Tidak hanya itu saja, ada sebuah mitos membangun rumah saat malam satu Suro dapat mendatangkan hal-hal yang buruk. Meskipun begitu, tidak dijelaskan alasan mengapa larangan ini hadir.
Pandangan Larangan Malam Satu Suro Menurut Islam
Lantas bagaimana pandangan Islam terkait mitos maupun larangan malam satu Suro? Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Buya Yahya melalui saluran YouTube Al-Bahjah TV dalam sesi Buya Yahya Menjawab, bahwa seluruh hari Allah SWT adalah baik. Sementara itu, Allah SWT juga menyukai hamba yang selalu berprasangka baik.
Hal ini juga berlaku pada saat setiap muslim mengerjakan sesuatu di hari-hari baik. Misalnya saja syukuran maupun menggelar pernikahan. Tak terkecuali Suro yang hadir bertepatan dengan bulan Muharram di dalam Islam. Oleh karena itu, hendaknya kaum muslim untuk tidak mempercayai hal-hal semacam itu karena menjadi bentuk suudzon kepada Allah SWT.
Sementara itu, Buya Yahya juga menekankan terkait Suro yang bertepatan dengan bulan Muharram sebagai waktu yang mulia di dalam Islam. Bahkan mengenai kemuliaan Muharram sebagai bulan mulia telah disampaikan di dalam sebuah hadits.
Penjelasan tersebut senada dengan apa yang disampaikan di dalam buku 'Bekal Ilmu di Awal Dzulhijjah' karya Ustadz Abu Abdil Aʼla Hari Ahadi. Terdapat sebuah hadits yang menyebutkan tentang bulan Muharram sebagai bulan yang mulia. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ . ثَلَاثُ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.
Artinya: "Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram (bulan mulia). Tiga berturut-turut, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan al-Muharram, lalu Rajab (yang selalu diagungkan) Bani Mudhar, yaitu antara Jumadil Akhir dan Syaban" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sementara itu, Suro yang dikenal sebagai bulan Muharram dalam Islam juga dianjurkan untuk mengerjakan hal-hal baik. Menurut buku 'Resonansi Pemikiran Buku 6: Menata Akhlak' karya Drs Priyono, M Si, waktu merupakan hal yang sangat penting di dalam hidup ini. Alih-alih mengisi waktu dengan berbagai hal yang kurang penting, kaum muslim dapat melakukan usahanya agar dapat beramal sholeh hingga menjadi orang-orang yang beriman.
Bahkan Allah SWT telah menyampaikan firman-Nya di dalam Al-Quran Surat Al-Ashr ayat 1-3. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِࣖ ٣
Wal-'ashr. Innal-insâna lafî khusr. Illalladzîna âmanû wa 'amilush-shâliḫâti wa tawâshau bil-ḫaqqi wa tawâshau bish-shabr.
Artinya: "Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran."
Merujuk dari penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya dapat dipahami bahwa mitos atau larangan malam satu Suro menurut Islam bukanlah hal yang dianjurkan untuk dipercayai karena menjadi sebuah wujud perilaku suudzon atau prasangka buruk kepada Allah SWT. Sebaliknya, hendaknya kaum muslim untuk senantiasa mengisi hari-harinya dengan berbagai amalan baik sekaligus berprasangka baik kepada Allah SWT. Wallahu'alam.
Amalan Malam Satu Suro dalam Islam
Mengingat malam satu Suro hadir bersamaan dengan Tahun Baru Islam di tanggal 1 Muharram, maka kaum muslim dapat mengisinya dengan mengerjakan berbagai amalan. Salah satunya dengan banyak-banyak melantunkan doa yang ditujukan semata-mata kepada Allah SWT.
Terdapat doa awal tahun yang dapat diamalkan oleh kaum muslim. Dikutip dari buku 'Terjemah dan Fadhilah Majmu' Syarif' oleh Ustadz Rusdianto, bacaan doa awal Tahun Baru Islam dapat dibaca sebanyak tiga kali. Adapun bacaan doa yang dimaksud adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ أَنتَ الْأَبَدِيُّ الْقَدِيمُ الْأَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيمِ وَجُوْدِكَ الْمُعَوَّلِ وَهُذَا عَامٌ جَدِيدٌ قَدْ أَقْبَلَ نَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ وَجُنُودِهِ وَالْعَوْنَ عَلَى هُذِهِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَالاسْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِي إِلَيْكَ زُلْفَى يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ يَا ارْحَمَ الرَّاحِمِينَ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Bismillahir-rahmânir-rahîm. Wa shallallahu 'alâ sayyidinâ wa maulânâ muhammadin wa 'alâ âlihi wa shahbihi wa sallam. Allâhumma antal-abadiyyul-qadimul-awwalu wa 'alâ fadhlikal-'azhîmi wa jûdikal-mu'awwali wa hâdzâ 'âmun jadîdun qad aqbala nas'alukal- 'ishmata fihi minasy-syaithani wa auliyâ'ihi wa junûdihi wal-'auna 'alâ hâdzihin-nafsil- ammarati bis-sû'i wal-isytighâli bimâ yuqar- ribunî ilaika zulfà yâ dzal-jalali wal-ikrâmi yâ arhamar-rahimîn, wa shallallahu 'alâ sayyidinâ muhammadin wa 'alâ âlihi wa shahbihi wa sallam.
Artinya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga Allah selalu melimpahkan shalawat kepada junjungan dan pimpinan kami (Nabi) Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Ya Allah Yang Maha Kekal, Yang Dahulu dan Yang Awal, dengan karunia-Mu yang agung dan kemurahan-Mu yang selalu diharapkan, sekarang tahun baru telah tiba, maka kami memohon kepada-Mu, semoga pada tahun ini kami selalu dilindungi dari godaan setan dan bala tentaranya, dan semoga selalu diberi pertolongan untuk mengalahkan hawa nafsu yang selalu mengajak pada perbuatan jelek dan semoga mendapat pertolongan untuk selalu dapat mengerjakan segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada-Mu, wahai Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Mulia. Wahai Dzat yang Paling Pengasih di antara para pengasih. Semoga sholawat dan salam Allah limpahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad, keluarganya dan sahabatnya."
Itulah tadi pembahasan mengenai sejumlah larangan malam satu Suro yang berkembang di sebagian masyarakat Jawa lengkap dengan penjelasan menurut Islam sekaligus amalan yang dapat dikerjakan kaum muslim. Wallahu'alam.
(sto/cln)