5 Contoh Naskah Drama Lengkap, Cocok untuk Praktik Bersama Teman Sekelas

5 Contoh Naskah Drama Lengkap, Cocok untuk Praktik Bersama Teman Sekelas

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Jumat, 26 Jan 2024 18:50 WIB
Naskah drama.
Ilustrasi contoh naskah drama. Foto: Brooks Leibee/Unsplash
Solo -

Drama adalah kisah dengan konflik atau emosi dan dirancang khusus untuk pertunjukan teater. Naskah drama menggambarkan kehidupan manusia melalui tingkah laku yang dipentaskan. Ciri-ciri naskah drama melibatkan cerita dengan alur, konflik, dan penyelesaiannya.

Dialog antartokoh menjadi unsur penting, bersama dengan penokohan yang mencakup peran dan perwatakan. Bahasa yang digunakan sebagai media komunikasi, dan latar memberikan konteks seperti ruang, tempat, waktu, tata panggung, dan tata cahaya.

Dalam kesempatan ini, detikJateng akan membagikan beberapa contoh naskah drama lengkap yang dikutip dari buku 'Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMA/SMK Kelas XI' oleh Henny Marwati dan K. Waskitaningtyas, 'Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA/MA Kls XII' oleh Asul Wiyanto, 'Terlena - Kumpulan Naskah Drama' oleh Sukarjan, dan 'Panduan Lengkap Kesusastraan untuk SMA' oleh Indrayani Wiji Lestari.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Contoh Naskah Drama #1: Telaga Warna

Babak 1
Narator: Dahulu kala, terdapat sebuah kerajaan yang sangat tentram dan makmur di Jawa Barat. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang baik dan bijaksana. Tak heran, kalau negeri itu makmur dan tenteram. Tak ada penduduk yang lapar di negeri itu. Raja itu dipanggil Raja Prabu. Tetapi keluarga kerajaan itu tidak memiliki seorang anak pun. Penasehat Prabu menyarankan agar raja dan ratu untuk mengangkat seorang anak.
Penasehat: "Yang mulia, hamba sarankan agar Yang Mulia mengangkat seorang anak saja."
Raja Prabu: "Tidak! Bagi kami anak kandung adalah lebih baik daripada anak angkat."

Babak 2
Narator: Sang Ratu sering murung dan menangis di balkon istana. Sang Raja pun ikut sedih melihat istrinya menangis.
Raja Prabu: "Sudahlah bu kita akan memiliki seorang anak kelak nanti."
Ratu: "Ya tentu saja Tuanku."

ADVERTISEMENT

Babak 3
Narator: Sehingga, suatu hari Raja Prabu hendak pergi ke- hutan untuk berdoa agar dikaruniai seorang anak.
Raja Prabu: "Aku akan pergi ke hutan untuk berdoa."
Ratu: "Baiklah. Hati-hati di hutan tuanku."

Babak 4
Narator: Setelah beberapa bulan kemudian semenjak Raja Prabu berdoa di hutan, permohonan sang Raja pun terkabul, Sang Ratu mulai hamil.
Ratu: "Prabu, aku hamil..." (dengan wajah yang berseri- seri).
Raja Prabu: "Benarkah itu???" (dengan nada yang sedikit tak percaya).
Ratu: "Ya benar.. Saya ke tabib istana dan tabib mengatakan bahwa saya hamil."
Raja: "Benarkah?? Ini akan menjadi kabar yang paling indah di kerajaan kita."

Babak 5
Narator: Setelah 9 bulan lamanya Ratu mengandung, Ratu- pun melahirkan seorang Putri yang sangat cantik Putri itu diberi nama Nirwarna. Penduduk banyak mengiriminya mainan untuk sang putri.
Ratu: "Lihatlah anak kita dia sangat lucu dan cantik, saya berharap agar dia tumbuh menjadi seorang putri yang cantik dan baik hati seperti wajahnya."
Raja: "Terima kasih banyak."
Ahli perhiasan: "Sama-sama Tuanku."
Narator: Setelah beberapa saat menunggu akhirnya kalung itu selesai dibuat kalung itu sangat indah.
Raja: "Wah. Ini adalah kalung terindah yang pernah saya lihat, kau membuatnya dengan sangat baik."
Ahli perhiasan: "Terima kasih Tuanku, hamba akan melakukan yang terbaik."

Babak 6
Narator: Kasih sayang Raja dan Ratu yang selalu men- berikan apapun yang diingini oleh Sang putri telah membuat anak itu tumbuh menjadi seorang Putri yang sangat manja. Bila keinginan sang Putri tak dikabulkan maka ia akan marah dan tak jarang dia berkata kasar kepada orang tuanya. Tetapi masyarakat dan orang tuanya masih tetap mencintainya.
Putri: "Bunda aku mau seekor kuda!!"
Ratu: "Kita sudah memiliki banyak kuda di peternakan sayang."
Putri: "Tidak aku tidak mau yang ada di peternak! Aku mau kuda berwarna putih dengan bulu yang indah."
Ratu: "Kau sudah memiliki 54 kuda. Bermainlah dengan kudamu yang sudah ada sayang."
Putri: "Tidak aku tidak mau, dasar kau orang tua pelit."
Ratu: "Ahhh... Sayang apa yang kau katakan."
Putri: "Huh, dasar orang tua yang tak berguna."

Babak 7
Narator: Putri pun meninggalkan ibunya yang menangis sambil terduduk setelah melihat perilaku anaknya itu. Tak terasa sudah 17 tahun umur sang putri, dia tumbuh menjadi seorang putri yang paling cantik di negeri itu. Seluruh rakyat pergi ke istana untuk memberikan hadiah kepada sang putri. Sang raja mengambil sedikit emas dan permata dan pergi ke tempat ahli perhiasan untuk dibuatnya menjadi kalung. Sesampainya di tempat ahli perhiasan.

Raja: "Pak, bisakah Anda membuat sebuah kalung yang paling indah untuk putriku yang tercinta."
Ahli perhiasan: "Tentu saja tuanku, dengan senang hati hamba akan melakukannya."

Babak 8
Narator: Setelah itu Raja kembali ke dalam istana dan menyimpannya untuk diberikan kalung yang sangat indah itu kepada putri tercintanya. Keesokan harinya, hari ulang tahun sang putri pun tiba. Raja Prabu segera mengambil kalung yang indah itu, dan memberikannya kepada anaknya.
Raja Prabu: "Anakku Putri Nirwarna, hari ini, hari ulang tahun- mu yang ke-17."
Putri: "Ya ayah.., aku mengharapkan hadiah yang paling indah pada ulang tahunku yang ke-17 ini."
Ratu: "Selamat ulang tahun anakku."
Putri: "Ya bunda..."
Raja Prabu: "Anakku, ayah sudah mempersiapkan sebuah hadiah yang paling indah, ini dia kalung permata yang paling indah hanya untuk putri tercintaku."

Babak 9
Narator: Raja Prabu segera memberikan kalung itu kepada putrinya, tetapi Putri terlihat tidak menyukai kalung tersebut.
Putri: "Hemm. Kalung apa ini ayah. Kalung ini sangat jelek aku tidak mau mengenakannya di leherku yang cantik ini, kalung itu hanya akan membuat leherku ini menjadi gatal saja nantinya"

Babak 10
Narator: Tidak ada satu orang pun yang menyangka Sang Putri akan mengatakan hal tersebut, semuanya terdiam, tiba-tiba terdengar isak tangis sang Ratu yang kemudian diikuti oleh tangisan semua orang.
Ratu: "Hu hu hu hu, ada apa denganmu nak?"
Putri: "Aku takkan mengenakan kalung itu!"
Narator: Sang putri segera membuang kalung itu ke halaman istana, kalung tersebut menjadi rusak dan permatanya tersebar ke seluruh halaman istana.

Babak 11
Narator: Tiba-tiba sebuah mata air muncul dari halaman istana, percikan airnya membuat sebuah genangan air di halaman istana. Semua orang sangat ketakutan dan menyalahkan hal tersebut kepada sang putri.
Rakyat: "Apa yang telah kau lakukan Putri jahat! Kau telah membahayakan semua rakyatmu lihatlah ulahmu!"
Narator: Sang putri sangat ketakutan dia menyesal atas semua perbuatan jahatnya. Tapi genangan itu telah menjadi sebuah danau yang sangat besar dan menenggelamkan seluruh istana. Oleh rakyat sekitar, danau itu disebut sebagai "Telaga Warna". Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.

Contoh Naskah Drama #2: Tumbang

Susunan panggung: Sebuah bilik bambu yang tua dan kotor. Pintu masuk hanya di sebelah kanan belakang, membuka pemandangan ke tanah tandus di luar. Seantero ruangan dilingkungi tiga dinding sasak (bambu) yang aus dan kehitam hitaman warnanya. Sebelah kanan berdiri meja makan beserta dua kursi, semuanya sudah rusak. Di atas meja ada dua piring, botol, kendi, pisau, dan sendok secara tidak teratur. Sebuah cangkir terletak tergelimpang pada sisinya. Sebelah kiri tengah ada balai-balai sudah tua juga, dengan bantal kotor dan selimut usang yang menggelebar ke bawah, sampai ujungnya menyentuh lantai. Hari senja. Udara dalam bilik taram-temaram.

Adegan 1
(Masuk seorang laki-laki, kurang lebih berusia 30 tahun. Ia memakai baju dan celana panjang putih yang kumal lagi bertambal-tambal. Ia berjanggut, mukanya pucat pasi, matanya kemerah merahan, rambut tak tersisir, dan lebih panjang dari semestinya. Ia tak berdiri tegak atas kakinya dan jalannya agak terpapah-papah.)

Lelaki: (suaranya agak parau, tak tentu larasnya). Ini, ini rumahku? Dulu bagus, sekarang begini? (berpaling memandang ke meja, meraba-raba perutnya; sejurus matanya terbelalak). "Lapar! Lapar!" (terhuyung-huyung mendekati meja makan, pandangannya meliputi benda-benda di atasnya: suaranya hampir membisik). Tak ada apa-apa.
Habis, (menghempaskan diri di kursi, bertopang dagu, memandang dengan sedih). Perut berkokok dan tak ada makanan. Semua tak ada. Lebih baik tidur. Supaya lupa! (berdiri, menuju ke balai-balai, kemudian termangud. Atau, mati saja? Ya, mati, mati (berjalan ke pintu, hampir sampai di sana, tervenung lagi). Tidak! Tidur dan mati sama saja. (berbaring, selimut ditutupkan atas tubuhnya, tidur.

Adegan 2
(Beberapa suat lamanya panggung sepi saja. Suasana lebih gelap. Kemudian, masuk seorang perempuan tua renta, rambutnya putih. Pakaiannya bagus, dan dipergunakannya tongkat untuk berjalan. Tampak jarinya banyak bercincin. Air mukanya sedih sewaktu ia berjalan pelan-pelan ke arah orang yang tidur itu. Sampai ke situ, ia berhenti, sebentar mengamat amati air muka orang di balai-halai itu dengan iba hati, lalu menggeleng gelengkan kepala).
Orang Tua: Ia tidur... tidur nyenyak! Kau yang banyak menderita, kau yang banyak musuh. Kau yang keras hati, anakku. Tubuhmu lelah jiwamu sedih. Sebab keras kepalamu (menggelengkan kepala ah... begitu keras hatinya! Damai, damailah, Nak! (mengusap air matanya).
Lelaki: (bercakap dalam tidurnya) Ibu... ibu!
Orang Tua: Tidurlah dulu, enakkan badanmu, kau lelah.
Lelaki: (menyingkapkan selimutnya, turun dari tempat tidurnya, berlutut di lantai, memegang tangan ibunya serta menciumnya). Ibu... di sini! Dari mana Ibu datang?
Orang Tua: Ya, kau tak tahu bahwa aku sudah tak ada di dunia ini. Dari itu, aku datang untuk mengatakan ini kepadamu. Kau anak tunggalku. Tak ada orang ingin yang lebih kusayangi daripadamu.
Lelaki: (memegang dadanya, menundukkan kepalanya). Duh! Aku mendurhaka besar terhadap Ibu. Maafkan aku, Bu!
Orang Tua: Ayahmu meninggal sebelum aku, Nak.
Lelaki: Ayah!
Orang Tua: Ya! Dan belum kau berdamai dengan dia. Kau dan ayahmu selalu bertengkar, kedua-duanya sama keras hati. Sama keras kepala. Kata-katanya yang penghabisan adalah untukmu, Nak. Ia menanyakan kau. Dan kecewa ia bahwa kau tak ada pada saatnya yang terakhir di bumi. Mengapa, mengapa kau tak mau datang, waktu kami kabarkan bahwa ayahmu sakit keras"
Lelaki: (tersedu) Maaf, maaf, Bu!
Orang Tua: Terlambat sesalmu itu. Tak bisa diperbaiki lagi di dunia ini. (sejurus hening. Terdengar sedu sedan lelaki
Orang Tua: Ya, ayahmu mau memaafkan kau, tapi kau tak ada. Restu yang hendak diucapkan atas dirimu itu terhembus lenyap oleh napasnya yang penghabisan! Sekarang kau menyesal. Tapi apa gunanya? Ia tak akan mendengarkan. Dan bahkan kalau ia mendengar, ia tak akan menjawab sehingga jawabannya terdengar olehmu. Terlambat. Terlambat, Nak! Ah, Orang muda sering terburu perbuatannya dan lambat penyesalannya. Mengapa kau dulu tak mau menundukkan kepalamu yang keras itu? Mengapa perkataan ibumu selalu kau abaikan?
Lelaki: Bawalah aku, Bu, bersama Ibu. (bernafsu) Ah, aku tak betah di bumi ini! (memegang tangan perempuan itu) Boleh aku ikut, Bu?
Orang Tua: Bukan akulah yang dapat memastikan itu, Yang Mahakuasa jugalah yang memutuskannya, bila waktumu sudah tiba.
Lelaki: Dapatkah aku bertemu Ibu kelak?
Orang Tua: Itu pun belum tentu. Putusan tidak pada kita.
Lelaki: O, Ibu bukan mengatakan bahwa aku mungkin di tempat lainnya? Di tempat yang ngeri, penuh api dan gelap. Apa orang-orang durhaka mendapat hukuman hukuman yang dahsyat? Tidak begitu, o, tidak! O, Δ«bu, katakan aku tak akan tiba di sana. bukan? Aku tak akan disiksa di sana? Siksaan telah cukup di sini, Bu!
Orang Tua: Itu tergantung padamu sendiri, anakku. Pada amal perbuatanmu sendiri. Dia yang melindungi kita semua. Itu adil dan bijaksana. Percayalah kepada Nya. Tawakallah. Nak. Sekarang ibumu pergi, Nak. Jauh perjalanan Ibu. Terimalah doa restuku. (meletakkan tangannya atas kepala si laki-laki.
Lelaki: (terkejut) O, tunggu, tunggu dulu! (dipegang tangan dan tongkat orang tua itu dengan tergopoh-gopoh) Ah, Thu! Thu! (panggung gelap)

Adegan 3
(Setelah lampu dinyalakan lagi, nampak lelaki masih bersikap seperti tadi, yakni berlutut dan dengan kedua belah tangannya seolah olah memegang sesuatu, tetapi perempuan tua itu sudah tak ada lagi. Secepat kilat tubuhnya seakan tergugah oleh tenaga listrik, lalu diraihnyalah tangannya ke dada dan berdiri dengan perlahan. Kepala menunduk. Sementara itu masuk ke dalam bilik seorang perempuan muda. Dihampirinya lelaki yang masih menunduk dan tidak melihatnya itu, lalu meletakkan tangan atas pundaknya).
Perempuan: Mas! Mas!
Lelaki: (terkejut bangun, memandang kepada yang baru datang itu dengan mata yang berkunang-kunang.) Kau... kau?
Perempuan: Ya, Mas.....
Lelaki: (heran) Kau?... Benar kau istriku?
Perempuan: (mengangguk) Ya, Mas. Lelaki Bukan hantu?
Perempuan: Hantu?
Lelaki: (bangkit, memegang bahu perempuan itu dan melepaskannya lag) Tidak, tidak, kau bukan hantu. Cuma aku, aku saja!
Perempuan: Apa maksudmu?
Lelaki: (ketawa kecil. Ah, tidak apa-apa. Tidak apa-apa, Dik.
Perempuan: Kau tidak senang melihat aku?
Lelaki: Bukan begitu. Aku senang kau datang kemari. Mana tempatmu?
Perempuan: Tempatku jauh
Lelaki: Jauh? Di... di sana? (menunjuk ke atas). Berapa kali bumi ini jauhnya?
Perempuan: (tercengang) Mas! Omongmu tidak karuan!
Lelaki: Di neraka atau di surga?
Perempuan: (marah) Rupanya kau sudah menjadi gila! Neraka atau surga, katamu? Di surga tak mungkin. Sebab kaulah yang menghalang halangi aku untuk pergi ke situ kelak. Kaulah yang menyeret aku ke neraka!
Lelaki: Benar.... Benar, Dik. (berjalan ke kursi, duduk, matanya nanar memandang ke satu jurusan).
Perempuan: Bukankah salahmu melulu bahwa penghidupan kita ibarat neraka? Sehingga aku lari daripadamu, setahun yang lalu?
Lelaki: (bertopang dagu, lemah) Ya, ya Dik. Maaf, maaflah.
Perempuan: (lunak kembali) Mas, bukan maksudku untuk membalas dendam.
Lelaki: (mengangguk) Kutahu, Dik, aku tahu baik hatimu. Semuanya ini salahku. Penderitaan orang tuaku. Sengsaramu. Semua aku yang menyebabkannya. Aku penjudi, peminum, penjahat, duh! Cinta kasih orang tua dan cinta kasihmu, betapa aku membalasnya? Harta benda orang tua habis lenyap karena aku. Habis dengan judi dan minum. Kusakitkan hati ayahku, kusedihkan ibuku. Dan kau Dik, (memandang perempuan muda itu) betapa aku membalas kebaikanmu? Dengan malas. dengan minum Brendi berbotol-botol yang kubeli dengan uangmu! Kau yang selalu bekerja keras, aku yang menghabiskan uangmu, aku yang menyayat hatimu, menyiksa jiwamu! Maaf, maaf, Dik!

Contoh Naskah Drama #3

Adegan 1
Sebuah kamar bedah di sebuah rumah sakit dengan perlengkapan layaknya sebuah ruang bedah. Hari sudah larut malam. Suasana malam yang sunyi setelah selesainya operasi dan musik tidak diperdengarkan untuk menggambarkan suasana sepi.
(Di dekat meja kerja dr. Hen menjepit ponsel di antara kepala dan bahunya).

Ibu: (terdengar suara ibu menelepon) Ambil libur dua hari apa tidak bisa sama sekali?
dr. Hen: Susah, Ibu. Saya punya jadwal bedah sesar setidaknya sampai akhir tahun ini. Apalagi menjelang hari raya, selain musim hujan, juga musim orang melahirkan, (sambil berusaha melepaskan sarung karet bekas operasi).
Ibu: (Terdengar embusan nafas dari ujung telepon) Apa yang bisa memastikan nyawa anak manusia sampai dengan baik ke dunia hanya kamu?
dr. Hen: Ya tidak, (melepaskan sarung tangan dan membuangnya ke tempat sampah).
Ibu: Berapa dokter kandungan di rumah sakitmu? (suaranya mendesak).
dr. Hen: tiga (duduk di kursi meja kerjanya).
Ibu: Kalau begitu tukar jaga kan bisa, kecuali memang kamu tidak menginginkannya! (terdengar bunyi telepon ditutup). Lampu meredup dan diiringi musik agak cepat sebagai tanda
menutup babak ini.

Adegan 2
Sebuah dapur dengan berbagai jenis bahan siap dimasak ada di lantai dapur seperti jagung, ubi kayu, kacang panjang, waluh, aneka bumbu, dan umbut kelapa. Hari masih pagi. Suasana pagi dengan suasana dapur dan musik mengalun dengan ringan.
(Ibu sibuk mempersiapkan bahan untuk diolah menjadi sayuran, sedang kan dr. Hen mengolah bumbu).
Ibu: Bukan begitu cara memecah kemiri, nanti hancur! (suara ibu menyela)
dr. Hen: Memang apa bedanya, Bu? Toh, sama-sama akan dihaluskan juga. (dr. Hen menyanggah dan ibu menggeleng tanda tidak setuju)
Ibu: Kau tahu setiap manusia ini akhirnya akan mati dan hancur dalam tanah kan?
dr. Hen: (mengangguk) Lalu, apa hubungannya dengan cara memecah kemiri?
Ibu: Kalau sudah tahu akan mati dan hancur, apa sembarangan juga perlakuanmu saat mengeluarkan bayi dari perut ibunya? (dr. Hen terdiam dan menyaksikan ibu memecah kemiri. Gerakannya hatiΒ­-hati sekali. Persis seperti menolong bayi memecah gelap rahim menuju bumi. MulaΒ­mula ibu menjepit kemiri dengan telunjuk dan jempol, lalu ulekan ia ketukkan sehingga terdengar suara kulit keras yang rekah. Ibu kemudian melebarkan rekahan dengan ujung pisau
hingga terpisah).
Lampu meredup dan musik ringan menutup babak ini.

Adegan 3
Sebuah kamar tidur dengan perlengkapan tempat tidur dan lemari. Hari masih pagi. Suasana pagi dan dr. Hen mengetuk-ketuk kamar, musik mengalun dengan ringan.
(Dokter Hen berdiri di depan kamar ibu dan mengetuk sekali. Kemudian diulang dua kali dan ketiga kali serta memanggil nama ibu).

dr. Hen: Ibu, saya mau pamit kembali ke rumah sakit (kembali mengetuk kembali).
dr. Hen: Ibu.. (sambil membuka pintu perlahan. Ketika mendapati Ibu terkulai bersandar di lemari dr. Hen panik. Tubuhnya masih terbalut mukena dengan tasbih di tangan. LekasΒ­-lekas ia raba pergelangan tangan dan lehernya. Nihil, ibu telah tiada.).
(Tergambarkan suasana duka ketika suami dan anak-anak dr. Hen datang dan memeluknya. Pengeras suara di masjid mengabarkan kepergian ibu pada orangΒ­-orang. Sanak saudara dan handai tolan berdatangan. Digambarkan persiapan proses pemakaman).
Suami: Kau yakin tidak mau pesan jamuan dari katering saja?
(memandang ragu).
dr. Hen: (Menghela nafas panjang) Saya hanya mau Ibu bahagia karena putrinya bisa memasak. Walaupun cuma satu, itu juga sajian untuk kematiannya.
Lampu meredup dan musik sendu menutup babak ini

Contoh Naskah Drama #4: Buat Si Pemalas

Sinopsis
Gino adalah seorang anak yang sangat pemalas, tidak mau membantu ibunya dan kebiasaan yang paling dia senangi adalah melihat televisi.
Pada suatu hari, dia disuruh oleh ibunya untuk membeli garam, karena dia selalu menggerutu dan tidak hari-hati akhirnya dia terjatuh, untunglah ada Pak Abdul mau menolongnya, kejadian itu membuat Gino sadar ternyata Bu Amin (ibunya) sangat menyayanginya, beliau merawat luka Gino dengan penuh kasih sayang sehingga Gino pun mau berubah menjadi anak yang rajin dan tidak pemalas lagi.

Adegan 1
Di sebuah keluarga yang sangat sederhana, Bu Amin tinggal bersama anak satu-satunya "Gino" namanya. Bu Amin adalah seorang janda, sedangkan Gino anaknya sangat pemalas, tidak mau membantu ibunya, sukanya hanya bermain dan melihat tv pada suatu hari Bu Amin sedang memasak di dapur, beliau mondar-mandir mencari sesuatu, topi tidak ketemu. Setelah beberapa saat. Bu Amin baru ingat bahwa garam yang dicarinya ternyata sudah habis. Kemudian Bu Amin memanggil Gino yang sedang asyik melihat tv, dengan maksud agar dia mau membelikan garam.
Bu Amin: "Gil, Gino, tolong ibu belikan garam nak"
Gino: (menjawab panggilan ibunya dengan) uh!! Ibu, Gino kan lagi asyik melihat TV.
Bu Amin::"lya Gil, sebentar saja, nanti kan kamu bisa melihat TV lagi."

Adegan 2
Gino akhirnya berangkat juga tapi dalam hatinya terus menggerutu, "kenapa sih garamnya habis, hari minggu kan acara tv bagus-bagus. Gino terus berjalan menuju sebuah warung. karena tidak hati-hati waktu dia berjalan dan tidak melihat akar pohon yang melintang, akhirnya dia tersandung
Gino: "Buk, aduh aduh tolong saya, aduh teriak Gino sambil memegangi lututnya yang berdarah."

Untunglah tak begitu lama, Pak abdul lewat dan menghampiri Gino

Pak Abdul: "Kenapa kamu nak?"
Gino: "Saya jatuh Pak"
Pak Abdul: "Kamu mau kemana?"
Gino "Saya disuruh ibu membeli garam Pak"
Pak Abdul: "Oh... kalau begitu biar Bapak saja yang belikan ya!!! Kamu tunggu di sini sebentar."
Gino: "Iya Pak"

Tak lama kemudian, Pak Abdul datang garam.
Pak Abdul: "Ayo, sekarang kamu saya antar pulang"
Gino: "Iya Pak, terima kasih!"

Adegan 3
Suasana di rumah Gino, Ibu Amin sedang menunggu kedatangan Gano yang di suruh membeli garam.
Pak Abdul: "Assalamu'alaikum, Assalamu'alaikum."
Bu Amin: "Walaikumsalam, (dari dalam rumah, setelah membuka pintu)
Bu Amin: (terkejut), "Aa ada apa Pak Abdul, kenapa dengan Gino Pak?
Pak Abdul pun kemudian menceritakan kejadian yang dialami Gino. Setelah menceritakan kejadian yang dialami Gino Pak Abdul pamit mau pulang.
Bu Amin: "Terima kasih Pak,"
Gino: "Terima kasih Pak."
Pak Abdul: "Terima kasih kembali. Assalamu'alaikum."
Bu Amin: "Waalaikumsalam".

Setelah Pak Abdul pergi Au Amin pergi ke belakang untuk mengambil air dan plester, kemudian dengan sayangnya Bu Amin membersihkan luka Gino dan membalutnya dengan plester, tetapi Bu Amin tidak menyadari, diam-diam Gino meneteskan air mata, dalam hati dia sangat menyesal karena tidak pernah mau membantu ibunya. Tiba-tiba dia merangkul ibunya dan dengan terbata-bata dia meminta maaf pada ibunya. "Bu, maafkan Gino selama ini Gino tidak mau membantu ibu, dengan penuh kasih sayang kemudian mengusap kepala Gino dan berkata "Ibu juga minta maaf Gil, karena hanya rasa sayang yang bisa Ibu berikan "Ini sudah sangat berharga Bu, kata Gina, "kasih sayang thu sangat berharga buat Gino dan telah membuat Gino sadar.

Gino: Ternyata selama ini Ibu sangat menyayangi Gino, terima kasih Bu
Bu Amin: "Iya, sama-sama Gil, mulai sekarang kamu harus berjanji mau membantu ibu ya! Dan jangan malas lagi."
Gino: "Insya Allah, Bu"

Nah sejak saat itu Gino mulai berubah menjadi anak yang rajin dan suka membantu ibunya. Karena hatinya sangat senang, Gino pun menyanyi lagu "kasih ibu"

Contoh Naskah Drama #5: Serakah

Sinopsis
Kura-kura sedang berjalan-jalan sendirian di perkebunan pisang yang berada di pinggir desa dekat aliran sungai. la hendak memetik buah pisang yang sedang masak. Tapi sayang tidak bisa memanjatnya. Datang Musang Kura-kura minta tolong untuk dipetikan pisang itu. Tapi pisang itu dihabiskan oleh musang kura-kura hanya di lempari kulitnya. Musang tertidur di pohon pisang. Kura-kura beranjak meninggalkan Musang dengan perut lapar. Tak lama kemudian mendengar teriakan musang dari pohon pisang. Kura-kura bergegas mendatanginya dan menolongnya.

Pada suatu hari ada seekor kura-kura di kebun sudah dua hari mereka belum makan.
Kura-kura: "Dimana Ya..."
(sambil menoleh ke kanan dan ke kiri).
"Aduh perutku sudah lapar"
(sambil berjalan terus mencari makanan, tiba-tiba menemukan pohon pisang dan ada buahnya sudah masak warnanya kuning mereka senang sekali hari ini akan makan buah pisang).

"Sekarang pisangnya kupanjat dengan hati gembira", (Dipanjat sampai tengah lalu suit)
"aduh aku jatuh. Akan aku coba sekali lagi"
(Pelan-pelan sudah sampai atas hampir saja buah pisang dipetiknya.)
"aduh aku jatuh lagi badanku sakit sekali hi.......hi hihi."

Kura-kura mengeluarkan air mata menahan sakit, tiba-tiba datanglah seekor musang dan bertanya ke kura-kura

Musang "Kenapa kamu kok mengeluarkan air mata,?" Kura-Kura: "Diamlah Musang aku jatuh, aku tidak bisa mengambil buah pisang perutku sudah lapar sekali tolonglah ambilkan nanti kita makan bersama-sama
Musang: "Ooo, ya..."
"Beres Kebetulan sekali perutku juga lapar, pisangnya aku panjat ya "He enak sekali pisangnya".

Pisangnya dihabiskan oleh musang satu per satu sampai habis kura kura tidak diberi hanya dilempari kulitnya saja

Kura-Kura: "Musang mana pisangnya?"
Musang: "Pisangnya sudah habis"
Kura-Kura: "Tega benar kau Musang, aku hanya kau lempari kulitnya saja"
Musang: "Salahnya sendiri kau tidak bisa manjat pergi sana aku mau tidur"

Musang tidur dengan perut kenyang. Kura-kura akhirnya pergi hatinya sedih dan perutnya lapar sambil berjalan pelan-pelan ke pinggir sungai sambil melihat dan mencari ikan, duduk di pinggir sungai Tok lama kemudian terdengar suara Musang minta tolong
Musang: "Tolong tolong saya, mataku disengat kalajengking aku tidak bisa melihat hihi hi" (musang sedih sekali)
Kara-Kura: "Aduh aku harus menolongnya itu suara musang, kasihan dia" (dan didatangi kura-kura)
"Ayo Musang, Musang turun jangan menangis dan ikut aku sambil pegangi kayu ini aku tuntun aku ajak ke pinggir sungai. Ayo nanti akan aku obati matamu dan nanti sambil mencari ikan di sana."

Akhirnya Kura-kura dan Musang bersahabat, Kura-kura tidak ada perasaan dendam.
Musang: "Kura-kura.. maafkan aku aku salah.... Yah sudah aku maafkan.. tapi jangan diulangi lagi"
Kura-Kura: "Baiklah aku akan menebus kesalahanku... dengan menangkap ikan. itu untukmu"

Musang langsung menyelam ke sungai menangkap beberapa ikan lalu di berikan pada kura-kura.

Demikian tadi beberapa contoh naskah drama lengkap yang dapat dijadikan referensi dalam pementasan. Semoga bermanfaat!




(rih/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads