Kota Solo punya pasar tradisional yang dibangun sejak 1927, yaitu Pasar Gede Hardjonagoro. Sebagai salah satu ikon wisata di Solo, Pasar Gede di Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, ini menyimpan sejarah yang menarik.
Pengamat sejarah sekaligus pegiat Komunitas Soerakarta Walking Tour, Muhammad Aprianto mengatakan Pasar Gede dibangun pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono X yang memerintah pada tahun 1893-1939.
"Pasar Gede dibangun sekitar tahun 1928 sampai 1930. Sebelum seperti sekarang ini yang berbentuk bangunan, dulu Pasar Gede sifatnya masih kayak lesehan, ngoprok gitu," kata Aprianto saat dihubungi detikJateng, Kamis (18/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama pembangunan Pasar Gede, Aprianto mengatakan, para pedagang dipindahkan ke pasar darurat di Gladak, sebelah Alun-alun Utara Keraton Kasunanan Hadiningrat, atau Keraton Solo.
![]() |
Pembangunan Pasar Gede juga melibatkan Ir Herman Thomas Karsten, arsitek asal Belanda yang juga terlibat dalam proyek beberapa bangunan ikonik di Kota Solo.
"Setelah selesai ada peresmian di Januari 1930. Waktu perayaannya itu juga besar-besaran, arsitek yang terlibat itu Thomas Karsten yang ikut membangun lobi Stasiun Balapan," ujar Aprianto.
Pasar Gede dinamai demikian karena bangunannya menyerupai benteng dengan pintu masuk seperti istana yang beratap besar dan megah. Adapun nama Hardjonagoro diambil dari nama seorang keturunan Tionghoa yang mendapat gelar KRT Hardjonagoro dari Keraton Surakarta.
Pasar Gede dan Pecinan
Banyak keberagaman yang bisa dilihat dari Pasar Gede Solo. Selain menggabungkan arsitektur Belanda dan Jawa, Pasar Gede juga khas dengan kawasan Pecinan yang berada di sekitarnya.
Menurut Aprianto, ada keterikatan yang kuat antara masyarakat Tionghoa di daerah Pecinan dengan Pasar Gede itu sendiri.
"Pecinan itu ada indikatornya, mereka pasti mendekati pasar, dekat dengan jalur transaksi perdagangan, karena dulu pakai sungai ya jalur transaksi perdagangannya. Itu pakai sungai Pepe," ucap Aprianto.
"Pecinan itu pasti ada kelenteng atau tempat ibadah Tri Dharma, dan itu semua ada di sekitar Pasar Gede. Pasar, tempat ibadah, dan jalur transaksi perdagangan. Hemat saya, itu jadi indikator penting untuk komunitas Tionghoa," sambung dia.
![]() |
Pernah buat Diskotek dan Biliar
Seiring berkembangnya zaman, Pasar Gede juga sempat digunakan sebagai diskotek. Hal itu disampaikan oleh Wiharto, pegiat Pasar Gede sejak 1998 yang kemudian menjadi Ketua Komunitas Paguyuban Pasar Gede (Kompag).
"Jadi memang sempat terjadi reformulasi penataan ruang di era Solo Berseri (Bersih, Sehat, Rapi, Indah), Pak Hartomo waktu itu wali kotanya. Sehingga memang kemudian dia sangat gencar dan itu kemudian penataan ruang-ruang, banyak tempat di Surakarta menjadi alih fungsi, salah satunya Pasar Gede," kata Wiharto saat ditemui detikJateng di Pasar Gede.
"Pasar yang lantai dua bagian timur ini dulu ada Akaru Billiard, terus Solo Diskotek. Di sebelah barat yang lantai dua, yang sekarang pakai cendono itu, dulu ada juga Diskotek Legend," imbuh dia.
Wiharto mengatakan saat itu Pasar Gede memang diperuntukkan sebagai tempat hiburan. Sehingga di lantai dua Pasar Gede mulai siang sudah dibuka tempat hiburan biliar dan malamnya dibuka tempat hiburan diskotek.
Tentang demo pedagang usai kebakaran 1999 di halaman selanjutnya.
Demo Pedagang Usai Kebakaran 1999
Pada tahun 1999, Pasar Gede sempat terbakar. "(Kebakaran) Itu tahun 1999, 18 April sekitar jam 00.30 WIB malam karena korsleting listrik," kata Wiharto.
Para pedagang lalu meminta agar tempat hiburan dipindah dari Pasar Gede. Wiharto mengatakan, para pedagang saat itu menilai keberadaan tempat hiburan itu membawa dampak buruk bagi Pasar Gede. Sesekali terjadi gesekan antara pedagang dengan pengunjung diskotek dan biliar.
"Karena efek bagi masyarakat dan lingkungan pasar tidak baik, itu kita minta dipindahkan dari pasar. Melalui Kompag, Komunitas Paguyuban Pasar Gede, dikembalikan fungsinya lagi. Sebagaimana pasar tempat pedagang, tentunya hiburan-hiburan yang ada di pasar dikeluarkan, dipindah ke tempat yang lain," tuturnya.
Urung Dibangun 3 Lantai
Pasar Gede juga sempat direncanakan untuk dibangun menjadi tiga lantai agar menjadi pasar modern. Namun para pedagang tidak setuju karena khawatir ekosistem yang sudah berlaku di pasar akan berubah dan membuat Pasar Gede tak nyaman bagi pedagang.
"Setelah kebakaran sempat mau menjadi pasar modern, (mau dibangun) lantai tiga. Kemudian muncul gerakan masyarakat sipil terutama pedagang menentang itu, akhirnya ada pertarungan kepentingan, kepentingan pedagang dengan kepentingan pemerintah kota," kenang Wiharto.
Menurut Wiharto, demo menentang pembangunan itu berlangsung sejak tahun 1999 hingga 2001. Adu argumen antara pedagang dengan pemerintah itu mulai dari isu budaya, ekonomi, dan sosial.
"Karena memang pasar itu tidak bisa dinilai dari sisi ekonomi saja, (pasar) harus menjadi pusat kegiatan masyarakat dan itu bisa menjadi pusat kebudayaan, karena perilaku masyarakat itu tercermin di pasar tradisional. Bahasa yang digunakan, pakaian yang digunakan," ujar Wiharto.
Singkat cerita, pemerintah urung membangun Pasar Gede menjadi tiga lantai dan mempertahankan bangunannya hingga seperti sekarang.
"Kalau saya katakan itu tidak sekedar momen ya, tapi peristiwa. Pasar Gede menjadi monumen yang memperlihatkan bagaimana kekuatan masyarakat sipil mampu mempengaruhi kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat," ucap Wiharto.
"Kan banyak pasar-pasar yang dibangun jadi berubah, tapi Pasar Gede tetap mampu bertahan pada bentuk semula, dan ternyata sekarang ini pasar menjadi simbol Kota Solo, landmark Kota Solo dalam berbagai hal. Pasar Gede selalu tampil menghiasi dalam setiap promosi kota," sambung dia.
Ulang Tahun 12 Januari
Wiharto mengaku akan terus menjaga kelestarian Pasar Gede yang kini sudah berusia 94 tahun, tepat pada 12 Januari 2024. Berbagai pentas kesenian dilakukan di public space Pasar Gede. Kini, public space tersebut tergerus oleh lapak-lapak pedagang.
"Saya mencoba membangun pasar dengan spirit masa lalu dan agar di masa depan tetap bertahan. Saya selalu membangun kegiatan-kegiatan yang sifatnya kultural, pentas kesenian, kenduri bersama. Kalau ulang tahun pasti tak peringati. Kemarin kan kita juga habis memperingati, tumpengan, tanggal 12 Januari, ultah yang ke-94," kata Wiharto.
Dia berharap Pasar Gede yang sarat sejarah ini bisa terus eksis di tengah masyarakat Kota Solo, sebagai pasar tradisional yang terus menaungi para pedagang dari berbagai latar belakang.