Warga Kota Solo tak asing lagi dengan Bong Mojo. Makam etnis Tionghoa itu mendapat sebutan Bong Mojo karena terletak di Jalan Mojo, Jebres, Solo. Sementara istilah Bong sendiri berarti tempat pemakaman etnis Tionghoa.
Bong Mojo terletak di Kelurahan Jebres, tak jauh dari kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Makam itu ternyata menyimpan cerita sejarah yang tak banyak diketahui.
Salah satu pemerhati sejarah Kota Solo, KRMAP L Nuky Mahendranata mengatakan, sejarawan-sejarawan terdahulu sempat ingin membuat kajian tentang makam tertua untuk bisa diketahui sejak kapan Bong Mojo mulai ada. Sayangnya, hal tersebut urung dilakukan lantaran adanya penggusuran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena dulu ketika akan diadakan sebuah kajian mengenai makam yang tertua di sana itu sudah terlanjur digusur untuk pembangunan UNS tahun 1976 atau 1978," kata Nuky saat dihubungi detikJateng, Rabu (13/12/2023).
Namun, jika menengok cerita sejarah perang Diponegoro, diperkirakan tahun 1825-1830 Bong Mojo masih berupa hutan, belum menjadi pemakaman. Lantaran kompleks UNS dan Bong Mojo dulunya merupakan pos pengamatan pasukan Diponegoro.
"Jadi kalau ada posnya itu berarti kan belum ada makamnya. Jadi kira-kira itu makam Pemakaman Mojo dan UNS kira-kira itu di sekitar 1800 sampai 1900-an awal sampai ketika digusur untuk peruntukkan kampus tahun 1975-an itu," tutur pria yang lebih dikenal dengan sebutan Kanjeng Nuky.
Sejarah Bong Mojo juga berkaitan dengan keberadaan Thiong Ting, tempat kremasi jenazah yang dibangun oleh SISKS Pakubuwana X.
"Sinuhun Pakubuwana X sendiri itu jumeneng (berkuasa) 1893. Jadi katakanlah itu di akhir abad ke-19. Ini berdasarkan logika-logika dari apa yang pernah terjadi di daerah itu dan apa yang ditulis tentang daerah itu kondisinya seperti apa, jadi kita bisa membayangkan," tuturnya.
Ia mengungkapkan, Bong Mojo juga merupakan satu kompleks dengan Bong Kentingan yang kini dialihfungsikan sebagai kampus UNS. Areanya yang besar itu menjadi penanda bahwa makam tersebut adalah makam warga Tionghoa berstrata tinggi.
"Karena semakin besar makam seorang Tjonghoa diyakini menunjukan strata yang tinggi dan membuka jalan menuju ke alam keabadian," ungkap Nuky.
Kontur tanahnya yang berbukit-bukit dan cenderung tidak rata pun membuat lahan di Kelurahan Jebres itu terpilih menjadi lokasi pemakaman etnis Tionghoa. Sesuai dengan dasar feng shui yang bersandar pada gunung, melihat pada lembah.
"Jadi pemakaman Tionghoa itu tidak mengarah seperti makam Jawa yang kepala di utara kaki di selatan, jadi kepalanya di posisi yang lebih tinggi gitu," jelasnya.
Lebih lanjut, Nuky mengatakan para sejarawan pun menyayangkan adanya penggusuran makam Tionghoa yang dinilai menyimpan suatu kebudayaan dan kisah bersejarah yang bisa dilihat dari segi arsitektur pembuatan makamnya, tulisan-tulisan yang tertera di makam-makam yang ada.
"Dulu masyarakat Tionghoa kan juga memberi sumbangsih yang cukup besar kepada masyarakat Surakarta. Jadi mungkin ada juragan tembakau atau siapa yang dimakamkan di situ. Kita jadi tahu kita belajar di situ," tuturnya.
Menurutnya, pemakaman Tionghoa itu juga seharusnya bisa menjadi saksi perjalanan Kota Solo dari sebuah pusat peradaban menjadi sebuah kotamadya. Sayangnya, kini hanya ada segelintir orang yang mengetahui sejarah terkait Bong Mojo.
"Jadi bukan hanya menghilangkan sebuah makam, tapi juga menghilangkan sebuah jejak sejarah kota ini," pungkasnya.
(aku/ahr)