Peran ilmuwan Indonesia dalam bidang kesehatan diakui oleh Matt Ridley. Diketahui, Matt Ridley merupakan penulis sains sekaligus jurnalis asal Inggris.
Menurut Matt Ridley, ilmuwan Indonesia bernama Joe-Hin Tjio, memiliki peran penting di balik pengungkapan jumlah kromosom manusia. Bahkan, ia menyebut dampak temuan tersebut luar biasa: mempengaruhi arah sains-genetika hingga penanganan penyakit mutakhir.
Semua tercatat dalam tulisan Ridley di buku 'Genom, Kisah Spesies Manusia' dalam 23 bab:
Seorang peneliti lain menemukan sebuah metode untuk memisahkan kromosom-kromosom, tapi masih yakin bahwa yang tampak oleh mereka adalah 24 pasang. Baru pada 1955, ketika seorang Indonesia bernama Joe-Hin Tjio sengaja berangkat dari Spanyol ke Swedia untuk bermitra dengan Albert Levan, akhirnya kebenaran mulai terungkap. Tjio dan Levan, menggunakan teknik yang lebih baik, dengan jelas melihat 23 pasang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fakta bahwa kromosom manusia berjumlah 23 pasang menjadi pembeda kita dengan primata lain. Jumlah kromosom simpanse 24 pasang. Demikian halnya dengan primata serupa.
Hasil observasi Joe Hin Tjio, yang mengubah pandangan dunia itu, dituliskan dalam jurnal Hereditas pada Mei 1956 berjudul 'The Chromosome Number of Man'. Versi online pun masih ada hingga saat ini.
Sosok Joe-Hin Tjio
The Washington Post membuat ulasan pada Desember 2001, sebulan setelah Tjio meninggal di Gaithersburg, Maryland, Amerika Serikat.
Disebutkan, Tjio merupakan ahli genetik di National Institutes of Health. Ia merupakan lulusan sekolah agronomi di Bogor dan fasih berbahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman.
Dia dilahirkan pada 1919 dalam keluarga China di Jawa, yang menjadi bagian Hindia Belanda (saat itu).
Di era Perang Dunia II, tepatnya pada masa pendudukan Jepang, Tjio menghabiskan hidup di kamp selama 3 tahun. Ketika dibebaskan Palang Merah Internasional, dia dibawa ke Belanda dan belajar sekaligus bekerja di Denmark dan Spanyol.
Sementara itu, The Guardian menuliskan, Tjio merupakan anak fotografer profesional di Hindia Timur. Selepas bebas dari kamp Jepang, Tjio bekerja di bidang persilangan tanaman di Belanda dan mengembangkan penelitian tanaman hibrida yang tahan terhadap hama.
Kemudian Tjio mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda. Dia berkolaborasi dengan kelompok kecil ilmuwan di Denmark dan Swedia.
Di Institut Genetika, Lund, Swedia, dia bekerja sama dengan Albert Levan, kepala laboratorium yang kemudian menjadi kolega dalam penelitian. Menurut The Guardian, keduanya sempat berseteru terkait atribusi nama dalam observasi kromosom.
Pada 1956, Tjio bermigrasi ke Amerika Serikat berkat Herman Muller, peraih Nobel yang juga profesor di Universitas Indiana. Selanjutnya, dia berkiprah di Negeri Paman Sam hingga mengembuskan napas terakhir pada usia 82 tahun, tepatnya pada 27 November 2001.
Kepergian Tjio meninggalkan sang istri bernama Inga yang berasal dari Islandia dan anak-anaknya.
Selain itu, Encyclopedia Britannica juga mengupas sosok Tjio. Pada intinya disebutkan, Tjio lahir di Pekalongan, Jawa Tengah. Pekalongan merupakan daerah yang berada di pantai utara, sejak dulu dikenal sebagai jalur lalu lintas utama perdagangan.
Secuil informasi yang ditulis Matt Ridley soal Tjio terasa 'berbeda' karena dia tetap disebut berasal dari Indonesia. Padahal dia sudah pindah kewarganegaraan. Secara de jure, dia lahir di Hindia Belanda, bukan Indonesia.
Meski demikian, media-media internasional tetap mengakuinya sebagai orang Indonesia. Lebih khusus, berasal dari Pekalongan.
Artikel ini ditulis oleh Triono Wahyu Sudibyo Manajer Regional detikcom, anggota Komunitas Bookclub.
(cln/ams)