Kota Surakarta, sebuah kota kecil di Jawa Tengah memiliki kesan budaya yang sangat kental. Menilik sejarahnya, Kota Surakarta menjadi kota budaya berawal dari peristiwa geger pecinan. Ketika itu, raja Kerajaan Mataram Islam, Paku Buwono II, memindahkan pusat kerajaannya dari yang semula di Kartasura menjadi pindah ke Surakarta karena keadaan di Kartasura yang kacau. Akhirnya, berdirilah Keraton Surakarta pada 17 Februari 1745.
Meski sudah lebih dari 2 abad berlalu, Keraton Surakarta masih bertahan hingga sekarang. Kini, Keraton Surakarta telah dibuka sebagai destinasi wisata budaya di Kota Surakarta. Hal ini dapat menjadi ajang belajar masyarakat untuk mengetahui banyak hal mengenai Keraton Surakarta, termasuk tata ruangnya.
Mengutip dari Skripsi karya Dodit Wahyu Mulyanto dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, tata ruang Keraton Surakarta merupakan tangible heritage atau warisan budaya berupa benda, berikut penjelasannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta
Secara umum, pembagian keraton meliputi:
a. Kompleks Alun-alun Lor
Kompleks ini meliputi Gladag, Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid Agung Surakarta. Gladag yang sekarang dikenal dengan perempatan Gladag di Jalan Slamet Riyadi, Solo, pada masa Paku Buwono III digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan.
Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Di sebelah barat alun-alun berdiri Masjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta yang merupakan masjid resmi kerajaan yang didirikan pada tahun 1750.
b. Kompleks Sasana Sumewa dan Kompleks Sitihinggil Lor
Sasana Sumewa merupakan bagian utama terdepan di Keraton Surakarta. Bagian ini digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di sini pun terdapat beberapa meriam kerajaan.
Di sebelah selatan Sasana Sumewa, terdapat kompleks Sitihinggil. Sitihinggil merupakan kompleks yang yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, utara dan selatan. Bangunan utama dari kompleks Sitihinggil adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks Sitihinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat umum yang disebut dengan Supit Urang.
c. Kemandungan Lor
Jika ingin masuk ke area Kemandungan Lor, maka harus melewati Kori Gapit atau Kori Brajanala terlebih dahulu. Kori Gapit atau Kori Brajanala merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara menuju ke dalam halaman Kemandungan Lor (utara). Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri yang menghubungkan jalan Supit Urang dengan halaman dalam istana.
Sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisomarto, tempat jaga pengawal istana. Selain itu, di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah kompleks ini hanya halaman kosong karena bangunannya hanya dibangun di bagian tepi halaman.
d. Kompleks Sri Manganti
Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha di sebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur. Pada zamannya Bangsal Smarakatha digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Komplek Sri Manganti menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat tersebut digunakan untuk latihan menari dan mendalang.
Bangsal Marcukundha dulunya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat raja. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirenggo, sebuah tempat untuk upacara sunat/khitan para putra Susuhunan.
Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun, pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton.
e. Kompleks Kedhaton
Kori Sri Manganti menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono IV pada 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Panggung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan.
Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias diatas pintu. Halaman Sasana Pabasuyasa dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama diantaranya adalah Sasana Sewaka, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
Sasana Sewaka merupakan bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Sasana Sewaka pernah mengalami kebakaran di tahun 1985. Di bangunan ini pula Susuhunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja. Di sebelah barat Sasana ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah pringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa. Dalem Ageng Prabasuyasa merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahta raja yang menjadi simbol kerajaan.
f. Sasana Handrawina
Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagai tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke kota Solo.
Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana. Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan sekaligus untuk mengawasi benteng VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai tersebut juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan.
Sebelah barat kompleks Kedhaton merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan terlarang untuk dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan tersebut merupakan tempat tinggal resmi raja dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang.
g. Sri Manganti Kidul dan Kemandungan Kidul
Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul dan Kemandungan Kidul hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun kidul, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.
Dari kebijakan penataan hingga makna simbolis, Keraton Surakarta adalah suatu warisan budaya yang kaya dan mendalam. Dengan menggali lebih dalam tentang konsep ini, kita tidak hanya menghargai warisan sejarah yang berharga, tetapi juga memahami betapa pentingnya menjaga dan merawat warisan budaya untuk generasi mendatang. Konsep tata ruang Keraton Surakarta bukan sekadar tata letak fisik, melainkan cerminan dari jati diri budaya yang hidup dan berkembang dalam tiap sudut dan aspeknya.
Artikel ini ditulis oleh Muthia Alya Rahmawati peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(sip/sip)