Sambut Waisak, 32 Biksu Jalan Kaki dari Thailand ke Candi Borobudur

Sambut Waisak, 32 Biksu Jalan Kaki dari Thailand ke Candi Borobudur

Eko Susanto - detikJateng
Sabtu, 13 Mei 2023 15:29 WIB
Magelang -

Sebanyak 32 biksu melakukan tradisi thudong atau perjalanan dari Thailand menuju Candi Borobudur, Kabupaten Magelang. Perjalanan ini untuk menyambut Waisak.

Para biksu yang berjalan kaki ini terdiri dari 27 biksu asal Thailand, empat biksu dari Malaysia, dan satu biksu dari Indonesia. Tradisi thudong ini diawali dari Nakhon Si Thammarat, Thailand, pada 23 Maret lalu dan finis di Candi Borobudur.

"Kalau yang perjalanan dari Thailand tanggal 23 Maret 2023. Kemudian dari sana jalan akan sampai Borobudur. Rencana mereka target ke Borobudur, perayaan Waisak, jadi targetnya begitu," kata Bhikkhu Dhammavuddho saat dihubungi detikJateng, Sabtu (13/5/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bhikkhu Dhammavuddho menjelaskan sebelum sampai di Candi Borobudur, rombongan biksu ini akan singgah di Vihara Budhi Asih (Jatibarang), Yayasan Setia Bakti Losari (Losari), Kelenteng Tjeng Gie Bio Ulujami (Pemalang).

Kemudian, kediaman Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan, Vihara Adi Dharma (Semarang), Vihara Buddha Jayanti Wungkal Kasap (Semarang), Kelenteng Hok Tik Bio (Ambarawa), dan Kelenteng Liong Hok Bio (Magelang). Rencananya pada Selasa (30/5) mendatang, rombongan biksu ini telah sampai di Kota Magelang dan pada Rabu (31/5) sudah memasuki kawasan Borobudur.

ADVERTISEMENT

Perjalanan para biksu ini menempuh kapal dari Singapura ke Batam, kemudian dilanjut dari Batam ke Jakarta dengan pesawat. Lalu dari Jakarta ke Kota Magelang ditempuh dengan jalan kaki.

"Jadi, sehari cuman sekali makan, melatih kesabaran dengan bayangkan capek, sehari bisa berjalan minimal 30 km, 25-30 km. Kemudian mereka makan cuman satu kali dan panas, tutupnya pakai payung dan tinggal seadanya," terangnya.

Perjalanan para biksu ini merupakan salah satu praktik dalam ajaran Buddha Gautama.

"Zaman Sang Buddha dulu nggak ada vihara. Zaman dulu, namanya pertapa mereka tinggal di tiga tempat, dalam ajaran disebutkan tiga tempat yakni, pertama di bawah pohon, kedua di tempat orang meninggal (tempat pembakaran mayat atau makam) dan ketiga, ruangan yang kosong," terang dia.

"Ruangan yang kosong seperti gua, tempat yang kita bisa berteduh. Sekarang, tempat yang kosong digantikan vihara, jadi ini tiga tempat para biksu ini bisa tinggal di situ," sambungnya.

Dia menjelaskan tradisi thudong tetap dilestarikan hanya dengan penyesuaian. Jika dulu para biksu keliling dari satu hutan atau desa, kini para biksu ini singgah di vihara.

"Di zaman modern sekarang, tradisi ini tetap dilestarikan, tetapi karena vihara sudah ada, semua sudah ada, jadi digeser menjadi satu rangkaian perjalanan misalnya dalam rangka Waisak. Ke tempat-tempat suci, sekarang masih ada di Thailand juga masih sering dilaksanakan, di India dan kemudian yang pertama di Indonesia yang saat ini," kata dia.

Menurutnya, pengawalan maupun pengamanan para biksu ini berasal dari kalangan non-buddhis. Hal ini sebagai bentuk toleransi di Indonesia.

"Teman-teman dari pengaman internal dari panitia ini bukan dari umat Buddha. Jadi hebatnya yang jalan biksu, tapi yang ngawal ini adalah teman-teman non-buddhis, dari agama yang lain, kita bilang Muslim, ada juga dari Kristen," katanya.

Selengkapnya di halaman berikut.

Bhikkhu Dhammavudho mengatakan pihaknya juga mengampanyekan toleransi yang ada di Indonesia. Hal ini dilakukan agar dunia mengetahuinya.

"Jadi kita sengaja viralkan biar dunia tahu bahwa Indonesia punya toleransi yang sangat baik. Kita tahu bahwa di Indonesia dengan muslim terbesar di dunia, tetapi negara Indonesia bukan seperti negara muslim di tempat yang lain. Bahwa Indonesia toleransi baik dan bisa memberikan contoh dan teladan bagi negara-negara lain bahwa di Indonesia seperti ini," ujarnya.

Dihubungi terpisah, Koordinator Humas Waisak Nasional 2567 BE/2023, Eric Fernando mengatakan gerakan ini dilakukan untuk meramaikan perayaan Waisak di Candi Borobudur pada 4 Juni mendatang.

"Kami tentu mengapresiasi bahwasannya gerakan yang mandiri dan swadaya untuk meramaikan Candi Borobudur pada saat Waisak 4 Juni. Kami pihak panitia Waisak maupun Walubi, tentu gembira dan nanti akan menyambut kehadiran para biksu sangha thudong ketika di Candi Borobudur," kata Eric.

Pihaknya juga mengapresiasi keterlibatan banyak pihak dalam memeriahkan Waisak. Terlebih ada bantuan pengamanan dari umat di luar Buddha.

"Umat Buddha secara spontan sangat mengapresiasi rebutan berdana. Rebutan berdana unik-unik, makanan kering, jubah, berdana terapi pengobatan. Saya kira menjadi bentuk gotong royong dari umat Buddha biksu sangha yang melakukan thudong. Juga ada pengamanan yang dilakukan sejumlah kelompok non-buddhis, lha ini juga memperlihatkan keharmonisan kerukunan umat beragama di Indonesia yang sangat tinggi," pungkas Eric.

Halaman 2 dari 2
(ams/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads