Tradisi padusan atau menyucikan diri untuk menyambut Ramadan di Kabupaten Klaten dimulai hari ini atau dua hari sebelum awal puasa. Tradisi padusan di Klaten ditandai dengan siraman air kembang dari 21 kendi.
Kendi-kendi berisi air dari 21 sumber alami di seluruh wilayah Klaten itu dikirab terlebih dahulu. Pantauan detikJateng, kirab dimulai pukul 09.30 WIB dari pintu masuk objek wisata air Cokro (OMAC) di Desa Cokro, Kecamatan Tulung.
Sebanyak 21 siswi SMK yang membawa kendi itu menyambut kedatangan Bupati Klaten Sri Mulyani, Ketua DPRD Klaten Hamenang Wajar Ismoyo, Kapolres Klaten AKBP Eko Prasetyo, Dandim, dan Forkopimda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendi berisi air itu lalu dikirab bersama rombongan Bupati ke depan mata air utama. Setelah didoakan dan acara dibuka dengan pemukulan bedug oleh Bupati, air dari 21 kendi itu dikumpulkan dalam satu gentong.
Airnya lalu diguyurkan ke Mas dan Mbak Klaten oleh Bupati diikuti Forkopimda lain. Usai acara siraman, Bupati dan Forkopimda menyebar udik-udik berupa ratusan kue apem berisi uang kertas Rp 5.000.
Kue apem yang dilemparkan itu diperebutkan pengunjung, warga, dan para pedagang kaki lima (PKL). Bahkan ada yang nekat terjun ke air untuk berebut udik-udik.
Bupati Klaten Sri Mulyani mengatakan sudah dua tahun tidak ada rangkaian acara tradisi padusan karena pandemi COVID-19.
"Kirab 21 mata air dan siraman sebagai awal memasuki bulan Ramadan 1444 H. Padusan biasanya kita laksanakan H-1, tapi hari ini kita laksanakan pada H-2 dengan pertimbangan besok saudara-saudara kita melaksanakan hari raya Nyepi, maka kita menghormati karena Islam itu indah dan penuh toleransi," kata Sri Mulyani, Selasa (21/3/2023).
Tema padusan tahun ini, ujar Bupati, adalah Reresik Raga Hanggayuh Sucining Jiwa.
"Diniatkan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan menyambut bulan yang penuh berkah. Semoga bulan Ramadan ditetapkan pemerintah tanggal 23 Maret, tapi apa pun yang diputuskan pemerintah kita akan tegak lurus," lanjut Bupati.
Kades Cokro, Heru Budi Santoso menyatakan padusan merupakan tradisi tahunan. "Sempat ada pandemi COVID-19, tapi kali ini kita laksanakan lagi. Siraman sebagai simbol pembersihan jiwa dan udik-udik sebagai semangat memperbanyak sedekah," jelas Heru.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Pemuda Olah Raga dan Pariwisata Pemkab Klaten, Sri Nugroho, padusan bertujuan membersihkan diri menjelang Ramadan. Adapun 21 mata air sebagai simbol turunnya wahyu Ilahi.
"Sebagai simbol turunnya wahyu Ilahi, atau malam selikuran (21) atau malam Lailatul Qadar. 21 mata air itu sebagai pengejawantahan Klaten sebagai kabupaten 1.000 umbul," papar Nugroho.
(dil/rih)