Hari Internasional Tanpa Toleransi untuk Mutilasi Alat Kelamin Perempuan atau International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation diperingati tiap 6 Februari. Berikut sejarah dan serba-serbi tentang hari anti-sunat perempuan tersebut.
Sejarah Hari Internasional Tanpa Toleransi untuk Mutilasi Alat Kelamin Perempuan
Dilansir situs Population Reference Bureau (PRB), Hari Internasional Tanpa Toleransi untuk Mutilasi Alat Kelamin Perempuan dimulai pada 6 Februari 2003.
Pada hari itu Ibu Negara Nigeria, Stella Obasanjo, secara resmi menyatakan 'Nol Toleransi terhadap FGM' dalam konferensi di Afrika yang diselenggarakan oleh Komite Inter-Afrika tentang Praktik Tradisional yang Mempengaruhi Kesehatan Wanita dan Anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
FGM akronim dari Female Genital Mutilation. FGM merupakan praktik mutilasi yang menghilangkan sebagian atau keseluruhan dari alat kelamin luar anak perempuan dan perempuan muda karena alasan tradisi, bukan karena faktor medis. Di Indonesia praktik ini dikenal dengan istilah sunat bagi perempuan.
Sejak Stella Obasanjo menyatakan anti-FGM, Hari Internasional Tanpa Toleransi untuk Mutilasi Alat Kelamin Perempuan pun mulai diperingati di seluruh dunia. Tahun ini genap dua dekade masyarakat global mengakui keberanian mereka yang menentang praktik sunat bagi perempuan yang kini dinyatakan ilegal di beberapa negara.
Bahaya Mutilasi Alat Kelamin Perempuan
Menurut situs United Nations (PBB), mutilasi alat kelamin perempuan terdiri dari semua prosedur yang melibatkan pengubahan atau melukai alat kelamin perempuan untuk alasan non-medis dan diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran terhadap kesehatan serta integritas anak perempuan dan perempuan.
Dalam artikel 'Ending Female Genital Mutilation by 2030' di situs un.org disebutkan, anak perempuan yang menjalani sunat menghadapi komplikasi jangka pendek seperti rasa sakit yang parah, syok, pendarahan yang berlebihan, infeksi, dan kesulitan buang air kecil. Adapun konsekuensi jangka panjangnya mempengaruhi kesehatan seksual dan reproduksi serta kesehatan mental mereka.
Tak hanya terjadi di Afrika dan Timur Tengah, mutilasi alat kelamin perempuan merupakan masalah universal dan juga dipraktekkan di beberapa negara di Asia dan Amerika Latin. Tradisi itu juga disebut masih bertahan di kalangan populasi imigran yang tinggal di Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru.
Soal Sunat bagi Perempuan di Indonesia
Menurut aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta, Ika Ayu, praktik sunat perempuan harus ditolak karena melanggar hak seksual dan reproduksi individu. Hal itu disampaikan Ika Ayu dalam diskusi 'Membedah Mitos dan Fakta Tentang Sunat Perempuan' di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM pada 6 Februari 2020.
Dalam diskusi tersebut, dikutip dari situs resmi UGM, Ika memaparkan data UNICEF 2016 mencatat lebih dari 200 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia menjadi korban sunat perempuan. Dalam data tersebut, Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan angka sunat perempuan tertinggi di dunia setelah Mesir dan Etiopia.
"Menurut laporan tersebut, separuh anak perempuan berusia di bawah 11 tahun atau sekitar 13,4 juta di Indonesia dipaksa mengalami praktik yang melanggar hak perempuan atas kesehatan, keamanan, kebebasan berpendapat, kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan itu," papar Ika Ayu, dikutip dari ugm.ac.id.
Dalam forum yang sama, Peneliti PSKK UGM, Sri Purwantiningsih, S Si, M Kes, menyampaikan praktik pemotongan atau perlukaan genetalia (P2GP) perempuan masih terjadi di tanah air. Praktik tersebut sulit dihilangkan karena terjadi proses sosialisasi norma yang terkait dengan P2GP.
"Terjadi reproduksi kultural dalam rumah tangga. Nenek yang disunat cenderung menyunat anaknya (Ibu) dan Ibu yang disunat oleh neneknya juga cenderung menyunat anaknya," kata Sri Purwantiningsih, dikutip dari ugm.ac.id.
Ikuti berita lainnya dari detikJateng di Google News.
(dil/sip)