Bila memasuki kawasan Jalan Malioboro maka gapura besar bernuansa arsitektur Tionghoa bertuliskan Kampung Ketandan tak asing bagi para pelancong. Gapura tersebut merupakan jalan masuk Kampung Ketandan yang menjadi kawasan pecinan di dekat Jalan Malioboro.
Menjelang Hari Raya Imlek beberapa rumah warga di Kampung Ketandan sudah berhiaskan lampion meski tak merata di semua rumah. Umumnya daerah ini dipenuhi oleh toko dan ruko meskipun tidak semuanya bernuansa arsitektur Tionghoa.
Ketika menyusuri terus ke arah timur dari Jalan Ketandan Kulon akan bertemu simpang empat, di sisi selatan akan tembus menuju Pasar Beringharjo. Sepanjang jalan tersebut mayoritas diramaikan oleh toko emas dan perhiasan.
Ketika berjalan ke arah selatan terlihat beberapa rumah tua sedang dibersihkan dan ditata. Rumah tersebut akan dipersiapkan untuk acara pekan Budaya Tionghoa 2023 yang akan digelar 30 Januari hingga 5 Februari mendatang.
Ketua Umum Jogja Chinese Art and Culture Center, Tandean Hari Setio, menyebut bangunan tua yang terletak di Jalan Ketandan nomor 24 tersebut tengah dipersiapkan untuk memamerkan karya seni dari berbagai maestro.
"Tahapnya kita baru berdiskusi, mungkin dua tiga hari kita tata, kemudian spotnya kita bentuk agar menjadi ruang pamer. Rumah ini 1830, ini sudah lama sekali zaman Pangeran Diponogoro. Jadi kita ekspose masih ada rumah lama yang eksis dan itu tidak hilangkan," ujar Hari ditemui detikJateng di Kampung Ketandan, Kamis (19/1/2023).
"Kita akan mencoba menggali rumah-rumah cagar budaya supaya melihat bahwa kawasan budaya ini kita ekspose, kita buat tempat maestro dan satu pelukis empat maestro itu foto, tari, pelukis, geguritan puisi Jawa. Tempat ini akan dijadikan tempat majang pameran rumah budaya peranakan," imbuhnya.
Dulunya Permukiman Para 'Tondo'
Dikutip dari website Dinas Pariwisata Kota Jogja, Kampung Ketandan menempati lokasi strategis yang tak jauh dari Keraton Jogja. Kampung ini disebut memiliki hubungan sejarah yang dekat dengan Keraton.
Hal ini salah satunya disebabkan kawasan pecinan ini dulunya merupakan tempat tinggal para 'tondo', sebutan untuk pegawai yang menarik pajak etnis Tionghoa untuk diserahkan pada Keraton Jogja pada zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
(aku/ams)